Sabtu, 14 Januari 2012
DPRA menilai angka kemiskinan di Aceh masih tinggi. Dari 26,66 persen sebelumnya, pemerintah hanya mampu menekan 7,09 persen. Dengan demikian saat ini angka kemiskinan di Aceh masih bertahan pada posisi 19,57 persen. Hal yang sama juga terjadi pada tingkat pengangguran dari 9,84 persen menjadi 8,27 persen, atau turun 1,5-2 persen.
Angka kemiskinan dan pengangguran yang termuat dalam Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) lima tahun (2007-2012) Pemerintahan Irwandi Yusuf dan Muhammad Nazar ini indah dalam tampilan grafik, tapi belum sesuai realitas. “Ini perlu menjadi perhatian khusus pemimpin baru Aceh nantinya,” kata Ketua Komisi C DPRA, Sanusi.
Tapi, untuk bidang kesehatan, DPRA memberikan apresiasi cukup baik, karena dengan adanya program Jaminan Kesehatan Aceh (JKA) sangat membantu masyarakat miskin berobat gratis ke Puskesmas, RSUD kabupaten/kota maupun RSU Zainoel Abdidin Banda Aceh.
Ada dua hal yang biasanya menjadi kebanggan setiap pimpinan daerah. Pertama jika laju pertumbuhan ekonomi di daerahnya dinyatakan mengalami peningkatan cukup signifikan. Kebanggaan kedua, bila kemiskinan dan jumlah penganggur di daerahnya berkurang pula.
Namun, soal naik dan turunnya angka kemiskinan ini sering sekali menjadi debat. Terutama dikaitkan dengan tidak adanya korelasi penurunan angka kemiskinan dengan capaian angka pertumbuhan ekonomi.
Tapi, kita tak ingin ikut berdebat tentang angka kemiskinan di Aceh. Sebab, kemiskinan di sini adalah kemiskinan strutural yang menyebabkan masyarakat itu sulit terlepas dari jeratan kedhuafaannya. Meskipun mereka bekerja keras membanting tulang sepanjang hari, memeras keringat sepanjang hidup, karena struktur yang tidak adil, mereka tetap saja terkurung dalam kemiskinan. Bahkan, kemiskinan ini menurun kepada anak cucu mereka.
Pemerintah sebenarnya sadar dan mengerti. Untuk melepas belenggu kemiskinan, cara yang paling efektif adalah mengubah struktur eksploitatif secara mendasar. Namun, hal itu tak kunjung dilakukan dan pemerintah sepertinya membiarkan mereka dalam kemiskinan.
Di perkotaan, misalnya, upah buruh dibiarkan sangat rendah sehingga buruh tetap miskin dan tak berdaya. Menyadari kelompok miskin umumnya memiliki keterbatasan modal, kemampuan kewirausahaannya lemah, inferior dalam produk, dan posisi tawarnya rendah, dikembangkan model-model outsourcing hampir di semua bidang usaha, dan pemerintah tak berupaya serius mengatasi persoalan ini.
Di pedesaan lebih gawat lagi. Sumber kehidupan masyarakat dirampas untuk kepentingan pertambangan, perkebunan, transportasi, dan berbagai infrastruktur lainnya yang semuanya memihak pemodal kuat. Sulit mencari contoh, misalnya, kegiatan pertambangan yang menyejahterakan masyarakat sekitar. Tidak mudah pula menunjukkan contoh penebangan hutan yang setelah hutannya habis, kemudian masyarakat sekitar menjadi lebih sejahtera. Nah!?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar