Oleh Zarkasyi Yusuf, ASN Pada Kanwil Kementerian Agama Provinsi Aceh
https://aceh.tribunnews.com/2021/08/14/merdeka-tetapi-menderita?page=all
Menurut kamus besar Bahasa Indonesia merdeka diartikan bebas dari penghambaan, penjajahan, berdiri sendiri, tidak terkena atau lepas dari tuntutan, tidak terikat, tidak bergantung kepada orang atau pihak tertentu (leluasa). Jika disederhanakan, merdeka adalah keadaan bahagia sedangkan tidak merdeka adalah menderita.
Kyai Haji Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pernah memberikan pernyataan tentang hakikat merdeka, pernyataan ini diungkap Gus Dur dalam diskusi Forum Demokrasi (FORDEM) pada 8 Agustus 1991 silam untuk memperingati kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-46 (Majalah AULA Nahdhatul Ulama (NU).
Gus Dur memberikan tujuh hakikat merdeka, (1) kemerdekaan lebih merupakan proses perjuangan menentukan nasib sendiri daripada keadaan yang bebas dari segala soal, kesulitan, dan hambatan. (2) Kemerdekaan adalah hak, hak yang mendasar bagi setiap manusia yang harus dijamin dalam hidup kemasyarakatan, terutama dalam hidup berbangsa dan bernegara. (3) Musuh kemerdekaan bukanlah kekuasaan masyarakat dan negara, melainkan kesewenang-wenangan dalam penggunaa kekuasaan itu.
(4) Kemerdekaan mensyaratkan susunan dan penggunaan kuasa kemasyarakatan dan kenegeraan tertentu. Semakin terpusat kekuasaan pada satu tangan, semakin tak berfungsi kemerdekaan sebagai kaidah hidup kemasyarakatan. (5) Kemerdekaan sulit bertahan bahkan dalam susunan kuasa kemasyarakatan dan kenegaraan yang terpusat pada beberapa tangan.
(6) Kemerdekaan semakin berfungsi dalam susunan kuasa kemsyarakatan dan kenegaraan yang tersebar dengan maksimal. Karena itu, risiko ancaman kesewenang-wenangan memang sangat tinggi, tapi ini mungkin bisa dicegah oleh jaminan persamaan hak bagi semua. (7) Kemerdekaan berfungsi dalam suatu pengelolaan hidup masyarakat dan negara secara seimbang, menghubungkannya dengan perasaaan senasib sepenanggungan dan persamaan hak.
Dalam perjalanan waktu, penderitaan masih saja dirasakan meskipun telah merdeka, bahagia yang menjadi tujuan para pendahulu dalam memperjuangkan kemerdekaan belum sepenuhnya hadir di tanah yang sudah merdeka. Jangan menghujat, jangan menyalahkan siapa pun, sebab persatuan dan kesatuan telah menghantarkan negeri ini merdeka, dengan persatuan dan kesatuan itu pula kita akan mampu melanggengkan kemerdekaan, merdeka pasti hambar jika usai merdeka masih terjadi pertumpahan darah, bermusuhan, mendendam dan saling bertikai.
Apa yang harus dilakukan agar penderita lenyap di bumi yang telah merdeka, kini usianya 76 tahun. Pertama, jangan berkhianat. Siapa pun kita, apapun profesinya jangan pernah berkhianat dengan profesi kita, jalankan profesi itu dengan amanah dan jauhkan dari berkhianat. Presiden, gubernur, bupati/walikota, camat, kepala desa jangan berkhianat dengan jabatan sedang disandang. Perlu diingat, menjadi pemimpin adalah untuk melayani, bukan menjadi kebangaan yang hanya akan mengantarkan kesombongan dan keangkuhan.
Terkait pengkhianatan pemimpin, Aisyah Radhiallahu anha berkata,” Aku pernah mendengar Rasulullah Salallahu ‘alaihi wasallam berdoa seperti ini di kamarku: “Allahumma man waliya min amri ummatii syai-an farafaqa bihim farfuq bihi, waman waliya min amri ummatii syai-an fasaqqa ‘alaihim, fasfuq ‘alaihi”. Wahai Allah, siapa saja yang (bertugas) mengurus sebuah urusan umatku kemudian ia bersikap lembah lembut terhadap mereka (umatku) maka sayangilah ia, dan siapa saja yang mempersulit (urusan) mereka (umatku), maka persulitlah ia”. (H.R Imam Muslim).
Cerita para pemimpin dunia sejatinya terus dibaca dan dikenang, mengapa mereka sukses dengan dukungan seadanya. Menjadi pemimpin bukan untuk menikmati fasilitas yang disediakan, meskipun beragam fasilitas diperuntukkan untuk memaksimalkan tugas-tugas sebagai pimpinan.
Dalam catatan sejarah, Salahuddin al-Ayyubi telah menjadi pemimpin yang sederhana. Kisahnya dipuji Edward Gibbon (1737-1794) dalam bukunya The History of The Decline and Fall of Roman Empire.
Dia menulis ”Spirit Salahuddin sangat ambisius namun menjauhi tipu daya kenikmatan yang lebih berbahaya dari popularitas dan kekuasaan. Baju yang dia kenakan adalah wol yang sangat kasar. Air putih adalah minumannya satu-satunya.
Sikap zuhudnya adalah teladan dalam menahan diri. Keimanan dan perilakunya sebagai Muslim sangat kental. Dia selalu bersedih, kesibukannya menjaga agama dalam medan perang mengalihkan waktunya dari berhaji. Dia sosok yang tak pernah meninggalkan shalat lima waktu. Dia kerap membaca Alquran di atas kudanya sesaat sebelum berperang melawan musuh, ini adalah bukti keberanian dan ketakwaannya.”
Sementara William Durrant (1885-1981) dalam The Story of Civilization menulis, ”Dia memberikan layanan sebaik-baiknya untuk rakyat dan mendengarkan langsung keluhan mereka. Nilai harta yang dia miliki tak lebih dari harga pasir dan tidak mewariskan harta yang banyak di brangkasnya kecuali satu dinar.
Dia meninggalkan wasiat untuk putranya, berupa nasihat yang tak mampu ditandingi satu pun ayat dari filsafat Nasrani.”
Dua cacatan sejarah ini memberikan pemahaman bahwa pemimpin harus sederhana, dilarang gelamor dan berfoya-foya dengan fasilitas yang disedikan negara untuk dirinya. Pemimpin berfoya-foya pasti akan menutup mata melihat penderitaan dari rakyatnya, dirinya bahagia, dan rakyat menderita.
“Tuan orang yang sangat celaka walaupun Tuan Penguasa tujuh kota”, itulah ucapan Darwis saat bertamu ke istana Raja Ibrahim bin Adham.
Kedua, agar tidak menderita di bumi merdeka hal yang harus kita amalkan adalah menjaga persatuan dan kesatuan dengan menumbuhkan sikap nasionalisme. Salah seorang tokoh nasionalisme Republik ini adalah Haji Agus Salim (1884-1954), beliau berpendapat bahwa nasionalisme adalah menghargai persatuan dan persamaan agar saling bekerja bersama-sama dan tidak saling mempersalahkan (Buku Seratus Tahun Haji Agus Salim, 1984).
Menurut Haji Agus Salim, nasionalisme dilandaskan pada ibadah kepada Allah dengan landasan tulus dan ikhlas untuk mencari keridhaan Allah. Menurut beliau, nasionalisme didasarkan pada nilai -nilai tauhid bukan fanatisme buta dan cinta berlebihan, nasionalisme mengandung perasaan kemanusiaan, persaudaraan dan kemuliaan bangsa, nasionalisme harus tulus dan cernih dari kepentingan.
Saling menyalahkan sering dipertontonkan di Republik ini, baik dari kalangan orang cerdas sampai kalangan awam, dari pemimpin sampai rakyat jelata. Padahal, semua paham bahwa saling menyalahkan tidak akan pernah menyelesaikan persoalan, hanya menyisakan permusuhan dan berujung pada rusaknya persatuan.
Bagaimana mencari bahagia jika masih menyisakan permusuhan, masih menyisakan pertikaian dan konflik kepentingan yang tidak bertepi. Jika rasa persatuan dan nasionalisme ditanggalkan maka menderita di bumi merdeka adalah sebuah keniscayaan yang tidak dapat dielakkan.
Akhirnya, semua sependapat bahwa menderita harus diakhiri, penderitaan berkepanjangan dengan munculnya saling menyalahkan dan permusuhan bukan menjadi tujuan perjuangan kemerdekaan, merdeka itu untuk bahagia bukan untuk menderita.
Untuk itu, jangan menjadi pengkhianat di bumi merdeka apapun profesi kita, siapapun kita nasionalisme harus tumbuh dan mendarah daging dalam kehidupan kebangsaan, sebab nasional akan mengantarkan pada persatuan dan kesatuan. Ingat, kita hanya diminta mensyukuri nikmat kemerdekaan dengan menebar kebaikan dan menjaga persatuan dan kesatuan. Selamat Hari Merdeka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar