sebuah NGO yang lebih populer?

by hanif sofyan

Ketika mengikuti diskusi kecil teman-teman NGO, muncul gagasan soal sebuah NGO yang lebih populer. soal ini mungkin kedengaran basi bagi yang sudah malang melintang di "dunia" NGO. pasalnya soal bagaimana mendudukan NGO pada tempatnya adalah kerjaan "harian" baik diantara rakyat sebagai dasar pijakannya, maupun diantara pemerintah, baik sebagai mitra maupun pihak yang seringkali menjadi sparing partner, baik untuk soal pembangunan kearah yang lebih positif, maupun soal baku hantam argumen di ruang diskusi untuk sekedar "meluruskan" persoalan yang bengkok, patah maupun keseleo dalam pengelolaan.


Hanya saja ketika kita kembali "mengintip" ke dalam "rumah" NGO, masih ada saja bagian yang memang  perlu perbaikan disana-sini. utamanya dalam soal keterlibatan para pihak yang berada dalam NGO itu sendiri. para pihak di pemerintahan bisa saja berganti-ganti menurut kondisi dan situasi, beda dengan NGO, banyak tokoh yang mengambil peran terus menerus di tempat yang sama, atau minimal beralih peran, namun masih dalam wilayah yang sama. seorang teman berkelakar, dari 100 kali kegiatan yang digelar sepanjang tahun diberbagai NGO, ternyata pesertanya adalah orang-orang yang sama pula. mungkin ini bukan soal jenuh atau bosan saja, atau benci roman. namun masukan yang arahnya ditujukan pada pegiat NGO ini adalah lebih pada capaian, keterlibatan dan juga regenerasi orang luar terhadap NGO.

Jika kita mau mengukur capaian NGO secara serius, dalam setahun, lima tahun, sewindu, satu dasawarsa, mungkin akan terlihat apa hasil yang sudah kita peroleh, minimal dalam soal iklim NGO yang mungkin sudah jauh beranjak positif dan terbuka, sedangkan hasil, membutuhkan proses panjang, mengingat kerja-kerja NGO memang pelan dan panjang, namun tantangannya pasti dan bertambah rumit. Kekuatiran yang kemudian muncul, bisa saja seperti teori konsumsi yang digagas Robert Malthus, seorang pakar ekonom. ketika seseorang disodori makanan sepiring dalam kondisi lapar, niscaya habis dengan lahap dalam seketika, namun ketika proses itu diulang terus menerus dalam waktu yang sama, hasilnya jenuh, bosan hingga pada titik nol. begitupun kondisi di dunia NGO, jika kenyataan yang sama juga berlangsung.

Kondisi saat ini yang terjadi adalah, NGO muncul menjadi lembaga yang eksklusif, karena ditimbuni dengan kerja-kerja berat dan serius, meskipun jika ditanyakan langsung pada pegiatnya tak begitu. Namun dengan keterlibatan orang yang sama terus menerus, dan dengan kerja-kerja dan kegiatan yang berulang, dilakukan oleh orang sama, akan sampai juga pada titik nol seperti yang digambarkan Malthus. NGO hari ini, masih pada tataran lembaga yang asing jika dimasuki oleh orang baru, NGO masih tetap asyik dengan dunianya meskipun dalam aktifitasnya ditujukan pada orang banyak di luar sana, namun sebagian orang lain di luar dunia itu masih juga menjadi penonton, dan bahkan masih menjadi objek yang secara positif maupun negatif menjadi pihak yang diundang dan dilibatkan jika dibutuhkan.

Sehingga perubahan hari ini harus diarahkan pada menjadikan NGO tidak lagi menjadi lembaga yang "berbeda dan lain", namun metamorfosa-nya harus diarahkan pada NGO menjadi lembaga yang lebih populer dan mudah diakses oleh siapapun dan lebih dikenal publik lebih dari sekedar lembaga "garang", sebagai penyuara keadilan. Pendekatan yang intim dengan "melibatkan" masyarakat lebih "ramah dan personal" mungkin menjadi salah satu jalan, disamping jalan kampanye yang lebih populis dan populer, melalui rekruitmen "sahabat NGO", kaderisasi dan pelibatan yang lebih serius dan terjaga ritmenya dengan mengikatnya melalui komunikasi yang intens.