Sun, Dec 20th 2009, 09:09
M Adli Abdullah
Tabiat Burek Katek
//Jak kutimang prak/ boh ate nyak beurijang raya/ Bek tasurot meusitapak/ oh meurumpok ngon Beulanda/ Jak Ion timang preuen/ ureueng jameuen beuhe lagoina/ Bek hai aneuek tagidong reunyeuen/ bila jameuen tuntut le gâta//
Itu syair Cut Meutia ketika menidurkan anak semata wayangnya Teuku Raja Sabi di belantara Aceh Utara. Syair ini wasiat agar anaknya melanjutkan perjuangan sang ibu. Warisan bagi anak terhadap musuh dan sahabat orangtuanya sudah dibahas minggu lalu sebagai tugas Aneuk Agam untuk mengenali siapa musuh dan sahabat orangtua mereka baik dalam bidang ekonomi maupun ideologi.
Permusuhan dalam budaya Aceh sangat mudah dikenali. Sebab biasanya musuh itu bisa muncul di mana dan kapan saja. Tetapi etikanya adalah jika musuh tersebut sudah meninggal, maka dia tidak boleh dimusuhi lagi. Karena dia sama posisinya sebagai bani Adam
Ada kisah pada tahun 1978, ketika Gubernur Aceh Muzakkir Walad mengunjungi Kedutaan Besar Belanda di Jakarta dan melihat tulang belulang, abu dan nisan Mayor Jenderal Kohler yang disimpan di kedutaan Belanda menunggu pemakaman. Saat itu tanpa diduga Muzakir Walad menawarkan kepada Duta Besar Belanda agar abu dan tulang belulang Kohler dimakamkan di kuburan Kerkhof Banda Aceh yang sekitar 700 meter dari tempat jenderal itu meregang nyawa pada 14 April 1873.
Duta besar sempat kaget mendengar permintaan Muzakkir Walad. Sebab dalam pikirannya musuh bagi masyarakat Aceh dibawa sampai mati. Akhirnya Jenderal Kohler dimakamkan kembali di Kerkhoff Banda Aceh pada 19 Mai 1978. 105 tahun dari waktu kematiannya
Dalam catatan sejarah, Kohler adalah panglima perang Belanda pertama yang memproklamasikan Perang Aceh dimulai pada 26 Maret 1873. Tapi tiba-tiba dia rubuh bemandikan darah. Dadanya bolong ditembus peluru sniper pejuang Aceh di halaman depan Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh. Sambil melepaskan tembakan balasan secara sembarangan, serdadu Belanda membawa kabur mayat panglimanya ke kapal perang yang berlabur di pelabuhan Ulee Lheue. Belanda pun angkat kaki dari agresi pertama pada 17 April 1873 dan kembali ke Jakarta dengan mengusung jenazah Kohler. Di Batavia, Kohler dimakamkan di Kebon Jahe, Tanah Abang, Jakarta Pusat. Namun kemudian kawasan itu digusur. Di ibukota negara Indonesia, pengusuran itu lazim terjadi. Dari warga yang masih hidup dan bisa melawan petugas penertiban hingga tulang belulang yang tak berdaya.
Aceh adalah daerah terakhir yang dianeksasi dalam pemerintahan Hindia Belanda. Juga yang pertama keluar dari pemerintahan Belanda pada tahun 1942 setelah Jepang masuk. Bahkan pada tahun 1945 Belanda tidak lagi menginjak kakinya di Aceh walaupun daerah lainnya di Indonesia telah berhasil didudukinya. Pertempuran Belanda di Aceh berlangsung selama 69 tahun yang menguras berjuta-juta golden Belanda. Hal ini berlanjut pada penerapan Darurat Militer di Aceh pada tahun 2003 yang menyedot bermiliar-miliar rupiah disalurkan untuk biaya perang di Tanoh Endatu.
Kedatangan Muzakkir Walad meminta jenazah Kohler ini sebagai salah satu bukti bagaimana musuh dalam konteks budaya Aceh. Orang Aceh sering menyimpan musuh di hati, walaupun terkadang tidak bisa menutupi kebencian pada musuhnya. Ada istilah “benci ruman”, yang cenderung pada kebencian sesuatu yang terkadang tidak rasional.; Namun karena kebencian sudah ada di dalam diri mereka, lalu terkadang, mereka menghindari bertemu atau betatap muka dengan musuh mereka.
Tabiat burek
Benci ruman, misal, jika ada anak gadis yang dinikahi oleh orang lain, tanpa restu orangtua. Atau karena perselisihan yang panjang puluhan tahun dan tidak pernah didamaikan, maka mareka akan dipeusijuek. Iini bagian dari peuleupi (mendinginkan) suasana yang kadang kala berujung pada kru seumangat.
Ada lagi istilah “burek” yang paling sering diungkapkan sebagai perilaku. Istilah ini mengacu pada permusuhan yang dibingkai dengan persahabatan. Istilah ‘orang lapangan’ penggalangan. Musuh dipelihara seakan dibina atau seolah-olah dilindungi. Sehingga muncul kesetiaan dan loyalitas yang amat tinggi. Burek sebagai prilaku seolah-olah saudara, namun pada ujungnya dimasukkan di dalam daftar yang harus dimusuhi. Ini sangat lazim berlaku di Aceh. Ini terjadi jika ada tiga pihak. Dua pihak pertama bersekutu untuk mempermainkan pihak ketiga. Dua pihak pertama seolah-olah akrab sekali dengan pihak ketiga, namun mereka mempermainkan atau mempergunjing di belakang.
Tabiat burek yang paling sederhana dapat dilihat di dalam kehidupan sehari-hari. Jika ada tiga orang Aceh yang duduk bersama di pinggir jalan, pasti salah satu dari mereka akan menjadi objek dari candaan (mayang-mayang) sehingga ada hadih maja “Asai kumeun ni bak kude, Asai pake nibak seunda.”
Burek katek, tabiat ini juga berlaku dalam kancah kekuasaan. Siapa pun yang dekat dengan kekuasaan cenderung memiliki sifat burek. Sehingga musuh di sini bisa berarti teman, atau teman dipersepsikan musuh, jika sudah pada tahap pergunjingan atau mayang-mayang. Secara nasional tabiat burek ini dikenal dengan istilah “pembisik”. Falsafahnya, jika ada manfaat tetap ‘dipelihara’ dan ‘dibina.’
Agaknya itulah dulu para orangtua sangat mengingatkan anak-anaknya. Orang Aceh juga sangat sulit mempercayai orang yang dicap sebagai musuh. Ini diungkap dalam hadih maja
//Bak mie tadjok tikoh/ Bak musoh tatroh rahasia/ Atau. hadih maja lain/ Bak musoh bek talakee bantu/ Bak madu bek talakee ubat//
Jadi, secara tersirat menunjukkan musuh dalam budaya Aceh tidak akan pernah hilang sebelum mereka diantar ke alam kubur alias meninggalkan dunia. Jika sudah meninggal maka perilaku seperti Muzakir Walad akan muncul. Orang bijak bertitah, jangan mempergunjing orang lain di depan atau belakang, sejauh masih ada kebaikan pada orang itu.
Itulah falsafah orang Aceh yang tidak ingin mencari dan mewarisi musuh kepada anak cucu mereka. Maka orang orangtua dulu mengingatkan, “ Tameuduk njang saban paham, tameurakan beujeut keu syédara” Dan sejatinya, setiap etnik memiliki tabiat baik dan jelek. Semua kebiasaan buruk bisa diminimalkan melalui pendidikan, agama, teman bergaul. Sebaliknya tradisi-tradisi yang menunjang produktivitas dan ketajaman emosional spiritual layak dikembangkan dan dipublikasi sebagai bagian dari khazanah dan budaya Aceh
Itu syair Cut Meutia ketika menidurkan anak semata wayangnya Teuku Raja Sabi di belantara Aceh Utara. Syair ini wasiat agar anaknya melanjutkan perjuangan sang ibu. Warisan bagi anak terhadap musuh dan sahabat orangtuanya sudah dibahas minggu lalu sebagai tugas Aneuk Agam untuk mengenali siapa musuh dan sahabat orangtua mereka baik dalam bidang ekonomi maupun ideologi.
Permusuhan dalam budaya Aceh sangat mudah dikenali. Sebab biasanya musuh itu bisa muncul di mana dan kapan saja. Tetapi etikanya adalah jika musuh tersebut sudah meninggal, maka dia tidak boleh dimusuhi lagi. Karena dia sama posisinya sebagai bani Adam
Ada kisah pada tahun 1978, ketika Gubernur Aceh Muzakkir Walad mengunjungi Kedutaan Besar Belanda di Jakarta dan melihat tulang belulang, abu dan nisan Mayor Jenderal Kohler yang disimpan di kedutaan Belanda menunggu pemakaman. Saat itu tanpa diduga Muzakir Walad menawarkan kepada Duta Besar Belanda agar abu dan tulang belulang Kohler dimakamkan di kuburan Kerkhof Banda Aceh yang sekitar 700 meter dari tempat jenderal itu meregang nyawa pada 14 April 1873.
Duta besar sempat kaget mendengar permintaan Muzakkir Walad. Sebab dalam pikirannya musuh bagi masyarakat Aceh dibawa sampai mati. Akhirnya Jenderal Kohler dimakamkan kembali di Kerkhoff Banda Aceh pada 19 Mai 1978. 105 tahun dari waktu kematiannya
Dalam catatan sejarah, Kohler adalah panglima perang Belanda pertama yang memproklamasikan Perang Aceh dimulai pada 26 Maret 1873. Tapi tiba-tiba dia rubuh bemandikan darah. Dadanya bolong ditembus peluru sniper pejuang Aceh di halaman depan Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh. Sambil melepaskan tembakan balasan secara sembarangan, serdadu Belanda membawa kabur mayat panglimanya ke kapal perang yang berlabur di pelabuhan Ulee Lheue. Belanda pun angkat kaki dari agresi pertama pada 17 April 1873 dan kembali ke Jakarta dengan mengusung jenazah Kohler. Di Batavia, Kohler dimakamkan di Kebon Jahe, Tanah Abang, Jakarta Pusat. Namun kemudian kawasan itu digusur. Di ibukota negara Indonesia, pengusuran itu lazim terjadi. Dari warga yang masih hidup dan bisa melawan petugas penertiban hingga tulang belulang yang tak berdaya.
Aceh adalah daerah terakhir yang dianeksasi dalam pemerintahan Hindia Belanda. Juga yang pertama keluar dari pemerintahan Belanda pada tahun 1942 setelah Jepang masuk. Bahkan pada tahun 1945 Belanda tidak lagi menginjak kakinya di Aceh walaupun daerah lainnya di Indonesia telah berhasil didudukinya. Pertempuran Belanda di Aceh berlangsung selama 69 tahun yang menguras berjuta-juta golden Belanda. Hal ini berlanjut pada penerapan Darurat Militer di Aceh pada tahun 2003 yang menyedot bermiliar-miliar rupiah disalurkan untuk biaya perang di Tanoh Endatu.
Kedatangan Muzakkir Walad meminta jenazah Kohler ini sebagai salah satu bukti bagaimana musuh dalam konteks budaya Aceh. Orang Aceh sering menyimpan musuh di hati, walaupun terkadang tidak bisa menutupi kebencian pada musuhnya. Ada istilah “benci ruman”, yang cenderung pada kebencian sesuatu yang terkadang tidak rasional.; Namun karena kebencian sudah ada di dalam diri mereka, lalu terkadang, mereka menghindari bertemu atau betatap muka dengan musuh mereka.
Tabiat burek
Benci ruman, misal, jika ada anak gadis yang dinikahi oleh orang lain, tanpa restu orangtua. Atau karena perselisihan yang panjang puluhan tahun dan tidak pernah didamaikan, maka mareka akan dipeusijuek. Iini bagian dari peuleupi (mendinginkan) suasana yang kadang kala berujung pada kru seumangat.
Ada lagi istilah “burek” yang paling sering diungkapkan sebagai perilaku. Istilah ini mengacu pada permusuhan yang dibingkai dengan persahabatan. Istilah ‘orang lapangan’ penggalangan. Musuh dipelihara seakan dibina atau seolah-olah dilindungi. Sehingga muncul kesetiaan dan loyalitas yang amat tinggi. Burek sebagai prilaku seolah-olah saudara, namun pada ujungnya dimasukkan di dalam daftar yang harus dimusuhi. Ini sangat lazim berlaku di Aceh. Ini terjadi jika ada tiga pihak. Dua pihak pertama bersekutu untuk mempermainkan pihak ketiga. Dua pihak pertama seolah-olah akrab sekali dengan pihak ketiga, namun mereka mempermainkan atau mempergunjing di belakang.
Tabiat burek yang paling sederhana dapat dilihat di dalam kehidupan sehari-hari. Jika ada tiga orang Aceh yang duduk bersama di pinggir jalan, pasti salah satu dari mereka akan menjadi objek dari candaan (mayang-mayang) sehingga ada hadih maja “Asai kumeun ni bak kude, Asai pake nibak seunda.”
Burek katek, tabiat ini juga berlaku dalam kancah kekuasaan. Siapa pun yang dekat dengan kekuasaan cenderung memiliki sifat burek. Sehingga musuh di sini bisa berarti teman, atau teman dipersepsikan musuh, jika sudah pada tahap pergunjingan atau mayang-mayang. Secara nasional tabiat burek ini dikenal dengan istilah “pembisik”. Falsafahnya, jika ada manfaat tetap ‘dipelihara’ dan ‘dibina.’
Agaknya itulah dulu para orangtua sangat mengingatkan anak-anaknya. Orang Aceh juga sangat sulit mempercayai orang yang dicap sebagai musuh. Ini diungkap dalam hadih maja
//Bak mie tadjok tikoh/ Bak musoh tatroh rahasia/ Atau. hadih maja lain/ Bak musoh bek talakee bantu/ Bak madu bek talakee ubat//
Jadi, secara tersirat menunjukkan musuh dalam budaya Aceh tidak akan pernah hilang sebelum mereka diantar ke alam kubur alias meninggalkan dunia. Jika sudah meninggal maka perilaku seperti Muzakir Walad akan muncul. Orang bijak bertitah, jangan mempergunjing orang lain di depan atau belakang, sejauh masih ada kebaikan pada orang itu.
Itulah falsafah orang Aceh yang tidak ingin mencari dan mewarisi musuh kepada anak cucu mereka. Maka orang orangtua dulu mengingatkan, “ Tameuduk njang saban paham, tameurakan beujeut keu syédara” Dan sejatinya, setiap etnik memiliki tabiat baik dan jelek. Semua kebiasaan buruk bisa diminimalkan melalui pendidikan, agama, teman bergaul. Sebaliknya tradisi-tradisi yang menunjang produktivitas dan ketajaman emosional spiritual layak dikembangkan dan dipublikasi sebagai bagian dari khazanah dan budaya Aceh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar