Selasa, 17 Januari 2012 opini-serambi indonesia
Oleh Yusra Habib Abdul Gani
SUATU hal penting yang kerap luput dari perhatian dan kurang dipahami adalah konstruksi sosial-politik yang kita saksikan; bukan saja harus diterima sebagai suatu konsensus, tetapi juga menerima perbedaan-perbedaan, termasuk konflik sekalipun. Ini romantika dan dialektika sosial yang normal --bukan saja normal, mungkin juga baik atau terbaik dalam pandangan manusia--karena ‘ego jahat’ dan ‘ego baik’ dalam diri/jiwa manusia; yang secara simbolik disebut fujur dan taqwa (QS. 91 : 8), selamanya terjadi pertarungan untuk saling mempengaruhi dan mengalahkan.
Aksioma psikososial ini wujud dalam pelbagai bentuk benturan fisik, seperti perkelahian, demonstrasi, kerusuhan dan perang. Sementara benturan nonfisik, seperti perbedaan pendapat, ide, mazhab dan penafsiran. Jadi, “jangan berpikir bahwa kita secara mutlak bergantung kepada suatu dunia, karena kita sebetulnya perlu kedamaian dalam diri kita-sendiri dan dalam hubungan kita dengan yang lain” (Maclntyre, The Peaceable Kingdom. Brenda Almond, The Sources of Public Morality - on The Ethics and Religion Debate).
Dalam teori konflik, untuk mengubah dari kisruh kepada damai, memerlukan suatu proses dan melibatkan pelbagai disiplin ilmu pengetahuan, seperti psychology, sociology dan hukum yang mengedepankan pendekatan persuasif, toleran, kearifan yang diangkat dari agama dan budaya. Lebih dari itu, perlu ada figur yang punya konsep untuk menamatkan suatu konflik.
Dalam pandangan umum, konflik selalu dikaitkan dengan form budaya atau peradaban suatu masyarakat dan bangsa, yang boleh melahirkan tiga kemungkinan. Pertama, konflik boleh menyadarkan sesorang, segolongan masyarakat dan suatu bangsa dari pengalaman buruk yang pernah berlaku dan berhasrat untuk tidak mengulanginya. Ianya merupakan pelajaran berharga untuk membangun kembali semangat, kesadaran dan kepentingan nasional baru.
Kedua, konflik tetap diperlihara sebagai sentimen pribadi, clan, etnis suatu masyarakat dan negara untuk diwariskan. Di sini, luka lama (dendam) akan meledak seperti gunung berapi. Sentimen yang sudah berakar akan membiak dalam bentuk form konflik; sesuai dengan skenario. Inilah yang terjadi di Somalia, konflik yang tak berujung.
Ketiga, faktor-faktor penyebab konflik masa lalu disimpan sebagai bom waktu oleh pihak tertentu dan pada saat tepat, dihidupkan dan dipakai sebagai konspirasi untuk mengobok-obok antara sasama masyarakat atau faksi dengan cara mempertajam perbedaan keberagaman budaya, kepentingan, pandangan, sehingga koflik terus mengalir sepanjang jalan sejarah peradaban.
Kaya pengalaman
Indikasi tersebut nampaknya wujud di Aceh. Lihat saja, misalnya, setelah konflik antara Aceh-Belanda berlangsung selama 69 tahun (1873-1942), disambung lagi konflik Aceh-Jepang selama 3 tahun (1942-1945). Aceh yang kaya pengalaman, seharusnya mampu menyulam nilai-nilai peradabannya yang pernah gemilang.
Sayang, kedua peristiwa ini secara kejiwaan, ternyata berefek negatif, yakni orang Aceh tidak kehilangan percaya diri, merasa rendah diri dan merasa ketergantungan kepada penjajah. Kelainan jiwa ini dalam psikologi dinamakan inferiority-complex. Terbukti, ketika Jepang sudah takluk kepada sekutu; segelintir kaum Uleebalang berusaha supaya Belanda berkuasa kembali di Aceh; sementara PUSA ingin pemerintah RI berkuasa di Aceh.
Konflik antara Darul Islam (DI-Aceh) dan RI tahun 1953-1962, mula-mula disepakati MoU tentang penghentian permusuhan antara RI-DI-Aceh, 5 April 1957. Syamaun Gaharu (putra Aceh), penguasa perang saat itu berkata: “yang bertemu bukan aparat pemerintah dengan para pemberontak DI Aceh, tetapi putra Aceh dengan putra Aceh lainnya antara sesama orang Aceh, yang sedang membicarakan masalah Aceh. Hasil musyawarah inilah kemudian dinamai “Ikrar Lamteh”.
Menyusul kemudian konflik antara GAM-RI (1976-2005). GAM menuntut merdeka, sementara pemerintah RI menginginkan GAM menyerah tanpa syarat. Akhirnya dicapai kompromi, Aceh tetap dalam NKRI dengan Otonomi khusus di Helsinki, 15 Agustus 2005. (Hamid Awaludin, Damai Di Aceh, hlm. 36. Centre for Strategic and International Studies, 2008).
Putaran sejarah Aceh berulang ketika Gubernur Aceh sebagai simbol pemersatu dan DPRA + KIP + KPU simbol demokrasi tempat rakyat mengadu, terlibat konflik karena perbedaan pendapat soal calon independen dan tahapan pilkada. Masing-masing merujuk kepada pemerintah pusat, ketimbang bermusyawarah antarlembaga untuk diselesaikan di Aceh.
Nampaknya, mekanisme penyelesaian konflik antarlembaga belum ada rule of the game-nya di Aceh. Akhirnya dirujuk ke Mahkamah Koonstitusi (MK), Mendagri dan Presiden. Masalahnya; jika para elite politisi Aceh terlibat dalam konflik; lantas kemana rakyat mengadu dan siapa lagi orang Aceh yang arif?
Seharusnya, pengalaman masa lalu dapat memberi iktibar dan Aceh bangkit membangun masyarakat dan pemerintah yang bertamadun berteraskan nilai-nilai moral, seperti rasa malu, percaya diri, berilmu, rendah hati, toleransi dan menjaga marwah. Aceh akan hidup, jika tidak mengulangi kesalahan masa lalu dan sebaliknya akan mati, jika terus mengulangi kesalahan yang pernah dibuatnya.
Bagaimana menyulam kearifan?
Jawabannya tersimpan dalam peradaban Aceh masa lampau, yang kaya dengan keberagaman budaya dan ethnis, seperti etnis Aceh pesisir berbasis India, Tamil/Kling, Arab, Portugis, Gayo, Klut, Haloban, Aneuk Jamèë dan Melayu Temiang. Pemimpin (politisi) Aceh pada masa itu, nyatanya mampu menciptakan kehidupan masyarakat yang damai dan harmonis.
Didapati pula sebilangan kerajaan kecil, seperti kerajaan Seudu, Purwa Indra, Indra Puri, Indra Patra, Meureudu, Jeumpa, Peureulak, Linge dan Pasé, yang suatu ketika dahulu pernah terlibat dalam konflik. Ternyata, Syèh Abdullah Kan’an dan Meurah Johan berhasil menanamkan kesadaran bahwa kebersamaan hak, persatuan, toleransi, persaudaraan dan menghargai HAM, musyawarah merupakan prasyarat dalam suatu negara.
Ini sesuai dengan anjuran “menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal” (QS. 49:13) dan atas dasar kesadaran itu mereka sepakat menyatukan diri kedalam kesatuan negara Aceh Darussalam yang berdiri pada 1 Ramadhan 601 H. Selain itu, karena budaya Aceh sejati dengan nilai-nilai Islam, maka kembali semua kepada konsep “Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia” (QS. Fushilat 34).
Konflik politik yang kusut di Aceh, insya-Allah boleh diselesai oleh orang Aceh sendiri, tanpa harus melibatkan pihak luar, sekiranya sadar dan paham bahwa “... disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu...” (QS. Ali-Imran 159).
Ini paradigma penyelesaian konflik universal. Sayangnya, kemampuan menyatukan berbilang kaum, kerajaan-kerajaan kecil dan mengedepankan musyawarah-mufakat --deskrispi kearifan Aceh suatu masa dahulu-- sudah terkubur. Adakah figur politisi Aceh mampu menyulam kerarifan itu kembali? Wallahu’aklam bissawab!
* Penulis adalah Direktur Institute for Ethics Civilization Research, Denmark.
SUATU hal penting yang kerap luput dari perhatian dan kurang dipahami adalah konstruksi sosial-politik yang kita saksikan; bukan saja harus diterima sebagai suatu konsensus, tetapi juga menerima perbedaan-perbedaan, termasuk konflik sekalipun. Ini romantika dan dialektika sosial yang normal --bukan saja normal, mungkin juga baik atau terbaik dalam pandangan manusia--karena ‘ego jahat’ dan ‘ego baik’ dalam diri/jiwa manusia; yang secara simbolik disebut fujur dan taqwa (QS. 91 : 8), selamanya terjadi pertarungan untuk saling mempengaruhi dan mengalahkan.
Aksioma psikososial ini wujud dalam pelbagai bentuk benturan fisik, seperti perkelahian, demonstrasi, kerusuhan dan perang. Sementara benturan nonfisik, seperti perbedaan pendapat, ide, mazhab dan penafsiran. Jadi, “jangan berpikir bahwa kita secara mutlak bergantung kepada suatu dunia, karena kita sebetulnya perlu kedamaian dalam diri kita-sendiri dan dalam hubungan kita dengan yang lain” (Maclntyre, The Peaceable Kingdom. Brenda Almond, The Sources of Public Morality - on The Ethics and Religion Debate).
Dalam teori konflik, untuk mengubah dari kisruh kepada damai, memerlukan suatu proses dan melibatkan pelbagai disiplin ilmu pengetahuan, seperti psychology, sociology dan hukum yang mengedepankan pendekatan persuasif, toleran, kearifan yang diangkat dari agama dan budaya. Lebih dari itu, perlu ada figur yang punya konsep untuk menamatkan suatu konflik.
Dalam pandangan umum, konflik selalu dikaitkan dengan form budaya atau peradaban suatu masyarakat dan bangsa, yang boleh melahirkan tiga kemungkinan. Pertama, konflik boleh menyadarkan sesorang, segolongan masyarakat dan suatu bangsa dari pengalaman buruk yang pernah berlaku dan berhasrat untuk tidak mengulanginya. Ianya merupakan pelajaran berharga untuk membangun kembali semangat, kesadaran dan kepentingan nasional baru.
Kedua, konflik tetap diperlihara sebagai sentimen pribadi, clan, etnis suatu masyarakat dan negara untuk diwariskan. Di sini, luka lama (dendam) akan meledak seperti gunung berapi. Sentimen yang sudah berakar akan membiak dalam bentuk form konflik; sesuai dengan skenario. Inilah yang terjadi di Somalia, konflik yang tak berujung.
Ketiga, faktor-faktor penyebab konflik masa lalu disimpan sebagai bom waktu oleh pihak tertentu dan pada saat tepat, dihidupkan dan dipakai sebagai konspirasi untuk mengobok-obok antara sasama masyarakat atau faksi dengan cara mempertajam perbedaan keberagaman budaya, kepentingan, pandangan, sehingga koflik terus mengalir sepanjang jalan sejarah peradaban.
Kaya pengalaman
Indikasi tersebut nampaknya wujud di Aceh. Lihat saja, misalnya, setelah konflik antara Aceh-Belanda berlangsung selama 69 tahun (1873-1942), disambung lagi konflik Aceh-Jepang selama 3 tahun (1942-1945). Aceh yang kaya pengalaman, seharusnya mampu menyulam nilai-nilai peradabannya yang pernah gemilang.
Sayang, kedua peristiwa ini secara kejiwaan, ternyata berefek negatif, yakni orang Aceh tidak kehilangan percaya diri, merasa rendah diri dan merasa ketergantungan kepada penjajah. Kelainan jiwa ini dalam psikologi dinamakan inferiority-complex. Terbukti, ketika Jepang sudah takluk kepada sekutu; segelintir kaum Uleebalang berusaha supaya Belanda berkuasa kembali di Aceh; sementara PUSA ingin pemerintah RI berkuasa di Aceh.
Konflik antara Darul Islam (DI-Aceh) dan RI tahun 1953-1962, mula-mula disepakati MoU tentang penghentian permusuhan antara RI-DI-Aceh, 5 April 1957. Syamaun Gaharu (putra Aceh), penguasa perang saat itu berkata: “yang bertemu bukan aparat pemerintah dengan para pemberontak DI Aceh, tetapi putra Aceh dengan putra Aceh lainnya antara sesama orang Aceh, yang sedang membicarakan masalah Aceh. Hasil musyawarah inilah kemudian dinamai “Ikrar Lamteh”.
Menyusul kemudian konflik antara GAM-RI (1976-2005). GAM menuntut merdeka, sementara pemerintah RI menginginkan GAM menyerah tanpa syarat. Akhirnya dicapai kompromi, Aceh tetap dalam NKRI dengan Otonomi khusus di Helsinki, 15 Agustus 2005. (Hamid Awaludin, Damai Di Aceh, hlm. 36. Centre for Strategic and International Studies, 2008).
Putaran sejarah Aceh berulang ketika Gubernur Aceh sebagai simbol pemersatu dan DPRA + KIP + KPU simbol demokrasi tempat rakyat mengadu, terlibat konflik karena perbedaan pendapat soal calon independen dan tahapan pilkada. Masing-masing merujuk kepada pemerintah pusat, ketimbang bermusyawarah antarlembaga untuk diselesaikan di Aceh.
Nampaknya, mekanisme penyelesaian konflik antarlembaga belum ada rule of the game-nya di Aceh. Akhirnya dirujuk ke Mahkamah Koonstitusi (MK), Mendagri dan Presiden. Masalahnya; jika para elite politisi Aceh terlibat dalam konflik; lantas kemana rakyat mengadu dan siapa lagi orang Aceh yang arif?
Seharusnya, pengalaman masa lalu dapat memberi iktibar dan Aceh bangkit membangun masyarakat dan pemerintah yang bertamadun berteraskan nilai-nilai moral, seperti rasa malu, percaya diri, berilmu, rendah hati, toleransi dan menjaga marwah. Aceh akan hidup, jika tidak mengulangi kesalahan masa lalu dan sebaliknya akan mati, jika terus mengulangi kesalahan yang pernah dibuatnya.
Bagaimana menyulam kearifan?
Jawabannya tersimpan dalam peradaban Aceh masa lampau, yang kaya dengan keberagaman budaya dan ethnis, seperti etnis Aceh pesisir berbasis India, Tamil/Kling, Arab, Portugis, Gayo, Klut, Haloban, Aneuk Jamèë dan Melayu Temiang. Pemimpin (politisi) Aceh pada masa itu, nyatanya mampu menciptakan kehidupan masyarakat yang damai dan harmonis.
Didapati pula sebilangan kerajaan kecil, seperti kerajaan Seudu, Purwa Indra, Indra Puri, Indra Patra, Meureudu, Jeumpa, Peureulak, Linge dan Pasé, yang suatu ketika dahulu pernah terlibat dalam konflik. Ternyata, Syèh Abdullah Kan’an dan Meurah Johan berhasil menanamkan kesadaran bahwa kebersamaan hak, persatuan, toleransi, persaudaraan dan menghargai HAM, musyawarah merupakan prasyarat dalam suatu negara.
Ini sesuai dengan anjuran “menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal” (QS. 49:13) dan atas dasar kesadaran itu mereka sepakat menyatukan diri kedalam kesatuan negara Aceh Darussalam yang berdiri pada 1 Ramadhan 601 H. Selain itu, karena budaya Aceh sejati dengan nilai-nilai Islam, maka kembali semua kepada konsep “Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia” (QS. Fushilat 34).
Konflik politik yang kusut di Aceh, insya-Allah boleh diselesai oleh orang Aceh sendiri, tanpa harus melibatkan pihak luar, sekiranya sadar dan paham bahwa “... disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu...” (QS. Ali-Imran 159).
Ini paradigma penyelesaian konflik universal. Sayangnya, kemampuan menyatukan berbilang kaum, kerajaan-kerajaan kecil dan mengedepankan musyawarah-mufakat --deskrispi kearifan Aceh suatu masa dahulu-- sudah terkubur. Adakah figur politisi Aceh mampu menyulam kerarifan itu kembali? Wallahu’aklam bissawab!
* Penulis adalah Direktur Institute for Ethics Civilization Research, Denmark.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar