Label

# (2) 100 buku (1) 1001 Cerita membangun Indonesia (1) 2016 (1) 2019 prabowo presiden (1) 2019 tetap jokowi (1) 2020 (1) 2021 (2) 21 tahun (1) 21 wasiat Sultan untu Aceh (2) 49 tahun IAIN Araniry (2) 99 buku (1) a ceh bahan buku (1) Abu Mudi (1) aceh (11) Aceh Barat (2) aceh digest (1) aceh history (2) aceh kode (2) aceh kopi (1) Aceh Singkil (1) aceh tengah (3) Aceh Tourism (2) Adat Aceh (3) agama (25) Air Bersih (2) aisya (1) Alue Naga (1) amazon (1) aminullah (1) anehnya negeriku indonesia (3) anggaran nanggroe aceh (1) anies (1) APBA (6) apresiasi serambi indonesia (1) arsip (1) artikel hanif (74) artikel kompas (1) artikel nabil azra (3) artikel rini (4) Artikel Serambi (9) artikel serambi-tokoh sastra melayu (2) artikel Tanah Rencong (1) artikel trans89.com (1) artikel/opini Modus Aceh (1) arundati roy (1) asia (1) asuransi (2) atlas of places (1) australia (1) Ayam (1) bacaan hari raya (1) bahan buku (106) bahan buku aceh (1) bahan buku kolaborasi (2) bahan buku. (12) bahan tulisan (1) bahana buku (1) bahasa (2) Banda Aceh (1) Bank Aceh syariah (1) Bank syariah Indonesia (1) batu (1) bawaslu (1) bencana alam (7) bendera dan lambang (1) Berbagi (1) berita nabil (1) berita serambi (1) berkeadilan (1) BHR (1) Bie Da Rao Wo Zhong Tian (1) bill gates (2) Bioscoop (1) Bioskop (1) birokrasi (1) birokrasi politik (1) Blogger Competition 2017 (1) Blogger Indonesia (1) BMA 2023 (3) Bola Kaki (1) book (1) BP2A (1) BPBA (1) BSI (1) budaya (83) budaya aceh (12) budaya massa (1) budaya tradisional (2) bukit barisan (1) buku (7) buku covid anak (1) Buku kapolri (1) bulkstore (2) bullying (1) bumi (2) bumi kita (1) bumi lestari (2) bumiku satu (1) Buyakrueng tedong-dong (1) cadabra (1) cerdas (1) cerita (2) cerpen (2) child abuse (1) climate change (3) Connecting Happiness (3) ConnectingHappiness (1) Cormoran Strike (1) Corona (1) corona virus19 (2) covid (1) Covid-19 (1) covid19 (9) CSR (1) cuplikan (1) Cut Nyak Dhien (1) dakwah kreatid (2) Dana Hibah (2) dara baroe (1) Data (1) dayah (4) De Atjehers (1) demam giok (1) Democrazy? (5) demokrasi (10) demokrasi aceh (6) diaspora (1) dinasti politik (3) diplomasi gajah (1) Ditlantas Meupep-pep (1) diva (1) DKPP (1) Don’t Disturb Me Farming (1) DPRA (1) dr jeckyl (1) Drama (1) drive book not cars (2) dua tahun BSI (1) Dusun Podiamat (1) earth hour (2) earth hour 2012 (2) ekonmi islam (1) Ekonomi (52) Ekonomi Aceh (51) ekonomi biru (1) ekonomi Islam (7) ekonomi sirkular (2) ekoomi (1) Ekosistem kopi (1) eksport import (1) Elizabeth Kolbert (1) essay (1) essay keren (1) essay nabil azra (1) falcon (1) fiksi (1) Film (6) Film animasi (1) film china (1) film cina (1) film drama (3) Film jadul (1) film lawas (1) filsafat (2) fir'aun (1) forum warga kota (1) forum warung kopi (2) FOTO ACEH (2) fourth generation university (2) GAIA (1) gajah sumatera (1) gam cantoi (2) gambar (1) ganjar (1) Garis Wallacea (1) garis Weber (1) Gas Terus (1) GasssTerusSemangatKreativitasnya (1) gempa (2) gender (3) generasi manusia (1) germs (1) gibran. jokowi (1) Gillian Rubinstein (1) god (1) goenawan mohamad (1) gramedia (1) groomer (1) grooming (1) gubernur (2) guiness book of record (1) guru (1) guru blusukan (1) guru kreatif (1) guru milenial (1) H. Soeprapto Soeparno (1) hacker cilik (1) Hadih Maja (1) Halodoc (1) Halue Bluek (1) hanibal lechter (1) hanif sofyan (7) hardikda (1) hari Air Sedunia (3) hari bumi (2) Hari gizi (1) hari hoaxs nasional (2) harry potter (1) hasan tiro (1) hastag (1) hemat energi (1) herman (1) Hikayat Aceh (2) hoaks (2) hoax (2) hobbies (1) hoegeng (1) HUDA (1) hukum (3) humboldtian (1) hutan indonesia (5) ibadah (1) ide baru (1) ide buku (2) idelisme (1) ideologi (1) idul fitri 2011 (1) iklan (1) Iklan Bagus (2) indonesia (4) Indonesia city Expo 2011 (1) industri (1) inovasi (1) Inovasi Program (1) intat linto (1) intermezo (5) internet dan anal-anak (1) investasi (2) investasi aceh (1) Iran (1) isatana merdeka (1) Islam (1) islam itu indah (3) Islamic banking (1) ismail bolong (1) Ismail Fahmi Lubis (1) IT (4) jalur Rempah (2) Jalur Rempah Dunia (2) Jalur rempah Nusantara (2) jeff bezzos (1) Jejak Belanda di Aceh (1) jepang (1) jk rowling (2) JNE (5) JNE Banda Aceh (1) JNE33Tahun (1) JNEContentCompetition2024 (1) joanne kathleen rowling (1) jokoei (1) jokowi (1) juara 1 BMA kupasi 2023 (1) juara 1 jurnalis (1) juara 2 BMA kupasi (1) juara 3 BMA kupasi 2023 (1) jurnal blajakarta (1) jurnal walisongo (1) jurnalisme warga (1) kadisdik (1) kaki kuasa (1) kalender masehi (1) kambing hitam (1) kampanye (1) kampus unsyiah (4) kamuflase (1) karakter (1) kasus kanjuruhan (1) kasus sambo (1) kaya (1) KBR (1) kebersihan (1) Kebudayaan Aceh (7) Kebumen (1) kedai kupi (1) kedai-kopi (1) Kedokteran (1) kedokteran Islam (1) kejahatan anak (1) kejahatan seksual anak (1) kekuasaan. (1) kelas menulis SMAN 5 (4) kelautan (4) keluarga berencana (1) Keluarga Ring Of Fire (1) kemenag (1) kemiskinan (2) kemukiman (2) kepemimpinan. (2) kepribadian (1) Kepribadian Muslim (1) kerajaan Aceh (2) kerja keras (1) kesehatan (13) kesehatan anak (4) keuangan (1) keuangan aceh (1) khaled hosseini (1) Khanduri Maulod (1) khutbah jumat (1) king maker (1) kirim naskah (1) Kisah (1) Kisah Islami (1) kite runner (1) KKR (2) KoescPlus (1) koleksi buku bagus (4) koleksi foto (2) Koleksi Kontribusi Buku (1) koleksi tulisanku (2) kolom kompas (1) kolom kompas hanif sofyan (2) kolom tempo (2) kompetensi siswa (1) Komunikasi (1) komunitas-serambi mihrab (1) konsumerisme (1) Kontribusi Hanif Sofyan untuk Buku (3) Kopi (2) kopi aceh (5) kopi gayo (2) kopi gayo.kopi aceh (1) kopi libri (1) Korupsi (7) korupsi di Aceh (4) kota masa depan (1) kota yang hilang (1) KPK (2) KPU (1) kredo (1) kriminal (1) krisis air (2) ku'eh (1) Kuliner Aceh (2) kultum (2) kupasi (1) kurikulum 2013 (1) kwikku (1) Labschool UIN Ar Raniry Banda Aceh (1) lain-lain (1) lalu lintas (1) lambang dab bendera (4) laut (1) Laut Aceh (1) Laut Biru (1) lebaran 2025 (1) legenda (1) Li Zhuo (1) lian hearn (1) Library (1) Library Gift Shop (2) lifestyle (1) limapuluah koto (1) Lin Xian (1) lincah (1) Lingkungan (42) lintho (1) listrik aceh (1) LNR (1) Lomba artikel 2016 (4) Lomba blog 2016 (1) lomba blog unsyiah 2018 (1) Lomba Blogger Unsyiah (2) lomba JNE (1) lomba mneulis asuransi (1) LSM-NGO (3) M nasir Fekon (1) Maek (1) maekfestival (1) magazine (1) makam (1) malcom gladwell (1) manajemen (2) manipulatif (1) manusia (2) marginal (1) Masyarakat Urban. (1) Mauled (1) maulid (2) Maulod (1) Media (1) megawati (1) Melinjo (1) Memberi (1) menhir (1) Menyantuni (1) mesjid baiturahman (2) Meulaboh (1) MH Amiruddin (1) migas (1) mimbar jum'at (1) minangkabau (1) Misbar (1) misi (1) mitigasi bencana (5) molod (1) moral (1) More Than Just A Library (2) motivasi (1) MTSN 4 Labschool UIN Ar Raniry (1) MTSN4 Banda Aceh (1) mukim (2) mulieng (1) museum (2) museum aceh (2) Museum Tsunami Aceh (4) music (1) Music show (1) musik (1) muslim produktif (1) musrenbang (1) Nabi Muhammad (2) naga (1) nagari seribu menhir (1) narkotika (1) naskah asli (3) Naskah Kuno Aceh (2) Negeri rempah terbaik (1) nelayan (1) new normal (1) Nina Fathdini (1) novel (1) Nubuah (1) Nusantara (1) off road (1) olahraga (2) one day one surah (1) opini (5) opini aceh tribun (2) opini analisadaily.com (1) opini bebas (1) Opini di lentera (1) opini hanif (1) opini hanif di serambi indonesia (4) opini hanif sofyan (1) Opini Hanif Sofyan di Kompas.id (1) opini hanif sofyan di steemit (1) opini harian aceh (4) Opini Harian Waspada (1) opini kompasiana (2) opini lintas gayo (11) opini lintas gayo com (1) opini LintasGayo.co (2) opini majalah tanah rencong (1) opini nabil azra (1) opini rini wulandari (1) opini serambi (43) opini serambi indoensia (4) opini serambi indonesia (169) opini siswa (4) opini tabloid lintas gayo (5) opini tempo (1) otsus (1) OYPMK (1) pandemi (1) pandemi covid-19 (9) papua (1) Pariwisata (3) pariwisata aceh (1) parlemen aceh politik aceh (8) pawang (1) PDAM (1) PDIP (1) pelosok negeri (1) Peluang Pasar (1) pemanasan global. green energy (1) pembangunan (29) pembangunan aceh (1) pemerintah (4) pemerintahan (1) pemilu 2014 (5) pemilu pilkada (1) pemilukada (9) Pemilukada Aceh (14) penddikan (2) pendidikan (29) pendidikan Aceh (27) penjahat kambuhan (1) penyair aceh (1) Penyakit kusta (1) Perbankan (3) perbankan islam (3) perdamaian (1) perempuan (8) perempuan Aceh (5) perempuan dan ibu (1) perempuan dan politik (2) perikanan (1) perpustakaan (2) perputakaan (1) personal (2) personal-ekonomi (1) pertanian (2) perusahaan ekspedisi (1) perusahaan logistik (1) perwira tinggi polri (1) pesantren (2) Pesta Demokrasi (1) pidie (1) pileg (1) pileg 2019 (2) pilkada (14) pilpres (2) pilpres 2019 (3) pilpres 2024 (2) PKK Aceh (1) plastik (1) PNS (1) polisi (2) polisi jahat (1) politik (115) politik aceh (160) politik indonesia (3) politik KPK versus korupsi (4) politik nasional (4) politis (1) politisasi (1) politk (5) Polri (1) polri presisi (1) popular (1) poster. (1) prabowo (2) prediktif (1) presiden (1) presiden 2019-2024 (1) PRESISI POLRI (1) produktifitas (1) PROFIL (1) propaganda (1) psikologi (2) psikologi anak (1) psikologi pendidikan (1) psikologis (1) Pulo Aceh (1) PUSA (2) pustaka (1) qanun (1) qanun Anti rentenir (1) Qanun LKS (2) Qu Meng Ru (1) ramadan (1) ramadhan (2) Ramadhan 2011 (4) ramadhan 2012 (2) rawa tripa (1) recycle (1) reduce (1) reformasi birokrasi (1) religius (1) Resensi buku (3) Resensi Buku hanif (2) resensi film (2) resensi hanif (2) residivis (1) resolusi. 2021 (2) responsibility (1) reuse (1) review buku (1) revolusi industri (1) robert galbraith (1) rohingya (1) Romansa (1) romantisme kanak-kanak (1) RPJM Aceh (3) RTRWA (2) ruang kelas (1) rujak u grouh apaloet (1) rumbia aceh (1) sains (1) Samalanga (1) sampah (1) satria mahardika (1) satu guru satu buku (1) satwa liar (1) secangkir kopi (1) sejarah (9) sejarah Aceh (28) sejarah Aceh. (3) sejarah dunia (1) sejarah-bahasa (5) sekda (1) sekolah (1) sekolah terpencil (1) selfie politik (1) Servant Leadership (1) setahun polri presisi (1) setapak perubahan (1) sigit listyo (1) sikoat (1) Sineas Aceh (2) Sinema Aceh (2) sinovac (1) situs (1) snapshot (1) sosial (14) sosiologi (1) sosiopat (1) SOSOK.TOKOH ACEH (3) spesies (1) statistik (1) Stigma (1) Stop Bajak Karya Online (1) sultan iskandar muda (1) sumatera barat (1) sustainable laundry (1) syariat islam (7) TA sakti (1) tahun baru (2) tambang aceh (1) tambang ilegal (1) tanah rencong (1) tantang IB (1) Tata Kelola pemerintahan (4) tata kota (2) TDMRC (1) Tehani Wessely (1) tehnologi (5) televisi (1) Tenaga kerja (2) terbit buku (1) the cucko'scalling (1) Thriller (1) timor leste (1) tips (3) tokoh dunia (1) tokoh kartun serambi (2) tradisi (2) tradisi aceh (2) tradisional (1) transparansi (1) tsunami (9) Tsunami Aceh (9) Tsunami story Teller (2) tuan hide (1) tukang obat (1) tulisan ringan (1) TUmbuh seimbang berkelanjutan bersama BSI (1) TV Aceh (1) tv dan anak-anak (3) uang haram (1) ujaran kebencian (1) ulama aceh (7) UMKM (1) Unsyiah (2) Unsyiah Library (3) Unsyiah Library Fiesta 2017 (3) upeti (1) upeti jin (1) ureung aceh (1) vaksin (2) viral (1) visi (1) Visit Aceh (2) Visit Banda Aceh (7) Visit Banda Aceh 2011 (4) walhi goes to school (1) wali nanggroe (3) walikota 2014 (1) wanita Iran (1) warung kupi (2) wirausaha aceh (1) Wisata Aceh (5) wisata spiritual (2) wisata tematik jalur rempah (1) Yayat Supriyatna (1) youtube (2) YouTube YoYo English Channel (1) YPBB (1) zero waste (2) Zhuang Xiao Man (1)

Sabtu, 02 Oktober 2021

Penyakit Aceh: Imbuhan “Ter” yang Permanen

Ahmad Humam Hamid, Sosilog Aceh. 

https://aceh.tribunnews.com/2021/08/09/penyakit-aceh-imbuhan-ter-yang-permanen?page=all

HAZANAH ilmu-ilmu sosial, termasuk ilmu ekonomi seringkali mampu mengambarkan kerumitan berbagai realitas, dalam konstruksi yang seringkali dapat dipahami oleh mereka yang mau belajar.

Banyak para pemikir besar seperti Adam Smith, John Maynard Keynes, Max Weber, dan Sigmund Freud, mampu menulis teori dengan berbagai abstraksi dari berbagai fenomena makro dan mikro.

Tak heran, hampir tidak ada bidang kehidupan manusia modern pada hari ini yang tidak dapat diterangkan dengan berbagai teori.

Setidaknya teori yang digunakan mampu memberi jalan untuk melihat keadaan yang sebenarnya, baik yang telah, sedang, maupun yang akan terjadi.

Teori yang mereka tulis dalam banyak hal mampu memberi jalan kepada pencari ilmu pengetahuan, konsep, dan wawasan untuk dapat membuka dan menerangkan berbagai tabir dan teka teki ekonomi, sosial, perilaku, politik, dan lain-lain.

Tidak jarang pula, berbagai kejadian fenomenal yang dapat memberikan penjelasan terhadap hal yang serupa yang lebih universal dapat dijadikan teori, atau sekadar alat untuk menerangkan realitas.

Young Turk dan Negara Turki Moderen

Dalam kajian politik dan kekuasan domestik, dikenal istilah “Young Turk” yakni sebuah ungkapan tentang seorang atau sekelompok orang, biasanya anak muda, yang tidak setuju dengan sebuah keadaan yang sedang terjadi dan berjalan.

Sering berasosiasi dengan gerakan mengambil alih, menggulingkan, atau mengganti situasi itu dengan berbagai cara.

Istilah “Young Turk” sangat terkait dengan sekelompok mahasiswa dan para kadet tentara Turki Usmaniah, pascakekalahan imperium Ottoman sebelum Perang Dunia I.

Mereka  digelar dengan Turki Muda, yang pada tahun 1908 melawan Sultan Hamid, dan baru mampu membangun negara Turki baru yang berbentuk republik.

Ada serangkaian kejadian yang dijalani oleh gerakan Turki Muda itu yang oleh pemerhati dijuluki dengan fenomena “Young Turk”.

Semenjak itu dimanapun di dunia, setiap terjadi pergolakan internal, terutama dalam sebuah partai, golongan, atau negara antara kelompok muda dengan kelompok tua seringkali penjelasannya ditarik ke dalam kerangka analisa Turki Muda itu.

Itu yang terjadi ketika Muammar Khadafy mengkudeta raja Idris, di Libya, Kolonel Grigorio, Gringgo, Honasan dkk mengkudeta Marcos Filipina, dan kejadian serupa berbagai tempat lainnya di dunia.

Akhir-akhir ini tak jarang perselisihan antara kelompok pembaharu dan kelompok konservatif dalam berbagai organisasi dan perusahaan juga sering dijelaskan dengan kerangka “Young Turk” itu.

Pada tahun 1977, majalah the Economist, memperkenalkan istilah “dutch desease”, penyakit Belanda, yang kemudian dikembangkan dengan lebih detail oleh Max Corden dan Peter Neary (Oomes,Kalcheva1982).

Yang dimaksud adalah kontradiksi antara melimpahnya sumber daya alam Belanda dengan kegagalan pembangunan.

Ceritanya sangat sederhana, temuan ladang gas alam di Belanda pada tahun 1959 yang seharusnya membuat negara itu sejahtera, tidak terwujud.

Yang terjadi justeru sebaliknya. Alih-alih negara itu berpegang pada prinsip keunggulan komparatif, yang terjadi justru mereka terfokus pada sektor ekstraktif migas semata.

Sebagai akibatnya, ekonomi Belanda anjlok, terjadi penurunan pembangunan dan pertumbuhan dalam sektor pertanian dan manufaktur, pengangguran meningkat, dan negara itu menjadi contoh besar dalam teori pembangunan “kutukan sumber daya”- resource curce.

Dalam perkembangannya, fenomena “dutch desease” juga dialami oleh negara penghasil dan kaya sumber daya alam di Asia, Afrika, dan Amerika Latin, namun juga gagal dalam pembangunan.

Kegagalan itu dalam kenyataannya lebih banyak berurusan dengan konflik dan instabilitas, korupsi, dan lemahnya kelembagaan.

Imbuhan “Ter” yang Permanen

Jika kasus penyakit Belanda menjadi fenomenal dan mendapat perhatian besar dalam diskursus ekonomi pembangunan, maka apa yang sedang terjadi di Aceh hari ini walaupun sama sekali tidak sama, namun adalah sesuatu yang juga tidak biasa.

Mulai dari era otonomi khusus semenjak 14 tahun yang lalu Aceh setidaknya telah menerima 88,4 triliun Rupiah, dan semenjak itu  apa yang semestinya di dapatkan oleh masyarakat Aceh sangat tidak setimpal dengan apa yang terjadi.

Seperti yang telah menjadi pengetahuan umum, rahmat yang telah dialirkan begitu banyak belum menjelma menjadi “nikmat” yang berarti untuk rakyat Aceh.

Anugerah keuangan dan kewenangan otonomi, berikut dengan perhatian besar dari masyarakat internasional pada lima tahun awal belum mampu membuat Aceh lebih sejahtera, apalagi berprestasi.

Setiap tahun ketika hitungan triwulan terjadi, persoalan perobahan status kemiskinan atau rendahnya pertumbuhan ekonomi sesungguhnya sama sekali tidak menjadi isu di Aceh.

Persoalan Aceh miskin atau Aceh rendah pertumbuhan ekonomi itu bukan masalah lagi, karena itu sudah menjadi sesuatu yang biasa saja.

Yang diharapkan oleh publik Aceh sebenarnya tidak terlalu banyak. 

Hanya satu ekspektasi publik yang sangat tinggi setiap tahun, yakni bukan terhapus atau hilangnya kemiskinan, melainkan berkurangnya kemiskinan.

Yang diimpikan paling kurang hilangnya imbuhan “ter” pada kata kemiskinan, dan juga hilangnya “ter” pada rangkaian kata, rendah pertumbuhan ekonomi saja.

Kehilangan imbuhan “ter” setelah berjalan beberapa tahun baru diharapkan untuk naik ke kelas yang lebih tinggi lagi.

Publik Aceh tidak berharap terlalu banyak. Ibarat istilah roda kehidupan yang berputar sekali ke atas sekali ke bawah, namun ketika kereta behenti hendaknya Aceh tidak berada pada bagian roda yang bertindihan langsung dengan tanah.

Kalaupun bertindihan dengan tanah, sebaiknya roda bergerak, walau sangat lambat, pokoknya bergerak. Maksudnya, bila indikatornya adalah kemiskinan, maka predikat yang ditunggu oleh publik, tidak banyak.

Kata termiskin diimpikan oleh publik berubah menjadi miskin saja, termasuk masih dalam kelompok provinsi miskin masih oke, tetapi tidak menjadi “pang ulee” alias tidak menjadi mbahnya kemiskinan regional secara berkelanjutan.

Selanjutnya ketika indikatornya adalah pertumbuhan ekonomi, maka publik juga mengharapkan jika Aceh masuk dalam kelompok provinsi yang rendah pertumbuhan ekonominya, maka Aceh, idealnya tidak menjadi juara, sehingga mendapat julukan terendah pertumbuhan ekonominya.

Pokoknya asa publik Aceh tetap saja ingin melihat perobahan, tak peduli sekecil apapun, yang penting bergerak, dan berobah.

Menjadi termiskin dan terendah pertumbuhan ekonominya yang terus menerus setiap tahun adalah sesuatu yang bukan hanya sangat serius, tetapi juga sebuah aib besar.

Tidak berlebihan cerita “kegagalan” pembangunan Aceh yang berlanjut akhirnya akan menjadikan Aceh sebagai sebuah contoh tentang kegagalan pembangunan sebuah kawasan pascakonflik dengan anggaran pembangunan yang melimpah.

Jika penyakit Belanda, “dutch desease” ditabalkan karena kegagalan Belanda memanfaatkan sumber daya gas alam pada akhir tahun limapuluhan untuk membangun ekonominya, mungkinkah kasus Aceh hari ini dapat dijadikan sebagai contoh fenomenal tentang kegagalan sebuah provinsi  otonomi khusus pascakonflik.

Mungkinkah fenomena keterpurukan Aceh yang terus berlanjut membuat Aceh berkualifikasi untuk mendapat gelar penyakit Aceh, “aceh disease”?

Diakui atau tidak, proses perdamaian Aceh telah menguras tidak hanya energi domestik Aceh dan nasional, akan tetapi juga telah melibatkan masyarakat internasional yang tidak biasa.

Paling kurang dua kekuatan besar dunia, AS dan Uni Eropa telah memberi perhatian khusus untuk Aceh, baik sumber daya material, diplomatik maupun profesional keilmuan.

Ada beberapa kawasan konflik lain di dunia paling tidak pernah menyebut ingin belajar sesuatu dari perdamaian Aceh, baik dari pemberontak, maupun dari pemerintah masing-masing.

Mindanao, Patani, dan kawasan pemberontakan Sahara di Maroko adalah kawasan yang disebut ingin menjadikan Aceh sebagai salah satu referensi mereka. Sayangnya, dalam zaman digital seperti hari ini, apapun yang terjadi di belahan bumi manapun, segera akan diketahui dimanapun juga.

Secara umum apa yang telah dialami oleh Aceh pascadamai, terekam dengan baik dan dapat diakses setiap saat oleh siapapun. Apapun itu, termasuk berbagai centang perenang pemerintahan, pembangunan, kemiskinan, kelemahan kelembagaan, bahkan korupsi sekalipun.

Jikapun mereka akan menjadikan Aceh sebagai kasus untuk belajar, akan ada alenia dan huruf tebal yang hati-hati setelah deskripsi era pascadamai dengan uang yang berlimpah dan kewenangan yang memadai.

Hanya ada lima kata dalam satu kalimat. Hati-hati dengan “aceh desease”.

*) PENULIS adalah Sosiolog, Guru Besar Universitas Syiah Kuala.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar