Sejak Albert Arnold Gore Jr memenangkan Nobel Prize bersama Intergovernmental Panel On Climate Change yang mewacanakan perubahan iklim melalui film dokumenter An Inconvenient Truth (2006), gagasan membangun dan menyebarluaskan pengetahuan tentang perubahan iklim menggelembung menjadi isu baru dunia.
Mengejar target penurunan emisi dan menjaga suhu bumi di
bawah 1.5 derajat celcius sesuai Persetujuan Paris 2015, banyak negara sudah
mulai memberlakukan carbon pricing (tarif emisi karbon).
Sementara itu upaya menjaga kelangsungan konsumsi energi
fosil-migas, menjadi sangat dilematis. Persoalan latennya tidak lain,
pertumbuhan demografi, dan implikasi konsumsi energi yang bertambah di sektor
dominan transportasi, industri, rumah tangga, publik, dan bisnis.
Selain itu persoalan tata kelola limbah, ekonomi sirkular
yang berjalan stagnan, sehingga pekerjaan rumah kita tak lagi hanya sekedar
memikirkan bagaimana beralih dari brown energy ke green energy. Tantangan lain
adalah bagaimana mengupayakan zero waste sebagai solusi alternatif lainnya
untuk menjaga bumi.
Dalam menyelesaikan persoalan tersebut, Global Alliance for Incinerator Alternative (GAIA) dan lembaga-lembaga jaringannya di seluruh dunia seperti Yaksa Pelestari Bumi Berkelanjutan (YPBB) menginisiasi sebuah solusi yang disebut dengan Solusi Zero Waste.
Zero Waste mendorong sebuah wilayah untuk melakukan pemilahan sampah dari sumber dan pengomposan yang terbukti dapat mengurangi emisi gas rumah kaca serta merupakan solusi nyata yang perlu diprioritaskan dan dikampanyekan pada masyarakat luas.
Ekonomi Sirkular Melawan Sampah
Dari berbagai penyebab pemanasan global, sampah menjadi salah satu problem krusial. Sampah menyumbang sekitar 20% emisi gas metana yang berkontribusi besar menghangatkan Bumi.
Sistem produksi dan konsumsi plastik sekali pakai yang saat ini sudah menjadi kebiasaan masyarakat juga menjadi penyebab lain yang berdampak besar dalam pemanasan global.
sumber foto-global alliance for incinerator alternative (GAIA)
Green packing, apakah itu yang kita mau ketika belanja online?. Mengganti plastik bubble wrap, boks kayu , bantalan lembar quot, flute kardus--corrugated box, dengan kertas koran sebagai substitusi pengganti limbah plastik, atau material lain yang tidak ramah lingkungan.
Semangat green-nya masih sekedar wujud pendekatan akomodatif
dari gagasan bumi lestari dan cara mengambil hati pemilik kebijakan, bukan karena
kesadaran sepenuh hati. Padahal kita butuh aksi nyata yang harus berwujud
sebuah gerakan.
Jadi apa jalan tengahnya? . Ekonomi sirkular yang berbasis
pada penggunaan barang secara berulang, mudah didaur ulang dan tahan lama
adalah gagasan yang paling realistis dan harus terus didorong dimasa
depan.
Logika ekonomi sirkular sangat sederhana, semakin awet
sebuah barang, jika rusak dapat didaur ulang, memungkinkan kita tidak lagi
boros menggunakan material baru. Sampah dapat berkurang secara signifikan,
termasuk plastik yang menakutkan tapi justru dominan dalam lingkungan kita!.
Penggunaan plastikpun sebenarnya juga tidak jadi penghalang
utama kita, termasuk dalam konsep ekonomi sirkular. Jika diikuti dengan
berkembangnya industri daur ulang sampah plastik. Kita harus realistis bahwa
ketika kesadaran orang soal sampah masih minus, maka kerja-kerja mendorong
pemanfaatan ulang sampah juga harus menjadi domain pemikiran kita.
Bayangkan saja, Pusat Penelitian Oseanografi dan Pusat
Penelitian Kependudukan LIPI merilis hasil riset terkait dampak kebijakan
pembatasan selama pandemi dan beralihnya orientasi kerja menjadi Work From Homet
terhadap sampah plastik di kawasan Jabodetabek dilakukan melalui survei online
pada 20 April-5 Mei 2020.
Hasilnya mayoritas warga Jabodetabek melakukan belanja
online yang cenderung meningkat. Dari sebelumnya hanya 1-5 kali dalam satu
bulan, menjadi 1-10 kali selama Pandemi.
Penggunaan layanan delivery makanan lewat jasa transportasi
online, 96% paket dibungkus dengan plastik yang tebal dan ditambah dengan
bubble wrap. Bahkan 60 % responden berpendapat
penggunaan bungkus plastik mengurangi risiko terpapar COVID-19, menjadi sebuah
keharusan dilakukan. Nah lho.
Realitas itu artinya bahwa, itu tanda ketergantungan akut kita
dengan kemasan berbahan baku plastik. Sesuatu yang rumit di carikan jalan
keluarnya, bahkan melalui kebijakan plastik berbayar pun, belum signifikan
merubah pola belanja menggunakan material selain plastik.
Alternatif lainnya menggunakan green packing, plastik
berbahan nabati yang mudah didaur ulang. Itupun cuma baru bisa dilakukan para retail
dan pabrikan besar yang kuat modal, karena bahan bakunya masih mahal.
Melirik Bulkstore
sumber foto-galadiva.com
Bisa dibilang ini termasuk gagasan baru, meskipun ide
menggunakan bahan baku ramah lingkungan sebagai komponen pendukung belanja
telah dimulai jauh hari.
Zero waste lifestyle merupakan gaya hidup yang mulai dikenal
oleh banyak orang. Meskipun mengandung kata “zero” yang berarti nol, bukan
berarti gaya hidup ini tidak menghasilkan sampah. Gaya hidup ini mengajarkan
kita untuk melihat dan mengevaluasi bagaimana sesuatu yang kita konsumsi agar tidak
berdampak negatif terhadap lingkungan.
Masih ingat kan dengan gagasan hierarki sampah merujuk 3R,
yaitu Reuse, Reduce, dan Recycle yang mengklasifikasikan strategi manajemen sampah
menurut apa yang sesuai. Urutan hierarki sampah dari yang tertinggi ke yang
terbawah yaitu pencegahan, pengurangan sampah, penggunaan kembali, daur ulang,
penghematan energi, dan pembuangan.
Nah, bulkstore adalah salah satu ide yang muncul dari gaya
hidup zero waste yang tidak jauh dari inti gagasan ekonomi sirkular. Bulkstore
adalah toko yang sudah menerapkan konsep zero waste. Biasanya produk-produk
yang dijual juga ramah lingkungan, berasal dari bahan-bahan alami, dan tidak
dikemas dengan kemasan plastik.
Para pembeli yang ingin membeli di bulk store harus membawa
tempat belanja sendiri. Misalnya tas reseuble, toples atau tempat belanja
lainnya. Intinya selain menjaga lingkungan dari limbah kemasan, adalah kebiasaan
mempertimbangkan apa yang kita beli akan mengubah perilaku konsumen. Yaitu
mendorong konsumen untuk membeli hanya yang dibutuhkan, artinya mengurangi
sampah makanan (food waste).
Sustainable Laundry
sumber foto-dokpri
Aku cukup realistis ketika pada akhirnya memulai gagasan ini, merubah konsep laundry konvensional menjadi “sustainable laundry”. Terus terang idenya memang tidak jauh dari gagasan bulkstore yang gagasan awalnya juga berasal dari ekonomi sirkular. Intinya selain menjaga lingkungan dari limbah berusaha mengubah perilaku konsumen.
Diawal bisnis yang bercampur dengan idealism konsep green business
ini, aku merasakan bahwa setiap hari, setiap minggu, hingga per bulannya,
penggunaan plastik sebagai komponen utama dalam bisnis laundry konvensional makin
aku rasakan meningkat. Bersamaan dengan tumbuhnya kekuatiran soal limbah.
Kemudian saya mulai merilis gagasan sustainable laundry.
Langkah pertama mengkomunikasikan dengan para pelanggan utamanya membership.
Menawarkan penggunaan tas daur ulang yang aku beri nama “Monster Bin”—tempat sampah
lipat dan bisa ulang pakai layaknya seekor monster yang bisa melahap apa saja.
Aku menawarkan layanan bantuan cuci gratis tas daur ulangnya
sebagai daya tarik tambahan. Berikutnya adalah menggunakan alternatif packing
dengan menggunakan kertas Koran.
Tidak diduga gagasan ini direspon sangat positif. Intinya
bahwa gagasanku untuk sampai pada zero waste-sebagai aksi nyata ekonomi
sirkular berjalan tanpa rintangan.
Setidaknya ini adalah bentuk kontribusi nyata paling
sederhana yang bisa aku lakukan. Ketika aku berusaha menggabungkan apapun jenis
bisnis dengan konsep green-zero waste yang aku pahami secara sederhana.
Sekecil apapun tindakan kita akan memberi kontribusi
positif. Bagaimana jika kelak gagasan ini menjadi sebuah gerakan bersama.
Gerakan yang mengajarkan kearifan lokal kepada alam, dengan mengubah mindset
agar menjadi sebuah kesadaran baru.
referensi:
https://drive.google.com/file/d/1gnR5P61KCJMh61D3pBrb2Xc-ldeDold4/view
https://zerowaste.id/zero-waste-lifestyle/toko-dengan-konsep-zero-waste-lifestyle/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar