Oleh Teuku Zulkhairi
Satu lagi ‘cahaya’ yang selama ini menerangi kita di Aceh kini telah padam. Sabtu lalu (17/12) pukul 17.00 WIB di Rumah Sakit Palang Merah Indonesia Lhokseumawe, Tgk H Karimuddin, pimpinan Dayah Babussalam Alue Bili Aceh Utara yang merupakan salah satu sosok ulama disegani di Aceh kini telah pergi menghadap Tuhannya.
Selama hidupnya beliau begitu berjasa dalam mendidik umat. Dengan dayahnya, beliau membina anggota majlis-majlis zikir yang datang dari berbagai daerah untuk mengenal Allah, Tuhan pencipta segalanya. Beliau membina para santri untuk mencintai agamanya. Kepergian beliau meninggalkan seribu luka lara di negeri yang ditinggalkannya. Tanpa kita sadari, perlahan-lahan satu persatu ulama Aceh ternyata telah pergi meninggalkan kita, ulama hanya tinggal satu dua lagi.
Sebelumnya, kabar duka juga datang dengan meninggalnya Tgk Rasyidin (Waled Nibong), Abu Bustnul Ulum Langsa, Abu Ceubrek di Matangkuli (Tgk H Yusuf), Abu Ilyas Peudada, dan Abon Dayah Putoh Nurul Ulum Aceh Timur (Tgk Muhammad Yahya). Mereka adalah para ulama yang tak lelah menerangi umatnya. Mereka berjuang tanpa pamrih mendidik umat. Membantu menyelesaikan persoalan-persoalan umat. Mereka selalu hadir di setiap persoalan masyarakat. Ulama adalah pewaris para Nabi. Mereka adalah ‘cahaya’ dalam kehidupan ummat. Meninggalnya seorang ulama adalah ujian besar bagi umat. Kepergian ulama menuju Tuhannya sesungguhnya lebih berat kita terima dari urusan apapun yang selama ini memberatkan kita.
Aceh layak menangis setiap kali ditinggal pergi oleh seorang ulama. Sebab, meninggalnya seorang ulama adalah pertanda sedang dicabutnya ilmu dari muka bumi. Sebagaimana disebut oleh Rasulullah: ”Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu begitu saja dari diri para ulama, akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan matinya para ulama, sehingga jika tidak tersisa seorang ulama-pun, maka masyarakat akan mengambil orang-orang bodoh sebagai pemimpin, jika mereka ditanya mereka menjawab tanpa ilmu, sehingga mereka sesat dan menyesatkan” (HR Bukhari).
Dalam hadist tersebut Rasulullah saw menjelaskan bahwa kebaikan dunia serta kebahagiaan suatu masyarakat identik dengan keberadaan para ulama, hal itu karena melalui merekalah ilmu syare’ah Islam yang berdasarkan Al Quran dan Hadist ini menyebar di masyarakat. Jika mereka telah tiada, maka masyarakat akan kehilangan pegangan, sehingga mereka mudah diombang-ambingkan oleh pemikiran-pemikiran sesat. Kalau sudah demikian dunia akan rusak, dan semakin dekatlah hari kiamat.
Pentingnya posisi ulama juga dijelaskan dalam Al Quran, ”Allah menyatakan bahwasanya tiada Ilah (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu juga menyatakan yang demikian itu. Tiada Ilah (Yang berhak disembah) melainkan Dia. Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana (Qs Ali Imran: 18). Syekh Abdurrahman Sa’di dalam tafsirnya (1/365) menyatakan bahwa ayat tersebut menjelaskan tentang tingginya posisi para ulama di sisi Allah dan juga di hadapan masyarakat secara umum. Karena Allah menyebutkan mereka saja tanpa menyebutkan kelompok manusia yang lain. Bahkan menyebutkan persaksian mereka bersamaan dengan persaksian-Nya sendiri dan persaksian para malaikat-Nya, serta menjadikan persaksian mereka sebagi bukti atas kebenaran tauhid-Nya.
Oleh karenanya, sudah menjadi kewajiban bagi seluruh umat Islam untuk menerima kesaksian yang jujur dan adil tersebut. Hal ini menunjukkan juga bahwa para ulama tersebut adalah orang-orang yang adil, dan seluruh makhluk yang ada di dunia ini harus mengikuti mereka, karena mereka adalah para pemimpin yang harus dipatuhi.
Urgensi Kaderisasi Ulama
Untuk menjadi ulama bukanlah hal yang mudah. Namun demikian kaderisasi ulama harus terus berjalan untuk menggantikan para ulama yang telah meninggal. Menjadi ulama bukan gelar atau simbol pemberian dari masyarakat atau pemerintah. Ulama adalah orang-orang yang terpilih di sisi Allah. Mereka harus berjuang melawan nafsu demi mendapatkan ridha dan hikmah dari Allah.Beberapa ciri-ciri ulama yang disebutkan oleh Syaikh Hasan bin Qasim Ar-Rimi dalam Wujub Al-Irtibath bil ‘Ulama adalah sebagai berikut. Misalnya, mereka adalah orang yang tidak mengaku-aku berilmu, tidak bangga dengan ilmunya atas seorang pun, dan tidak serampangan menghukumi orang yang jahil sebagai orang yang menyelisihi As-Sunnah. Mereka tidak menginginkan kedudukan, dan membenci segala bentuk pujian serta tidak menyombongkan diri atas seorang pun.
Ulama adalah orang yang berburuk sangka kepada diri mereka sendiri dan berbaik sangka kepada ulama salaf. Dan mereka mengakui ulama-ulama pendahulu mereka serta mengakui bahwa mereka tidak akan sampai mencapai derajat mereka atau mendekatinya. Mereka berpendapat bahwa kebenaran dan hidayah ada dalam mengikuti apa-apa yang diturunkan Allah Swt(QS.Saba:6). Mereka adalah orang yang paling memahami segala bentuk permisalan yang dibuat Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam Al Qur’an, bahkan apa yang dimaukan oleh Allah dan Rasul-Nya. (Al-’Ankabut: 43). Mereka adalah orang-orang yang memiliki keahlian melakukan istinbath(mengambil hukum) dan memahaminya. (An-Nisa: 83). Mereka adalah orang-orang yang tunduk dan khusyu’ dalam merealisasikan perintah-perintah Allah Swt (Al-Isra: 107-109).
Melihat tantangan dewasa ini semakin berat dan kompleks, baik eksternal maupun internal, serta realitas kian berkurangnya ulama yang masih hidup dengan karakteristik seperti di atas. Dihadapkan tantangan Kristenisasi, gerakan aliran kepercayaan dan kebatinan, gelombang budaya barat yang hedonis, materialisme, kapitalisme. Juga tantangan pemikiran keagamaan Islam dengan masuknya konsep-konsep, pendekatan, metodolog dan filsafat liberalisme, sekulerisme, pluralisme agama, relativisme, nihilisme dan lain sebagainya. Maka semua pihak harus terus berjuang melakukan kadrisasi ulama untuk merespon tantangan-tantangan tersebut. Sebab tantangan pemikiran keagamaan tersebut telah merasuk kedalm kajian-kajian ilmu Islam tradisional di perguruan tinggi islam seperti Qur’an, Hadist, Fiqih,dan Ushul Fiqh. Dan semoga kelak kita akan melihat lahirnya ulama-ulama baru yang akan menggantikan ulama yang telah meninggal.
Akhirnya, mari kita menghormati satu dua lagi ulama yang masih hidup dengan mencintai mereka dan mengikuti nasehat-nasehatnya. Karena mereka adalah pewaris para Nabi, mereka seperti cahaya yang menerangi. Dan yang paling penting adalah mempersiapkan diri kita agar menjadi pengikut ulama jika pun kita tidak bisa menjadi ulama. Wallahu a’lam bishshawab.*
*Penulis adalah Ketua Dept.Riset dan Pengembangan Organisasi Rabithah Thaliban Aceh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar