dokpri - Kedai KopiDusun Podiamat
Toko tersebut dulunya merupakan satu-satunya yang buka hingga malam hari di Dusun Podiamat, itupun menggunakan genset untuk bisa membuka kiosnya. Listrik baru masuk ketika tsunami melanda Aceh delapan belas tahun lalu. Sudah lama aliran listrik tidak sampai ke dusun mereka, padahal tepat di belakang dusun itu terdapat kantor gubernur mereka yang terang benderang hingga halaman belakangnya kosong.
“Orang mungkin takut datang ke sini untuk pasang listrik, karena penyakit kusta,” keluh Juniah suatu kali saat berbincang dengan saya.
Dusun Kutaran dan Podiamat memang dipisahkan oleh saluran banjir dengan dua dusun lainnya. Bukan karena desanya dihuni OYPMK - Penderita Kusta.
Dahulu terdapat jembatan yang menghubungkan kedua dusun tersebut dengan dusun Musafir dan Buenot, namun roboh akibat dihantam tsunami. Kini hanya tinggal tunggulnya saja yang bentuknya unik seperti tempat duduk “water closet air” alias toilet duduk.
foto bekas jembatan nirip closet penghubung dusun Podiamat /dokpri
Dusun Terasing
Sebelum terjadinya tsunami, menurut Tuanku Hamzah, pejabat geuchik atau kepala dusun, jumlah penduduk di empat dusun tersebut mencapai 7.000 jiwa. Pasca tsunami, hanya tersisa sekitar 1.200 orang.
Dahulu dusun-dusun tersebut terlihat kusam di bawah remang-remangnya lampu minyak, namun kini cukup terang dengan bohlam kecil karena sudah dialiri listrik. foto-
pojok dusun Podiamat Alue Naga I/dokpri
Podiamat terletak di Desa Alue Naga bersama tiga dusun lainnya, Buenot, Musafir, Kutaran. Konon nama Alue Naga diberikan karena lokasi desa tersebut berada di muara sungai yang berkelok-kelok menyerupai tubuh naga. Dikatakan juga sebagai sarangnya.
Berbeda dari cerita legenda turun temurun, tentang kisah Raja Linge dan putrinya Renggali dengan para naga. Di tempat yang dilewati para naga itulah terbentuk sebuah alur atau sungai kecil, yang disebut Alue Naga.
Saat tsunami 26 Desember 2004, seperlima daratan di Dusun Musafir dan Bunot yang menjorok langsung ke laut berubah menjadi ceruk air
atau kolam. Kutaran lebih parah. Lebih sepertiga daratannya terendam air.
Mereka mengungsi ke Neheun dan Tibang, di barak pengungsian sementara yang tak jauh dari kampung pinggiran laut. Pilihan itu sulit, karena sebagian besar mereka adalah nelayan.
Penduduk Dusun Podiamat, disediakan barak khusus. Barak ini terpisah dari barak-barak lain, karena rata-rata warga dusun tersebut menderita lepra atau kusta. Zuwariyah (53) tahun menjelaskan, ia tak lama bertahan dibarak Tibang, Syiah Kuala karena ingin kembali ke rumah lama, apalagi banyak masalah dengan para tetangga karena penyakitnya.
Kondisi fisik seperti Zuwariyah sering menjadi penyebab kecemasan bagi penduduk lain berinteraksi meskipun sudah lama sembuh. Kesalahpahaman dan stigma cap buruk menjadi masalah utama yang serius. Apalagi anak-anak mereka yang harus bersekolah.
Apalagi kondisi penduduk yang menderita kusta telah berlangsung sejak masa penjajahan Belanda. Dusun Podiamat identik menjadi tempat isolasi dan “penjara” bagi penderita kusta. Mereka dikucilkan, karena dianggap menderita penyakit akibat kutukan dan bisa menular.
Kusta atau Lepra disebabkan sejenis bakteri bernama mycobacterium leprae dan merupakan infeksi menahun yang ditandai kerusakan saraf perifer atau saraf otak bagian luar dan medulla spinalis, kulit, selaput lendir hidung, buah zakar, dan mata.
Penyakit kusta bisa ditandai munculnya gatal-gatal di kulit seperti penyakit panu biasa. Gatal-gatal itu berubah dalam sepuluh tahun kemudian. Sendi-sendi jari tangan dan kaki Zuwariyah tertekuk dan seperti digerogoti binatang. Kulit tangan kering. Sebagian mengelupas.
Penyakita kusta menyisakan kondisi cacat yang bisa menyurutkan
semangat hidup penderitanya. Abu Bakar dan Zuwariyah tak peduli dengan kondisi itu, karena tak ada pilihan lain. Mereka bahkan punya usaha sebelum tsunami.
Zuwariyah beternak, berdagang dan menjahit. Telur-telur ayam tersebut mereka
jual ke agen sebelum dibawa ke Pasar Peunayong di pusat kota.
Begitulah mereka bertahan hidup, sambil sesekali mengharap bantuan pemerintah, jika mereka ingat ada warganya yang terlunta!.
Melawan Stigma dan Bangkit
“jangankan dengan warga luar, dengan tetangga tiga dusun saja kami sulit berbaur. Mereka takut tertular. Apapun yang kami lakukan tak bisa membuat mereka percaya, jadi kami bertahan dengan apa yang kami bisa” kata Zuwariyah sambil menerawang.
Selama masa rehab rekon tsunami, satu-satunya cara mereka tinggal di barak sementara, itupun penuh dengan banyak rintangan karena kondisi fisik mereka paska sembuh dari kusta. Terutama stigma dan diskriminasi terhadap keluarga dan penderita kusta.
Penduduk dusun Podiamat seperti Zuwariyah tak pernah menyerah. Setelah tsunami kehidupan mereka mulai berubah lebih baik karena mereka mendapat rumah bantuan dari banyak NGO asing. Sayangnya tsunami merenggut hampir seluruh penduduk di dusun itu. Hanya tinggal beberapa yang selamat yang menikmati hadiah rumah bantuan tsunami itu.
Tapi tak sedikit yang kehilangan tapak rumahnya karena kini terendam laut dan berubah menjadi pantai.
Pemerintah daerah telah berusaha meyakinkan penduduk di tiga dusun lainnya untuk menerima para penderita kusta yang telah sembuh atau OYPMK, tapi butuh waktu lama.
foto penderita kusta-lintasgayo
Penyakit kusta masih menjadi masalah kesehatan yang sangat kompleks, sebab hingga kini masih ada 6 provinsi (Papua Barat, Papua, Maluku, Maluku Utara, Sulawesi Utara dan Gorontalo) yang belum mencapai eliminasi kusta. Prevalensi kusta di keenam provinsi tersebut masih di atas 1/10.000 penduduk.
Berdasarkan data yang dihimpun Kementerian Kesehatan per tanggal Data per 24 Januari 2022 mencatat jumlah kasus kusta tedaftar sebesar 13.487 kasus dengan penemuan kasus baru sebanyak 7.146 kasus, dengan proporsi anak sebesar 11% (data per 24 Januari 2022). Indonesia masih menjadi penyumbang kasus kusta nomor 3 di dunia setelah India dan Brazil.
Berbagai pembatasan dan keterbatasan akses mereka terhadap
ekonomi, menyebabkan penderita kusta identik dengan kemiskinan. Kelompok
beresiko tinggi adalah mereka yang tinggal di daerah endemik yang berkorelasi
dengan sistem higienitas dan sistem sanitasi yang buruk, seperti tempat tidur
yang tidak memadai, minim air bersih, asupan gizi buruk dan adanya penyertaan
penyakit lain yang dapat menekan sistem imun.
Sejatinya bukan itu problemnya, karena perhatian dan penanganan yang terlambat dari pemerintah dan pemahaman orang yang kurang menyebabkan penyakit ini terus ada, Banyak orang mengira kusta
tidak dapat diobati, padahal dunia medis telah mengalami revolusi perkembangan
yang luar biasa dalam penanganan penyakit ini secara total.
Kelompok Studi Morbus Hansen menjelaskan bahwa penanganan medis yang cergas sejak dini, memungkinkan seorang penderita dapat sembuh total tanpa mengalami cacat. Pengobatan kusta menggunakan kombinasi antibiotik atau disebut dengan multi drug treatment, seperti Rifampicin, Dapsone, dan Clofazimine. Pengobatan ini dapat menghindari bakteri kusta menjadi kebal atau resisten, sehingga dapat memutus rantai penularan dan dapat dicegah tanpa menimbulkan cacat.
Tidak hanya itu, upaya pemulihan dan pengobatan juga berkoordinasi
dengan disiplin ilmu lain, termasuk saraf, mata, bedah ortopedi, dan
rehabilitasi medik, psikolog dan ilmu lainnya yang kompleks.
Hingga saat ini seperti yang dirasakan Zuwariyah dan warga
lainnya, masalah yang paling sulit dari penanganan penyakit kusta ternyata
bukan dari sisi medisnya, tetapi justru “menyembuhkan” stigma negatifnya. Edukasi
yang intens menjadi salah satu kunci keberhasilan dalam penanganan penyakit
tersebut untuk membebaskan Indonesia dari kusta.
Floating Culture
Mengapungkan Harapan OYPMK
Dua tahun lalu, Lembaga riset Natural Aceh dengan dukungan Dompet Dhuafa. melakukan inovasi bubidaya tiram terbaru yaitu ‘floating culture’ atau model tiram terapung, di Gampong Alue Naga.
Alat budidaya tiram, berupa keramba terbuat dari kawat wiremesh yang berfungsi sebagai kandang luar, dan High Density Polyethylene (HDPE) sebagai wadah atau keranjang untuk pembesaran tiram.
budidaya tiram terapung dusun Podiamat
Pembudidayaannya melibatkan 10 kelompok wanita pencari tiram Alue Naga yang berasal dari Dusun Podiamat dan Dusun Kutaran, dengan 50 anggota.
Masing-masing mendapat keranjang dari HDPE yang akan diisi benih tiram dan
diletakkan dalam kandang wiremesh. Mereka menggunakan barang bekas seperti galon
untuk mengapungkan kandang tiram di air. Ini juga menjadi solusi positif pengurangan
sampah plastik.
Inovasi ini menjadi “cahaya” harapan baru bagi warga Podiamat. Mereka mempunyai kegiatan baru, mendapat pelatihan pembuatan dan pemasangan tiram dengan budidaya terapung, sehingga membuka peluang ekonomi bagi OYPMK.
dokpri/keramba ikan dan perahu nelayan di dusun Podiamat
Kini kesibukan mereka mengurus keramba ikan menjadi semangat karena mereka bisa beraktivitas ekonomi secara normal dan mendapat kepastian mendapat penghasilan setiap bulannya.
foto acehtrend-suasana sore
Dusun Podiamat sekarang
Adanya proyek tiram terapung membuat mereka sering mendapat kunjungan dari mahasiswa yang tertarik mempelajari inovasi tersebut.
Intensitas kunjungan yang tinggi merupakan bagian dari wisata edukasi yang dapat dinikmati oleh pengunjung yang ingin mengetahui lebih jauh tentang budidaya tiram. Tinggal bagaimana pemerintah daerah bersinergi-menciptakan kolaborasi untuk mendukungnya.
Terlebih lagi, Dusun Podiamat di Alue Naga juga memiliki pemandangan matahari terbenam yang menawan, berbeda dengan nasib mereka di masa lalu. Kini Desa Podiamat dengan kehidupan para OPYMK-nya terasa lebih berwarna. Setidaknya bagi mereka yang dulunya terkucil di dusunnya sendiri.
Seiring berjalannya waktu, Dusun Podiamat terus bertahan dari gempuran takdir dan waktu di “Sarang Naga Legendaris”.
Sumber bacaan dan foto
https://aceh.tribunnews.com/2021/11/24/alue-naga-antara-legenda-dan-cepat-dari-kutaraja
https://infopublik.id/detik/nusantara/324432/model-tiram-terapung-dilalukan-di-alue-naga
https://pantau.or.id/liputan/2006/10/polemik-di-sarang-naga/
https://thetalks.id/antara-stigma-dan-akses-economic-penderita-kusta/
https://sehatnegeriku.kemkes.go.id/baca/umum/20220203/2839247/menuju-elimination-2024-kemenkes-ajak-community-cepat-stigma-dan-discrimination-kusta/
https://www.facebook.com/NLRIndonesia/
https://aceh.antaranews.com/berita/47239/alue-naga-dijadikan-sentra-budi-daya-tiram
Tidak ada komentar:
Posting Komentar