Tragedi Kerusakan Lingkungan di Indonesia

Rabu, 30 November 2011 05:50

by Umbu T.W. Pariangu, Analis Kebijakan Publik Fisipol, Universitas Nusa Cendana KEHANCURAN ekologi sejumlah kawasan di Tanah Air makin mencemaskan. Hutan, pesisir, dan daerah aliran sungai (DAS) dieksploitasi habis-habisan. Lihat saja upaya menerabas hutan konservasi untuk pembukaan jalan dan proyek pemekaran (dari Sumatera sampai Papua). Perusakan Ujung Kulon, pembuatan jalan di Taman Nasional Kerinci Seblat, serta kegiatan pertambangan di Taman Hutan Raya Soeharto yang dilakukan tanpa mematuhi prosedur. Apalah artinya hidup di alam demokrasi jika hutan terus dirusak, dijadikan singgasana para pembalak, investor, dan kapitalis yang antiekologi dan antihumanisme.  Tragedi Indonesia  Berdasar data Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO), Indonesia termasuk negara perusak hutan terbesar dengan laju kerusakan 2% atau 1,87 juta hektare (ha) per tahun. Itu berarti setiap hari luas kerusakan hutan Indonesia mencapai 51 km persegi, setara dengan 300 kali luas lapangan sepak bola setiap jam (Ramli, 2010). Di tengah target pemerintah menekan laju deforestasi pada tahun 2020, World Wildlife Foundation (WWF) maupun Greenpeace (laporan 2005—2010) menempatkan Indonesia di peringkat tertinggi pembabatan hutan dunia dengan rekor 1,6 juta ha per hari di Kalimantan, Papua, dan Sumatera.Bahkan, UNEP/GRID-Arendal mengestimasi wajah Kalimantan satu setengah dekade ke depan akan berubah. Pada 1950 Kalimantan didominasi warna hijau hutan. Tapi tahun 2005, Kalimantan sudah kehilangan sekitar 50% hijaunya dan pada 2020 warna hijau tinggal tersisa 25%.Ini melengkapi tragedi Indonesia yang masuk 10 besar negara penyumbang emisi karbon global yakni 5%—10% dari total emisi dunia. Bahkan, WWF dalam laporan The Living Forest pertengahan minggu ketiga April 2011 menyatakan angka deforestasi hutan Indonesia bisa mencapai titik nol pada 2020. Negara kita juga kelabakan mengatasi lonjakan penduduk dari tahun ke tahun. Dari data Badan Pusat Statistik (BPS), penduduk Indonesia pada 2010 mencapai 238 juta. Kenaikan jumlah penduduk dengan daya dukung sumber daya alam yang terbatas tidak ditunjang politik pembangunan ekonomi yang adil. Hal itu menimbulkan berbagai kelangkaan (sumber pangan, air bersih, dan ruang terbuka hijau) yang mengancam degradasi lingkungan lewat maraknya kerusakan DAS, pencemaran limbah, dan penggundulan hutan secara masif. Indonesia terus terjebak dalam praktek penghancuran hutan. Contoh sederhana, penggunaan kertas yang tak terkendali—misalnya di kalangan mahasiswa dalam pembuatan skripsi. Dengan asumsi setiap pembuatan skripsi menghabiskan 400 lembar kertas, jika di Indonesia setiap tahun ada 4,5 juta mahasiswa yng menyusun skripsi, berarti terdapat 3,6 juta rim kertas HVS terpakai. Menurut www.howstuffworks.com, satu batang pohon pinus penghasil kertas berusia 5 tahun dengan diameter 30 cm dan tinggi 18 m menghasilkan 168 rim kertas HVS A-4 dengan berat kertas 70 gram. Maka, tiap tahun mahasiswa Indonesia memakai 21.428 batang pohon pinus untuk kebutuhan skripsinya (Randi Hari Putra, Intisari, 2010).  Komitmen Semu  Sejauh ini komitmen pemerintah dalam merancang kebijakan ekologis masih semu. Lemahnya penegakan hukum menjadikan pengelolaan lingkungan jatuh ke tangan-tangan korporat konsumtif daripada proekologis. Contohnya, 47 perusahaan berperingkat hitam belum dikenai sanksi, padahal 24 di antaranya menyandang peringkat hitam dua kali berturut-turut dan wajib dipidana. Di China dan Eropa, pemerintah memberi insentif dan pengenaan pajak bagi perusahaan yang ramah lingkungan. Laporan studi spesialis energi senior Bank Dunia, Xiaodong Wang, menyebutkan sejak 2007 China menerapkan pajak atas penggunaan batu bara senilai 5—20 renmimbi per ton. Pada 2008 penerimaan pajak mencapai 14,5 miliar renmimbi atau sekitar 2 miliar dolar AS. Eropa juga menerapkan pajak bahan bakar bagi truk dan mobil kelas SUV yang boros bahan bakar. Dengan target penurunan emisi karbon 26% pada tahun 2020, pemerintah mestinya memaksimalkan peran industri melalui kebijakan pemberian insentif karena sejauh ini industrilah penyumbang terbesar emisi karbon. Pemerintah harus menyelamatkan lingkungan dari kultur destruktifisme ekologis. Keputusan politik sangat menentukan masa depan pengelolaan lingkungan. Apalagi kita hidup pada zaman modern dengan berbagai pola perilaku masyarakat yang kian tak ramah kepada lingkungan. Jika tidak, kita sama saja telah membiarkan bumi menuju kehancuran.