Malpraktek Demokrasi

Oleh Muhamad Hamka-opini serambi indonesia
Rabu, 25 Juli 2012

LUMPUHNYA aktivitas DPRK Banda Aceh selama dua bulan terakhir merupakan perseden buruk bagi demokrasi. Karena dengan vakumnya aktivitas anggota legislatif Banda Aceh ini, maka otomatis akan berpengaruh pada kesejahteraan rakyat. Padahal demokrasi meniscayakan kesejahteraan rakyat sebagai hukum tertinggi. 

Seperti yang diberitakan Serambi Indonesia (14/7/2012), kisruh tentang pembentukan alat kelengkapan DPRK Banda Aceh mulai berdampak buruk pada roda pemerintahan Kota Banda Aceh. Hingga Kamis (12/7), akibat kisruh tersebut Dewan Kota telah melewatkan setidaknya dua agenda penting yang semestinya dibahas pada Mei dan Juni 2012, yakni LKPD 2011 dan pembahasan KUA PPAS APBK 2013.
Apapun argumentasi dari anggota dewan Kota Banda Aceh soal kemelut yang terjadi di institusinya tersebut, tetap susah diterima oleh akal sehat. Karena eksistensi anggota legislatif di DPRK Banda Aceh adalah representasi rakyat. Keberadaan wakil rakyat terhormat ini di kursi legislatif adalah sebagai wakil rakyat, bukan wakil parpol. 

Partai politik (parpol) hanya sekadar tumpangan politik mereka menuju kursi legislatif. Sehingga kosekwensinya, apapun persoalan (konflik kepentingan) yang terjadi dalam internal DPRK seyogianya diselesaikan dengan arif dan bijak, dengan memertimbangkan kemaslahatan umum (bonum comunie). Sehingga konflik kepentingan anggota DPRK tak berlarut-larut seperti sekarang ini.

Pertanyaanya sekarang, kapan para anggota DPRK terhormat ini bisa menyuarakan kepentingan rakyat yang notabene telah mengantarkan mereka duduk di kursi dewan, sementara mereka terlibat dalam perseteruan kepentingan yang sebetulnya tak substantif bagi rakyat? Konflik kepentingan yang terjadi antaranggota dewan ini sebetulnya akan dengan mudah terselesaikan apabila pihak-pihak yang terlibat dalam ‘kemelut’ tersebut mau duduk bersama bermusyawarah, guna mencari solusi terhadap persoalan kepentingan para pihak yang boleh jadi belum terakomodir dalam pembentukan alat kelengkapan dewan. Bukan sebaliknya malah saling ‘menyandera’, sehingga kepentingan rakyat menjadi tumbal oleh arogansi egoisme mereka.

Tontonan yang diperlihatkan oleh DPRK Banda Aceh ini adalah sebentuk malpraktek demokrasi. Yakni praktik demokrasi tidak sehat, karena kepentingan rakyat yang seyogianya merupakan pendulum dalam aktivitas (fungsi dan tugas) mereka sebagai anggota legislatif, justru direduksi oleh syahwat kepentingan politik pragmatis.

Demokrasi partokratik
Malpraktek demokrasi ini pada ujungnya akan memosisikan kepentingan rakyat dalam sandera interest parpol dan anggota legislatif. Disinilah, meminjam refleksi As’ad Said Ali, demokrasi berubah menjadi partokrasi; demokrasi bukan lagi kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat; tapi kekuasaan dari partai, oleh partai, untuk partai.

Demokrasi partokratik ini telah menjauhkan politik dari rakyat, menjadikan politik teralienasi dari kepentingan-kepentingan kerakyatan. Gejala ini pada akhirnya mengasingkan rakyat dari kepentingan-kepentingan politiknya sendiri. Politik parlementer pun akhirnya sekadar menjadi politik pertarungan kaum oligarki.

Untuk itu, kita meminta kebajikan politik anggota DPRK ini untuk bisa menyikapi perbedaan kepentingan politik secara jernih dan arif. Rakyat tak menginginkan arogansi egoisme akan membuat nalar politik anggota dewan ini menjadi tumpul. Sehingga politik kerakyatan menjadi kian tersudutkan oleh gesekan kepentingan individu dan parpol yang pada dasarnya sangat tidak etis dipertontonkan oleh mereka yang disebut sebagai wakil rakyat.

Malpraktek demokrasi ini harus segera ‘dilucuti’, kalau tidak mau rakyat kehilangan kepercayaan kepada parpol dan wakilnya di DPRK. Oleh karena itu, para pihak yang terlibat dalam kemelut ini harus dan mesti menghilangkan ego pribadi dan kepentingan parpol. Konflik kepentingan ini harus diselesaikan dengan cara dan prinsip musyawarah. 

Olehnya itu, egoisme politik dan kepentingan pragmatis yang sifatnya jangka pendek harus segera dikesampingkan. Sehingga musyawarah yang dilakukan betul-betul memosisikan kehendak publik (res-publica) diatas kehendak privat (res-privata) anggota dewan dan partai politik. 

Kalau ini yang akan dilakukan oleh wakil rakyat terhormat ini, maka saya optimis kemelut yang menyandera DPRK Banda Aceh akan segera teratasi. Sekali lagi kehendak publik (res-publica) untuk alasan apapun tak boleh terpinggirkan hanya karena gesekan kepentingan pragmatis anggota dewan dan parpol.

Demokrasi meniscayakan kesejahteraan rakyat sebagai hukum tertinggi. Maka dari itu, anggota DPRK yang merupakan wakil rakyat harus menjalankan prinsip dan kaidah demokrasi secara sehat. Ketika demokrasi sudah disusupi oleh egoisme parsial dan syahwat kepentingan politik pragmatis maka secara sadar ataupun tidak, wakil rakyat terhormat sedang menumbuhkan ‘bisul’ demokrasi yang setiap saat siap menggerogoti kualitas demokrasi itu sendiri.

Demokrasi kualitatif
Demokrasi memang dan perlu dijalankan sesuai dengan prosedur-prosedur. Tapi bukan berarti, demokrasi hanya berhenti pada prosedur yang sesungguhnya banyak cela untuk dibajak  oleh para elite bagi kepentingan politik dan kekuasaannya. Namun yang paling penting adalah bagaimana substansi dan kualitas demokrasi itu sendiri bergerak secara tepat guna menghadirkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat.

Untuk itu, kita berharap kepada para politikus (anggota legislatif) ini, agar demokrasi jangan lagi disandera oleh sekadar lekak-lekuk prosedural yang berkecendrungan manipulatif, sehingga berujung pada malpraktek demokrasi. Tapi, mulailah belajar menyeriusi demokrasi kualitatif yang memosisikan kesejahteraan rakyat sebagai hukum tertinggi (salus populi suprema lex).

* Muhamad Hamka, Peminat Kajian Sosial & Politik. Email: for_h4mk4@yahoo.co.id