Penguasa 'Rabun Jauh' Pemimpin Visioner

Oleh Saiful Mahdi
Kamis, 5 Juli 2012-Opini serambi indonesia

KATA-KATA bijak James F Clarke, seorang cendikiawan dari Universitas Harvard, hampir dua abad lalu masih sering dikutip hingga kini karena relevansinya yang tak pernah pudar. Untuk Aceh dan Indonesia, yang sudah lama merindukan pemimpin sekaliber Tgk Daud Beureueh dan Mohammad Hatta, kutipan di atas bahkan makin relevan. Kedua tokoh ini sering kita anggap sebagai contoh pemimpin berkaliber negarawan (statesman), bukan sekedar penguasa yang hanya dikenal pada masa kekuasaannya.

Negarawan adalah seorang pemimpin (sejati), sedangkan politisi yang berpolitik untuk kekuasaan semata tidak lebih dari seorang yang berkuasa alias penguasa. Apa bedanya pemimpin dengan penguasa? Pemimpin adalah sosok yang visioner, mampu melihat jauh ke depan, sedangkan penguasa seringkali tidak mampu dan atau tidak mau berpikir tentang dan melihat masa depan alias “rabun jauh”. Pemimpin adalah sosok yang nir-ego (selfless), sedangkan penguasa adalah sebaliknya.

Karena fitrah manusia yang mempunyai nafsu, sangatlah sulit menjadi seorang pemimpin (Allen, 1996). Dorongan untuk memenuhi kepentingan diri-sendiri (self), keluarga, dan kelompok seringkali mereduksi seorang yang digadang-gadang menjadi pemimpin sebuah bangsa yang besar, bahkan sebuah peradaban, menjadi sekedar penguasa yang sibuk mengamankan kekuasannya dari pemilu ke pemilu berikutnya untuk kepentingan yang jauh lebih kecil. Tidak seperti penguasa, seorang pemimpin mampu melahirkan dan memelihara sebuah peradaban.

Konteks Aceh, kepemimpinan telah melahirkan “peradaban”, dan kekuasaan telah melahirkan “kebiadaban” silih berganti. Generasi Aceh dari waktu ke waktu dapat belajar dari sejarahnya sendiri dan menentukan langkah menuju peradaban atau kebiadaban. Tentu saja dengan konteks lokal-global kekinian di mana kekuatan senjata telah berganti diplomasi, kekuatan otak lebih menentukan dari pada kekuatan otot, kearifan lebih dihargai dari pada keangkaramurkaan, kesantunan menjadi warna peradaban, kekerasan dinista karena merupakan ciri kebiadaban.

Pemimpin vs penguasa
Pemimpin yang visioner meniscayakan ke-nir-ego-an (selflessness), karena hanya pemimpin yang tidak berpikir untuk diri sendiri dan kelompoknya yang akan mampu melihat ke depan tanpa khawatir dengan perolehan hasil jangka pendek untuk diri dan kelompoknya. Karena itu, untuk konteks Aceh, ada sejumlah cara sederhana untuk menilai apakah Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, Wali Kota/Wakil Wali Kota, atau pemimpin publik lainnya adalah para “pemimpin” yang dinanti-nantikan atau sekedar “penguasa” yang datang dan pergi.

Pertama, pemimpin di Aceh menjaga kelestarian lingkungan sementara penguasa di Aceh sama sekali tak peka dengan isu ini. Hanya seseorang yang punya kaliber pemimpin yang akan menjaga kelestarian ekosistem hutan, laut, rawa, dan lainnya di Aceh, misalnya, karena mampu melihat dampak kerusakan lingkungan pada generasi saat ini dan berikutnya. Penguasa hanya orang rabun jauh yang ingin mengeksploitasi lingkungan dalam wilayah kekuasaanya sebagai sumber pendapatan cepat untuk memelihara periode kekuasaannya. Seorang pemimpin mendukung kebijakan moratorium logging dan gerakan hijau di Aceh sehingga menjadi sebuah arus utama, sementara seorang penguasa akan menghentikannya dengan berbagai alasan.

Kedua, seorang pemimpin tidak akan menjadikan industri ekstraktif, terutama pertambangan, sebagai andalan untuk menambah pendatapan daerahnya; sementara seorang penguasa justru melihat kesempatan besar lewat bagi-bagi konsensi lahan hutan dan tambang untuk kepentingannya. Karena itu, seorang pemimpin Aceh mestinya setuju dengan moratorium mining sambil menunggu adanya SDM yang mampu mengurangi ketimpangan informasi (a-symmetric information) antara pemilik modal dan teknologi pertambangan (perusahaan nasional dan multinasional) dengan rakyat Aceh sebagai principal pemilik SDA Aceh.

Seorang pemimpin akan mencari sumber energi alternatif untuk dipakainya saat ini dan menyimpan sumber energi tak terbarukan untuk anak-cucu, generasi berikutnya. Seorang penguasa akan melihat energi alternatif terlalu mahal dan bukan urusannya saat ini karena melimpahnya sumber energi karbon yang siap dikeruk dari bumi meutuwah ini. Bagi pemimpin, bumi yang dipijaknya adalah benar-benar titipan dari Tuhan dan anak-cucunya, bukan miliknya untuk dipakai sampai habis sesukanya.

Ketiga, seorang pemimpin akan mengutamakan investasi di bidang pendidikan demi membangun peradaban yang mungkin butuh beberapa generasi untuk mencapainya. Sebaliknya, penguasa akan berpikir pendidikan sebagai investasi yang sia-sia. Apalagi kalau si penguasa justru tidak melihat pentingnya pendidikan dalam mencapai kekuasaannya. “Kalau dengan ijazah Paket C bisa jadi bupati, untuk apa pendidikan tinggi,” kilah sebagian orang. Padahal seharusnya kita berpikir, kalau dengan ijazah SMA kita bisa jadi bupati, mungkin dengan ijazah sarjana dan pascasarjana bisa mempengaruhi pemikiran dunia seperti dicontohkan Tgk Dr Hasan Tiro?

“Education is a slow-moving but powerful force”, pendidikan adalah kekuatan yang lamban tapi dahsyat, kata James W Fulbright yang menjadi inspirasi Program Beasiswa Fulbright dari Amerika Serikat. Karena itu, hanya seorang pemimpin yang akan berpihak pada pendidikan karena hasilnya baru terlihat dalam beberapa generasi ke depan. Bahkan si pemimpin sendiri mungkin tidak sempat melihat hasilnya. Seperti gerakan modernisasi pendidikan Aceh yang dilakukan Tgk Daud Beureueh yang justru tak sempat dilihat oleh sang Al-Mukarram.

Keempat, seorang pemimpin peduli dengan kesehatan rakyatnya dan salah satu caranya adalah dengan tidak merokok dan mengendalikan dampak rokok dalam wilayah yang dipimpinnya! Hanya orang berkaliber pemimpin yang berani bicara lantang terhadap kebiasaan buruk yang sudah menjadi budaya rakyat yang memilihnya. Karena pemimpin itu visioner, melihat jauh ke depan dan tidak mementingkan diri sendiri. Karena pemimpin penuh kasih-sayang pada rakyatnya. Karena bangsa yang maju adalah bangsa yang sehat.

Gubernur terpilih Zaini Abdullah sudah bicara tentang clean, green, dan good governance (tata kelola yang baik, hijau, dan bersih) dalam bedah visi-misi untuk RPJM di Bappeda Aceh, sehari setelah pelantikannya 25 Juni 2012 yang lalu. Kepala Pemerintahan Aceh ini juga telah meminta agar kantornya bebas dari asap rokok. Apakah ini pertanda baik akan hadirnya seorang pemimpin alih-alih penguasa di Aceh?
* Saiful Mahdi, Staf Pengajar Fakultas MIPA Unsyiah/Direktur Pusat Kajian Internasional tentang Aceh dan Kawasan Seputar Lautan Hindia (ICAIOS). Email: saiful.mahdi@fmipa.unsyiah.ac.id