Aceh dalam Lensa Pilkada

Rabu, 18 Januari 2012 opini-serambi indonesia
Oleh Reza Vahlevi

MENJELANG akhir abad 19 dan pada awal abad 20, Belanda melaksanakan suatu tindakan kekerasan melalui sebuah pasukan elit yang mereka namakan Het Korps Marechaussee (Pasukan Marsose). Namun perlawanan yang ditunjukkan rakyat Aceh, tak pernah berhenti dituai Belanda, yakni perang selama puluhan tahun (1873-1942).

Bagaimana gigihnya perlawanan rakyat Aceh selama puluhan tahun secara menerus itu, membuat Belanda tercengang. Mereka tidak habis pikir, bagaimana hanya dengan seorang saja dan bersenjata rencong yang diselipkan dalam selimut atau bajunya para pejuang Aceh berani melakukan penyerangan terhadap orang-orang Belanda, bahkan pada tangsi-tangsi Belanda sekalipun.

Oleh karena itu, ada di antara orang Belanda yang menyatakan perbuatan itu “gila” yang tidak mungkin dilakukan oleh seorang yang waras, maka timbullah istilah di kalangan orang Belanda yang menyebutnya Gekke Atjehsche (orang Aceh gila), yang kemudian populer dengan sebutan Aceh pungo (Aceh gila).
Untuk mengkajinya pihak Belanda mengadakan suatu penelitian psikologis terhadap orang-orang Aceh. Dalam penelitian itu terlibat Dr RH Kern, penasihat pemerintah untuk urusan kebumiputeraan dan Arab. Hasil penelitian ini menyebutkan bahwa perbuatan tersebut (Atjeh Moorden) termasuk salah satu gejala kejiwaan, di mana apa yang dilakukan rakyat Aceh itu adalah perasaan tidak puas akibat ditindas oleh Belanda.

Selanjutnya, pemerintah Hindia Belanda melaksanakan kebijakan baru yang dikenal dengan politik pasifikasi lanjutan gagasan yang dicetuskan oleh C Snouck Hurgronje. Sesuatu politik yang menunjukkan sifat damai di mana Belanda memperlihatkan sikap lunak kepada rakyat Aceh.

Mereka tidak lagi bertindak hanya dengan mengandalkan kekerasan, tetapi dengan usaha-usaha lain yang dapat menimbulkan simpati rakyat. Sikap lunak ini ternyata telah menyebabkan perang saudara di Aceh yang dikenal dengan Perang Cumbok, dan terus konflik selanjutnya yang berakhir pada perjanjian Lamteh (1957).

Perspektif politik
Hasil kompromi politik Aceh-Jakarta melahirkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA), yang menjadi harapan baru bagi Aceh. Aturan yuridis normatif ini menjadi kitab politik komtemporer rakyat Aceh. Walaupun 16 pasal dalam UU ini dipandang kontraproduktif dengan klausul MoU Helsinki, namun belakangan tetap menjadi kitab sakti untuk merawat perdamaian.

Ada sejumlah kekurangan dalam UUPA, di antaranya calon independen yang menjadi model baru dalam sejarah politik Indonesia yang menganut sistem partai, tidak diakomodir oleh UU ini. Guna menghilangkan image Aceh bukan sebagai kelinci percobaan dalam frame laboratorium politik Indonesia, akhirnya Pasal 256 UUPA digugat untuk yudicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK).

MK menilai, ini pembungkaman terhadap demokrasi, di mana Indonesia menganut demokrasi bukan otokrasi atau oligarki sehingga pasal ini dianulir, yang implikasi politik adanya tiket politik gratis tanpa lobi dan perjuangan bagi seratusan calon independen yang sekarang menggunakan jalur ini.

Orang Aceh belajar hukum tak sampai di sini, pada 17 Oktober 2011, Surat Keputusan (SK) KIP tentang tahapan dan Pilkada Aceh digugat pula ke MK. Pada 2 Nopember 2011 MK mengeluarkan Putusan Sela yang memerintahkan KIP untuk membuka pendaftaran selama 7 (tujuh) hari. Pada saat yang hampir bersamaan DPRA juga menggugat KIP ke MK, namun akhirnya DPRA mencabut kembali gugatannya.

Aksi teror
Belakangan, terjadi serangkaian aksi teror dengan penembakan yang menewaskan sejumlah pekerja di Aceh. Aksi ini direspons Jakarta bermacam ragam, puluhan statement elit, terdeskriptif dari politik kepastian hukum (gugat menggugat), politik kekerasan (penembakan dan teror) ke politik statement elit (perang urat saraf), yang kemudian mendorong Mendagri, pada 12 Januari 2012 lalu, juga menggugat Komisi Pemilihan Umum (KPU) khususnya SK KIP Nomor 26 Tahun 2011 ke MK.

Keesokan harinya, tepatnya pada 13 Januari 2012 Cagub Partai Aceh juga ikut menggugat KIP ke MK. Pada 17 Januari 2012, MK kembali merespons gugatan Kemendagri dengan mengeluarkan putusan sela. MK memerintahkan KIP untuk membuka pendataran bakal calon kepala daerah baru di tingkat provinsi dan kabupaten/kota di Aceh selama 7 (tujuh) hari sejak putusan sela dikeluarkan.

Dalam literatur hukum dikenal dengan putusan sementara (temporary award, interim award) dan ada juga yang menyebut dengan tussen vonis atau putusan antara (vide pasal 185 ayat (1) HIR, atau Pasal 48 Rv), putusan sela dikenal dua bentuk putusan prepatoir (persiapan jalannya pemeriksaan perkara) dan putusan interlutoir (een interlucotoir vonnis is een special sort tussen vonnis) yang berisi macam putusan yang ingin dicapai hakim, berupa pemeriksaan saksi ahli, pemerikasaan saksi, putusan insidentil (untuk penyitaan), putusan provisi (putusan sementara) provesionele beschiking (vide 180 HIR, 191 Rbg).

Pembelajaran hukum
Apa pun efek dari semua ini, yang pasti telah berhikmah pada pembelajaran hukum bagi rakyat Aceh khususnya dan bagi bangsa Indonesia umumnya, dari kombinasi the living of law (hukum yang hidup) gugat menggugat, ke kombinasi politik hukum, dan yang kita harapkan walaupun tahapan pilkada ini penuh dengan berbagai konspirasi politik, upaya politik, intrik politik, fitnah politik, korban politik, dan manipulatif politik.

Semua itu hanya proses dan proses, media pembelajaran kedewasaan dan kematangan dalam politik, sehingga menghasilkan demokrasi pencerdasan, dan pemilu yang berkualitas dengan tingkat partisipasi politik rakyat yang tinggi. Dengan demikian diharapakan, tidak ada lagi gugat menggugat hasil pilkada nanti. Kita tidak ingin lagi Meneer Belanda menertawakan kita sambil menyebut Atjeh Moorden.

* Penulis adalah Dosen Luar Biasa pada Fakultas Syariah IAIN Ar-Raniry Banda Aceh.