OLEH YUSMAL DIANSYAH, Direktur Kepatuhan Bank Aceh Syariah
https://aceh.tribunnews.com/2021/08/31/implementasi-syariah-islam-bidang-ekonomi-di-aceh?page=all
SEJARAH Aceh sangat bertalian erat dengan Syariah Islam. Menurut Hamka, Islam telah masuk di Aceh pada abad ke-7 dan ke-8 Masehi., yaitu sejak kedatangan para saudagar Islam dan muballigh dari Arab ke Aceh. Marco Polo, disadur oleh Teuku Ibrahim Alfian dalam bukunya berjudul Kronika Pasai (1973), singgah di Peurlak tahun 1292, dia menyatakan Aceh sudah menganut agama Islam.
Begitu pula saat penjelajah tersohor dari Maroko, Ibnu Battutah mengunjungi Samudera Pasai pada tahun 1345 M dan bertemu pemimpin Kesultanan Samudera Pasai (Raja Malik Al Zahir). Ibnu Battutah menyatakan Raja Malik beragama Islam dan bermazhab Syafi’i, taat ajaran Nabi Muhammad SAW serta dekat dengan ahli agama Islam (Uka Tjandrasasmita, 2016).
Penabalan Aceh sebagai pusat peradaban Islam pertama di Nusantara tak terbantahkan. Masa kejayaan Aceh dicapai pada era kesultanan Aceh yang dipimpin Sultan Iskandar Muda (tahun 1607 sampai 1636 M). Masa itu Aceh memiliki reputasi internasional, sebagai pusat perdagangan dan pembelajaran tentang Islam. Komoditi yang diperdagangkan meliputi beras, daging, ikan, buah-buahan, dan binatang ternak. Yang menarik perhatian para pedagang asing justru komoditi seperti lada, timah, emas, sutra, minyak, kapur barus, kemenyan, pinang, dan gajah.
Lada, misalnya, menjadi barang dagangan utama. Setiap tahun Kerajaan Aceh memanen lada mencapai 20 puluh kapal. Sejak abad ke-13, Kerajaan Aceh telah menggunakan Dirham (dalam bahasa Aceh, Deureuham) sebagai alat tukar yang sah untuk transaksi ekonomi baik domestik maupun internasional. Kesultanan Samudera Pasai menjadi aktor utama pengguna Dirham dalam aktivitas ekonomi.
Salman Alrosyid (2018) menyebut uang Dirham pertama kali dicetak pada tahun 1297, yakni masa pemerintahan Sultan Muhammad yang bergelar Malik At-Tahir (1297-1320). Dirham sengaja dibuat dengan mencontoh mata uang Timur Tengah sebagai alat tukar dan bertuliskan nama Sultan yang berkuasa. Kekuasaan Kerajaan Aceh pada masa kejayaannya mencakup Minangkabau dan Perak, Malaysia.
Masa Sultan Iskandar Muda pula dibentuk Peradilan Islam. Peradilan ini mengatur tatanan hukum yang diperani ulama dengan Qadhi Malikul Adil (Hakim Agung Kesultanan) di pusat Kerajaan Aceh. Kewenangannya persis Mahkamah Agung sekarang ini. Setiap kawasan ada Qadhi Ulee Balang yang memutuskan perkara di daerahnya. Jika ingin banding dapat diteruskan ke Qadhi Malikul Adil. Sultan Aceh menjadi pelindung ajaran Islam. Tidak heran kala itu banyak ulama yang datang ke Aceh.
Ulama-ulama terkemuka Aceh pada saat itu antara lain Hamzah Fansuri, Syamsuddin As Suumathrani, Syekh Ibrahim As Syamani, Nuruddin Ar Raniry, dan Bukhari Al Jauhari. Bukhari Al Jauhari sendiri adalah yang mengarang buku Tajussalatih (Mahkota Raja- Raja), membahas tentang tata negara yang berpedoman pada Syariat Islam (Zakaria Ahmad, 2009). Upaya menerapkan syariah Islam secara kelembagaan di Aceh terus berlanjut hingga zaman kemerdekaan.
Ditilik dari sejarah, keinginan menerapkan syariah Islam di Aceh juga salah satu permintaan Daud Beureueh (pemimpin Aceh saat itu) ke pada Soekarno yang datang ke Aceh untuk meminta bantuan guna melawan agresi Belanda tahun 1948.
Tahun 1999 Pemerintah Indonesia menerbitkan UU No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraaan Keistimewaan Propinsi Daerah istimewa Aceh, dimana di antaranya mengatur kehidupan beragama dalam bentuk pelaksanaan syariah Islam bagi pemeluknya. Selanjutnya, dalam UU No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam disebutkan, bahwa kewenangan Mahkamah Syar’iah didasarkan atas syariah Islam dalam sistem hukum nasional. Pokokpokok syariah Islam itu sendiri dituangkan dalam Qanun Provisi Aceh.
Jelaslah bahwa penerapan Syariah Islam di Aceh dalam kehidupan masyarakat telah dilakukan sejak dahulu. Bukan lagi pemikiran yang baru atau hasil keputusan para pejabat di masa modern ini. Pemberlakukan Qanun Nomor 11 Tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan Syariah (LKS) merupakan salah satu bentuk amalan syariah Islam di bidang ekonomi. Meskipun timbul pro dan kontra terhadap Qanun ini, namun proses konversi bank konvensional menjadi bank syari’ah berjalan dengan baik.
Peran Bank Aceh Syariah Selain sebagai lembaga intermediasi yang menerima dana tabungan masyarakat dan menyalurkannya dalam bentuk pembiayaan ke masyarakat, bank juga berperan mengelola uang yang beredar dalam masyarakat yang pada akhirnya ikut mendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Dalam konteks ini, peran Bank Syariah sangat besar. Selain sebagai lembaga bisnis juga berfungsi social keagamaan.
Bank Syari’ah dapat menerima dana zakat, infak, dan sedekah masyarakat, di samping juga berfungsi dakwah, melakukan sosialisasi edukasi tentang transaksi perbankan syari’ah kepada masyarakat. Bank Aceh Syariah (BAS) merupakan bank milik masyarakat Aceh yang sebagian sahamnya dimiliki Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/ Kota di Aceh. Didirikan sejak tahun 1958 dengan nama NV Bank Kesejahteraan Atjeh.
Kemudian, tahun 1973 diubah menjadi Bank Pembangunan Daerah Istimewa Aceh. Kontribusi BAS dalam penerimaan daerah sangat signifikan. Tahun buku 2020, misalnya, BAS menyetor deviden sebesar Rp 265 miliar kepada pihak pemegang saham. Tahun 2016 lalu BAS melakukan konversi menjadi bank Syariah. Konversi BAS merupakan yang pertama di Indonesia dan menjadi role model perbankan Syariah di Indonesia.
Kemudian dikuti oleh bank-bank daerah lainnya, seperti Bank NTB. Sebagai bank milik Pemerintah Aceh, BAS berperan strategis dalam mendukung program pembangunan pemerintah dibidang ekonomi. Aset BAS pada Desember 2020 mencapai sebanyak Rp 25,4 triliun atau 43,83% dari total asset perbankan yang ada di Aceh. Memiliki 167 jaringan kantor dan 2.030 orang karyawan yang tersebar di seluruh Aceh, termasuk di Medan, BAS berperan strategis dalam melakukan edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat.
BAS juga berupaya berkontribusi mengatasi persoalan kemiskinan. Upaya ini dilakukan dalam bentuk program pemberdayaan dan pembinaan pengusaha produsen, pembinaan pedagang perantara, pembinaan konsumen, pengembangan modal kerja, dan pengembangan usaha bersama. Syari’ah Islam memerintahkan umatnya untuk saling tolong-menolong dalam segala hal kebaikan. Gadai-menggadai, umpamanya, sudah merupakan kebiasaan sejak zaman dahulu kala dan sudah dikenal dalam adat kebiasaan masyarakat kita. BAS memiliki produk yang disebut dengan “Qardh Beragun Emas”.
Dengan produk ini diharapkan mampu mencegah praktik pegadaian gelap dan pinjaman tidak wajar lainnya, khususnya di Aceh. Penerapan syariah Islam di bidang ekonomi, khususnya Lembaga Keuangan Syariah melalui Qanun No 11 Tahun 2018 merupakan ikhtiar untuk menerapkan Syari’ah Islam secara kaffah. Sudah sepatutnya semangat untuk menerapkan syariah Islam di bidang ekonomi di bumi Aceh ini tetap digelorakan melalui sosialisasi dan edukasi. Semoga kita tetap istiqamah dalam menegakkan Syariah Islam secara sempurna di Serambi Mekkah ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar