Sun, Dec 13th 2009, 08:41
Aneuk Agam
Catatan M Adli Abdullah
KUPASAN ini tak ada hubungannya dengan Angkatan Gerakan Aceh Merdeka (AGAM) yang populer pada era komplik di Aceh. Namun posisi aneuk agam dalam kehidupan satu keluarga Aceh mirip dengan posisi aneuk agam dalam suku-suku bangsa di Arab. Di Aceh, jika tidak ada aneuk agam, dianggap keluarga itu belum sempurna keturunan. Bahkan dalam kehidupan sehari hari sering seseorang bangga mengaku dirinya aneuk agam, apalagi kalau ada isterinya member keturunan.
Dalam mitos peperangan Aceh kontemporer, ada gelar tengku agam, nyak gam, dan waki gam. Majalah yang diterbitkan oleh Gerakan Acheh Merdeka (GAM) pun pada era 1980-an bernama AGAM, mungkin juga untuk menunjuk kejantanan.m Seorang penulis Aceh, Ramli Dali, menuturkan kepada saya fungsi aneuk agam dalam budaya Aceh. Menurut penulis buku Phoh Kaphe (2002) ini, fungsi aneuk agam dalam budaya Acehmencakup empat hal. Pertama, aneuk agam mewarisi utang keluarga. Jadi, di Aceh kalau orang tua berhutang maka tugas aneuk agam yang membayanya dengan pihak ketiga. Sebagai buktinya dalam pelaksanaan shalÃt janazah jika si ayah meninggal, aneuk agam tertua berdiri di depan khalayak sebelum dikuburkan sambil mengatakan jika orangtuanya berutang maka dia yang menyelesaikannya. Tujuannya adalah agar orang tua tersebut tenang menghadap sang Khalik.
Kedua, aneuk agam bertugas menjaga harta. Ia berkewajiban menjaga dan membagikan harta kepada keluarganya bila orangtuanya meninggal. Seperti diungkap dalam hadih maja, ôHabeh nyawong Tuhan Tueng, habeuh hareuta hukom padjohö. Jika aneuk agam tidak bertanggungjawab, maka dianggap Ie lam gutji pasoe lam geupet, peue meusaket meung atra kana. Ketiga, aneuk agam sebagai shahabat. Ia wajib melanjutkan persahabatan dan memelihara hubungan-hubungan orangtuanya dalam masyarakat. Keempat, aneuk agam mewariskan musuh orangtuanya. Artinya, musuh orangtua, juga musuh aneuk agam tersebut.
Dua fungsi pertama aneuk agam berhubungan dengan persoalan ekonomi. Sedangkan dua fungsi terakhir terkait dengan persoalan ideologi. Karena itu, aneuk agam sejak masa kecil sudah ditetapkan sebagai kelompok yang bergerilya baik di siang hari dan di malam hari. Pagi aneuk agam ke sekolah dan sore hari membantu sang Ayah di sawah atau mencari ikan di sungai atau di laut. Kemudian pada malam hari hingga subuh, aneuk agam menuntut ilmu di meunasah atau di rumah teungku. Selama 24 jam, aneuk agam ditempa dan dididik sebagai kader keluarga penerus perjuangan sang ayah.
Sosok ayah dan ibu sangat memainkan peran penting. Namun sering komunikasi aneuk agam dengan ayah tidak lancar. Biasanya, aneuk agam kalau meminta sesuatu melalui ibu. Bahkan aneuk agam yang sudah bekeluarga sangat tabu duduk bercanda dengan ayah dan ibu mertua. Sosok aneuk agam memang seperti berada di barak militer. Dia hanya bisa menjalin komunikasi dengan teman-temannya dan ibunya. Tetapi, sang ayah jika aneuk agamnya berhasil, akan memuji anaknya tersebut di depan orang lain, bukan di depan anaknya. Sehingga aneuk agam masih tetap hormat pada ayah dan ibunya, walaupun aneuk agam sudah sukses luar biasa.
Yang diajarkan oleh sang ayah kepada aneuk agam adalah filsafat kehidupan seperti berbicara dan bersopan santun. Maka dalam tradisi kebudayaan Aceh, aneuk agam selalu menjadi ajang ujung tombak. Sebagai taÆzim seorang aneuk agam, maka nama ayahnya selalu diletakkan pada simbol-simbol usaha, seperti jasa ayah atau nama-nama warung atau kedai yang memakai simbol keayahan. Jadi, sebelum sampai ke pelaminan, sang aneuk agam memang berada di dalam latihan kehidupan. Mereka miskin pujian di depan mata, tetapi kaya pelajaran kebijaksanaan.
Aneuk agam selalu dipanggil jika ada persoalan keluarga. Harta apa saja yang sudah dibeli dan siapa saja orang yang æbermasalahÆ dengan keluarga inti mereka. Di sini informasi dari ayah atau ibu ini, akan menjadi æperintahÆ di kemudian hari, khususnya ketika orang tua mereka meninggal. Jadi, di Aceh aneuk agam punya peran penting untuk menjaga marwah keluarga dan pelanjut perjuangan oran tua. Bila aneuk agam tidak bisa diurus dan nakal maka disebut dengan aneuk ateut-ateut, aneuk djeut teungoh sindja, dan ini sangat ditakutkan dalam keluarga di Aceh.
Adapun aneuk agam yang menjadi tulang punggung keluarga secara turun temurun. Jika ada aneuk agam yang pemalas dianggab aib bagi keluarga. Seperti hadih maja: Aneuk paleh bak djieh han djaga, aneuk meutuah han payah djikeumira. Atau hadih maja aneuk paleuh tabri rumoh djipeugot keu rangkang, Tabri lampoh djipeudjeut keu blang,
Tabri inong djipeudjeut keu djalang
Inilah sikap dan budaya ureung Aceh. Apakah aneuk agam ini sama tengku Agam, nyak agam, atau si Agam atau peu agam agam droe. Makna simbolik aneuk agam ini perlu dikaji secara detail. Hampir 30 tahun lebih sebutan ôagamö sangat bahaya kalau diucapkan. Tidak sedikit mereka yang celaka karena menyebutkan nama agam. Sehingga makna yang terkandung di dalamnya pun luntur sedikit demi sedikit.
Aneuk agam tidak lagi berfungsi seperti apa yang diinginkan. Dulu, aneuk agam diminta membayar hutang orangtua, justru sekarang tidak sedikit aneuk agam yang berhutang kemudian dibayar oleh orangtuanya. Jika aneuk agam disuruh menjaga dan membagikan harta warisan, malah mereka menjualnya untuk kepenting pribadi. Pergeseran peran aneuk agam ini bisa dilihat sebagai kemunduran peradaban Aceh. Sebab sekarang aneuk agam tidak lagi bergerilya di madrasah atau meunasah, tetapi bergerilya di ladang ganja atau bahkan menjadi penyakit masyarakat.
Dulu aneuk agam mengaji di meunasah, maka aneuk agam sekarang mengaji di kedai kopi, warung internet, dan play station. Jika dulu pulang sekolah membantu orang tua, sekarang malah sibuk dengan budaya jalanan dengan aneuk dara Artinya, jika peran aneuk agam masih berfungsi seperti yang diungkapkan di atas, maka Aceh bisa dikatakan masih berada pada khittahnya. Tetapi jika aneuk agam sudah mengkhianati keluarga mereka, maka boleh jadi mereka juga akan mengkhianati bangsa mereka sendiri. Jika aneuk agam atau peuagam-agam droe seperti yang terjadi saat ini, besar kemungkinan ôharta warisanö akan habis di tengah perjalanan sejarah Aceh.
* Penulis adalah pemerhati sejarah Aceh.
Dalam mitos peperangan Aceh kontemporer, ada gelar tengku agam, nyak gam, dan waki gam. Majalah yang diterbitkan oleh Gerakan Acheh Merdeka (GAM) pun pada era 1980-an bernama AGAM, mungkin juga untuk menunjuk kejantanan.m Seorang penulis Aceh, Ramli Dali, menuturkan kepada saya fungsi aneuk agam dalam budaya Aceh. Menurut penulis buku Phoh Kaphe (2002) ini, fungsi aneuk agam dalam budaya Acehmencakup empat hal. Pertama, aneuk agam mewarisi utang keluarga. Jadi, di Aceh kalau orang tua berhutang maka tugas aneuk agam yang membayanya dengan pihak ketiga. Sebagai buktinya dalam pelaksanaan shalÃt janazah jika si ayah meninggal, aneuk agam tertua berdiri di depan khalayak sebelum dikuburkan sambil mengatakan jika orangtuanya berutang maka dia yang menyelesaikannya. Tujuannya adalah agar orang tua tersebut tenang menghadap sang Khalik.
Kedua, aneuk agam bertugas menjaga harta. Ia berkewajiban menjaga dan membagikan harta kepada keluarganya bila orangtuanya meninggal. Seperti diungkap dalam hadih maja, ôHabeh nyawong Tuhan Tueng, habeuh hareuta hukom padjohö. Jika aneuk agam tidak bertanggungjawab, maka dianggap Ie lam gutji pasoe lam geupet, peue meusaket meung atra kana. Ketiga, aneuk agam sebagai shahabat. Ia wajib melanjutkan persahabatan dan memelihara hubungan-hubungan orangtuanya dalam masyarakat. Keempat, aneuk agam mewariskan musuh orangtuanya. Artinya, musuh orangtua, juga musuh aneuk agam tersebut.
Dua fungsi pertama aneuk agam berhubungan dengan persoalan ekonomi. Sedangkan dua fungsi terakhir terkait dengan persoalan ideologi. Karena itu, aneuk agam sejak masa kecil sudah ditetapkan sebagai kelompok yang bergerilya baik di siang hari dan di malam hari. Pagi aneuk agam ke sekolah dan sore hari membantu sang Ayah di sawah atau mencari ikan di sungai atau di laut. Kemudian pada malam hari hingga subuh, aneuk agam menuntut ilmu di meunasah atau di rumah teungku. Selama 24 jam, aneuk agam ditempa dan dididik sebagai kader keluarga penerus perjuangan sang ayah.
Sosok ayah dan ibu sangat memainkan peran penting. Namun sering komunikasi aneuk agam dengan ayah tidak lancar. Biasanya, aneuk agam kalau meminta sesuatu melalui ibu. Bahkan aneuk agam yang sudah bekeluarga sangat tabu duduk bercanda dengan ayah dan ibu mertua. Sosok aneuk agam memang seperti berada di barak militer. Dia hanya bisa menjalin komunikasi dengan teman-temannya dan ibunya. Tetapi, sang ayah jika aneuk agamnya berhasil, akan memuji anaknya tersebut di depan orang lain, bukan di depan anaknya. Sehingga aneuk agam masih tetap hormat pada ayah dan ibunya, walaupun aneuk agam sudah sukses luar biasa.
Yang diajarkan oleh sang ayah kepada aneuk agam adalah filsafat kehidupan seperti berbicara dan bersopan santun. Maka dalam tradisi kebudayaan Aceh, aneuk agam selalu menjadi ajang ujung tombak. Sebagai taÆzim seorang aneuk agam, maka nama ayahnya selalu diletakkan pada simbol-simbol usaha, seperti jasa ayah atau nama-nama warung atau kedai yang memakai simbol keayahan. Jadi, sebelum sampai ke pelaminan, sang aneuk agam memang berada di dalam latihan kehidupan. Mereka miskin pujian di depan mata, tetapi kaya pelajaran kebijaksanaan.
Aneuk agam selalu dipanggil jika ada persoalan keluarga. Harta apa saja yang sudah dibeli dan siapa saja orang yang æbermasalahÆ dengan keluarga inti mereka. Di sini informasi dari ayah atau ibu ini, akan menjadi æperintahÆ di kemudian hari, khususnya ketika orang tua mereka meninggal. Jadi, di Aceh aneuk agam punya peran penting untuk menjaga marwah keluarga dan pelanjut perjuangan oran tua. Bila aneuk agam tidak bisa diurus dan nakal maka disebut dengan aneuk ateut-ateut, aneuk djeut teungoh sindja, dan ini sangat ditakutkan dalam keluarga di Aceh.
Adapun aneuk agam yang menjadi tulang punggung keluarga secara turun temurun. Jika ada aneuk agam yang pemalas dianggab aib bagi keluarga. Seperti hadih maja: Aneuk paleh bak djieh han djaga, aneuk meutuah han payah djikeumira. Atau hadih maja aneuk paleuh tabri rumoh djipeugot keu rangkang, Tabri lampoh djipeudjeut keu blang,
Tabri inong djipeudjeut keu djalang
Inilah sikap dan budaya ureung Aceh. Apakah aneuk agam ini sama tengku Agam, nyak agam, atau si Agam atau peu agam agam droe. Makna simbolik aneuk agam ini perlu dikaji secara detail. Hampir 30 tahun lebih sebutan ôagamö sangat bahaya kalau diucapkan. Tidak sedikit mereka yang celaka karena menyebutkan nama agam. Sehingga makna yang terkandung di dalamnya pun luntur sedikit demi sedikit.
Aneuk agam tidak lagi berfungsi seperti apa yang diinginkan. Dulu, aneuk agam diminta membayar hutang orangtua, justru sekarang tidak sedikit aneuk agam yang berhutang kemudian dibayar oleh orangtuanya. Jika aneuk agam disuruh menjaga dan membagikan harta warisan, malah mereka menjualnya untuk kepenting pribadi. Pergeseran peran aneuk agam ini bisa dilihat sebagai kemunduran peradaban Aceh. Sebab sekarang aneuk agam tidak lagi bergerilya di madrasah atau meunasah, tetapi bergerilya di ladang ganja atau bahkan menjadi penyakit masyarakat.
Dulu aneuk agam mengaji di meunasah, maka aneuk agam sekarang mengaji di kedai kopi, warung internet, dan play station. Jika dulu pulang sekolah membantu orang tua, sekarang malah sibuk dengan budaya jalanan dengan aneuk dara Artinya, jika peran aneuk agam masih berfungsi seperti yang diungkapkan di atas, maka Aceh bisa dikatakan masih berada pada khittahnya. Tetapi jika aneuk agam sudah mengkhianati keluarga mereka, maka boleh jadi mereka juga akan mengkhianati bangsa mereka sendiri. Jika aneuk agam atau peuagam-agam droe seperti yang terjadi saat ini, besar kemungkinan ôharta warisanö akan habis di tengah perjalanan sejarah Aceh.
* Penulis adalah pemerhati sejarah Aceh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar