Dusun Kutaran dan Podiamat memang terpisah sebuah kanal banjir dari dua dusun lainnya. Bukan karena kampung mereka dihuni para OYPMK-Orang Yang Pernah Menderita Kusta. Dulu, ada jembatan penghubung kedua dusun itu dengan Dusun Musafir dan Buenot, tapi ambruk diterjang tsunami. Kini hanya tersisa tunggulnya yang bentuknya unik seperti dudukan “water closed” alias WC duduk.
Dusun yang Diasingkan
Sebelum tsunami menurut Tuanku Hamzah, pejabat geuchik atau kepala dusun, penduduk empat dusun itu mencapai 7.000 jiwa. Setelah tsunami tinggal sekitar 1200-an jiwa. Dusun-dusun itu dulu terlihat kusam dalam temaram lampu-lampu redup lampu teplok, tapi kini lumayan terang dengan bohlam kecil karena telah dialiri listrik. foto-Bekas jembatan penghubung dusun Podiamat I dokumentasi pribadi
foto sudut dusun podiamat alue naga I dokumentasi pribadi
Podiamat berada di kampung Alue Naga dengan tiga dusun lainnya, Buenot, Musafir, Kutaran. Konon nama Alue Naga disematkan karena letak kampung itu berada di muara sungai yang berkelok-kelok menyerupai tubuh naga. Konon juga menjadi sarangnya.
Berbeda dari cerita legenda turun temurun, tentang kisah Raja Linge dan putrinya Renggali dengan para naga. Di tempat yang dilewati para naga itulah terbentuk sebuah alur atau sungai kecil, yang disebut Alue Naga.
Saat tsunami 26 Desember 2004, seperlima daratan di Dusun Musafir dan Bunot yang menjorok langsung ke laut berubah menjadi ceruk air
atau kolam. Kutaran lebih parah. Lebih sepertiga daratannya terendam air.
Mereka mengungsi ke Neheun dan Tibang, di barak pengungsian sementara yang tak jauh dari kampung pinggiran laut. Pilihan itu sulit, karena sebagian besar mereka adalah nelayan.
Penduduk Dusun Podiamat, disediakan barak khusus. Barak ini terpisah dari barak-barak lain, karena rata-rata warga dusun tersebut menderita lepra atau kusta. Zuwariyah (53) tahun menjelaskan, ia tak lama bertahan dibarak Tibang, Syiah Kuala karena ingin kembali ke rumah lama, apalagi banyak masalah dengan para tetangga karena penyakitnya.
foto gubuk pancing dusun Podiamat I dokumentasi pribadi
Kondisi fisik seperti Zuwariyah sering menjadi penyebab kecemasan bagi penduduk lain berinteraksi meskipun sudah lama sembuh. Kesalahpahaman dan stigma cap buruk menjadi masalah utama yang serius. Apalagi anak-anak mereka yang harus bersekolah.
Apalagi kondisi penduduk yang menderita kusta telah berlangsung sejak masa penjajahan Belanda. Dusun Podiamat identik menjadi tempat isolasi dan “penjara” bagi penderita kusta. Mereka dikucilkan, karena dianggap menderita penyakit akibat kutukan dan bisa menular.
Kusta atau Lepra disebabkan sejenis bakteri bernama mycobacterium leprae dan merupakan infeksi menahun yang ditandai kerusakan saraf perifer atau saraf otak bagian luar dan medulla spinalis, kulit, selaput lendir hidung, buah zakar, dan mata.
Penyakit kusta bisa ditandai munculnya gatal-gatal di kulit seperti penyakit panu biasa. Gatal-gatal itu berubah dalam sepuluh tahun kemudian. Sendi-sendi jari tangan dan kaki Zuwariyah tertekuk dan seperti digerogoti binatang. Kulit tangan kering. Sebagian mengelupas.
Penyakita kusta menyisakan kondisi cacat yang bisa menyurutkan
semangat hidup penderitanya. Abu Bakar dan Zuwariyah tak peduli dengan kondisi itu, karena tak ada pilihan lain. Mereka bahkan punya usaha sebelum tsunami.
Zuwariyah beternak, berdagang dan menjahit. Telur-telur ayam tersebut mereka
jual ke agen sebelum dibawa ke Pasar Peunayong di pusat kota.
Begitulah mereka bertahan hidup, sambil sesekali mengharap bantuan pemerintah, jika mereka ingat ada warganya yang terlunta!.
Melawan Stigma dan Bangkit
“jangankan dengan warga luar, dengan tetangga tiga dusun saja kami sulit berbaur. Mereka takut tertular. Apapun yang kami lakukan tak bisa membuat mereka percaya, jadi kami bertahan dengan apa yang kami bisa” kata Zuwariyah sambil menerawang.
Selama masa rehab rekon tsunami, satu-satunya cara mereka tinggal di barak sementara, itupun penuh dengan banyak rintangan karena kondisi fisik mereka paska sembuh dari kusta. Terutama stigma dan diskriminasi terhadap keluarga dan penderita kusta.
Penduduk dusun Podiamat seperti Zuwariyah tak pernah menyerah. Setelah tsunami kehidupan mereka mulai berubah lebih baik karena mereka mendapat rumah bantuan dari banyak NGO asing. Sayangnya tsunami merenggut hampir seluruh penduduk di dusun itu. Hanya tinggal beberapa yang selamat yang menikmati hadiah rumah bantuan tsunami itu.
Tapi tak sedikit yang kehilangan tapak rumahnya karena kini terendam laut dan berubah menjadi pantai.
Pemerintah daerah telah berusaha meyakinkan penduduk di tiga dusun lainnya untuk menerima para penderita kusta yang telah sembuh atau OYPMK, tapi butuh waktu lama.
fotopenderita kusta-lintasgayo
Penyakit kusta masih menjadi masalah kesehatan yang sangat kompleks, sebab hingga kini masih ada 6 provinsi (Papua Barat, Papua, Maluku, Maluku Utara, Sulawesi Utara dan Gorontalo) yang belum mencapai eliminasi kusta. Prevalensi kusta di keenam provinsi tersebut masih di atas 1/10.000 penduduk.
Berdasarkan data yang dihimpun Kementerian Kesehatan per tanggal Data per 24 Januari 2022 mencatat jumlah kasus kusta tedaftar sebesar 13.487 kasus dengan penemuan kasus baru sebanyak 7.146 kasus, dengan proporsi anak sebesar 11% (data per 24 Januari 2022). Indonesia masih menjadi penyumbang kasus kusta nomor 3 di dunia setelah India dan Brazil.
Berbagai pembatasan dan keterbatasan akses mereka terhadap
ekonomi, menyebabkan penderita kusta identik dengan kemiskinan. Kelompok
beresiko tinggi adalah mereka yang tinggal di daerah endemik yang berkorelasi
dengan sistem higienitas dan sistem sanitasi yang buruk, seperti tempat tidur
yang tidak memadai, minim air bersih, asupan gizi buruk dan adanya penyertaan
penyakit lain yang dapat menekan sistem imun.
Sejatinya bukan itu problemnya, karena perhatian dan penanganan yang terlambat dari pemerintah dan pemahaman orang yang kurang menyebabkan penyakit ini terus ada, Banyak orang mengira kusta
tidak dapat diobati, padahal dunia medis telah mengalami revolusi perkembangan
yang luar biasa dalam penanganan penyakit ini secara total.
Kelompok Studi Morbus Hansen menjelaskan bahwa penanganan medis yang cergas sejak dini, memungkinkan seorang penderita dapat sembuh total tanpa mengalami cacat. Pengobatan kusta menggunakan kombinasi antibiotik atau disebut dengan multi drug treatment, seperti Rifampicin, Dapsone, dan Clofazimine. Pengobatan ini dapat menghindari bakteri kusta menjadi kebal atau resisten, sehingga dapat memutus rantai penularan dan dapat dicegah tanpa menimbulkan cacat.
Tidak hanya itu, upaya pemulihan dan pengobatan juga berkoordinasi
dengan disiplin ilmu lain, termasuk saraf, mata, bedah ortopedi, dan
rehabilitasi medik, psikolog dan ilmu lainnya yang kompleks.
Hingga saat ini seperti yang dirasakan Zuwariyah dan warga
lainnya, masalah yang paling sulit dari penanganan penyakit kusta ternyata
bukan dari sisi medisnya, tetapi justru “menyembuhkan” stigma negatifnya. Edukasi
yang intens menjadi salah satu kunci keberhasilan dalam penanganan penyakit
tersebut untuk membebaskan Indonesia dari kusta.
Floating Culture
Mengapungkan Harapan OYPMK
Dua tahun lalu, Lembaga riset Natural Aceh dengan dukungan Dompet Dhuafa. melakukan inovasi bubidaya tiram terbaru yaitu ‘floating culture’ atau model tiram terapung, di Gampong Alue Naga.
Alat budidaya tiram, berupa keramba terbuat dari kawat wiremesh yang berfungsi sebagai kandang luar, dan High Density Polyethylene (HDPE) sebagai wadah atau keranjang untuk pembesaran tiram.
foto catatan pencerahan-budidaya tiram terapung dusun Podiamat
Pembudidayaannya melibatkan 10 kelompok wanita pencari tiram Alue Naga yang berasal dari Dusun Podiamat dan Dusun Kutaran, dengan 50 anggota.
Masing-masing mendapat keranjang dari HDPE yang akan diisi benih tiram dan
diletakkan dalam kandang wiremesh. Mereka menggunakan barang bekas seperti galon
untuk mengapungkan kandang tiram di air. Ini juga menjadi solusi positif pengurangan
sampah plastik.
Inovasi ini menjadi sebuah “cahaya” harapan baru bagi penduduk Podiamat. Mereka memiliki kesibukan baru, mendapat pelatihan membuat dan memasang tiram dengan floating culture, yang membuka peluang ekonomi bagi para OYPMK.
foto dokpri-keramba dan perahu nelayan di dusun Podiamat
Kini kesibukan mereka merawat keramba menjadi pemantik semangat karena bisa beraktifitas secara normal dalam ekonomi dan memiliki kepastian mendapatkan penghasilan setiap bulannya.
Intensitas kunjungan yang tinggi menjadi bagian dari wisata edukatif yang dapat dinikmati pengunjung yang ingin tahu lebih lanjut tentang budidaya tiram. Tinggal bagaimana pemerintah daerah bersinergi-membuat kolaborasi mendukungnya.
Apalagi Dusun Podiamat di Alue Naga juga memiliki view sunset yang menawan, berbanding terbalik dengan nasib mereka dulu. Kini kampung Podiamat dengan kehidupan para OPYMK-nya terasa lebih berwarna. Minimal bagi mereka yang dulu terasing di dusunnya sendiri.
Seiring waktu, Dusun Podiamat terus bertahan dalam gempuran nasib dan waktu di "Sarang para naga legenda" .
Sumber bacaan dan foto
Foto dokumen pribadi
https://aceh.tribunnews.com/2021/11/24/alue-naga-antara-legenda-dan-fakta-dari-kutaraja
https://infopublik.id/kategori/nusantara/324432/model-tiram-terapung-diluncurkan-di-alue-naga
https://pantau.or.id/liputan/2006/10/polemik-di-sarang-naga/
https://thetalks.id/antara-stigma-dan-akses-ekonomi-penderita-kusta/
https://sehatnegeriku.kemkes.go.id/baca/umum/20220203/2839247/menuju-eliminasi-2024-kemenkes-ajak-masyarakat-hapus-stigma-dan-diskriminasi-kusta/
https://www.facebook.com/NLRIndonesia/
https://aceh.antaranews.com/berita/47239/alue-naga-dijadikan-sentra-budi-daya-tiram
Tidak ada komentar:
Posting Komentar