Sun, Dec 27th 2009, 09:35
Nafi-Nafi; Kearifan Lokal Masyarakat Simeulue
- MEMORI orang Aceh tidak bisa menghapus detik-detik mengenaskan ketika tsunami, Minggu pagi 26 Desember 2004 itu. Kiamat yang menerjang Aceh setelah sebelumnya digoyang gempa berkekuatan 9,4 SR. Gempa itu menjadi pemicu gelombang pasang air laut. Dampak destruktifnya tak hanya dirasakan oleh masyarakat Aceh tapi juga masyarakat di 11 negara, di antaranya Thailand, India, dan Sri Lanka.
Di Aceh, gelombang maut itu menerjang sekitar 30 menit. Sepertiga Aceh disapu dan ratusan ribu jiwa melayang. laporan majalah Aceh Magazine edisi I, September 2005, tidak kurang dari 236.116 jiwa penduduk Aceh meninggal dunia dan sekitar 70.000 orang dinyatakan hilang. Selain itu, 127.036 unit rumah penduduk yang tersebar di 11 kabupaten/kota hancur total plus 82.884 unit rumah menagalami rusak berat dan ringan.
Begitu dahsyatnya air pasang raksasa yang bagi orang Aceh tidak ada terma khusus untuk menamainya. Terma ie beuna dianggap tidak cukup representatif untuk gelombang besar itu. Ie beuna adalah banjir bandang yang juga cukup dahsyat, namun gelombang pasang pada 26 Desember 2004 itu berlipat-lipat lebih dahsyat daripada ie beuna. Di tengah situasi ambigu untuk menyebut nama gelombang pasang itu, entah siapa yang mempeloporinya, tiba-tiba masyarakat diperkenalkan dengan terma tsunami. Terma ini berasal dari Bahasa Jepang, dari kata “tsu”, yang berarti pelabuhan, dan “nami”, bermakna gelombang. Jadi, secara harfiah tsunami dapat diartikan sebagai pasang laut yang besar di pelabuhan (Diposaptono dan Budiman, 2005:5).
Smong di Simeulue
Gelombang pasang laut yang besar (tsunami) itu, ternyata bukan yang pertama kalinya terjadi di Aceh. Peristiwa serupa—, kendati dalam skala yang lebih kecil, pernah menimpa Pulau Simeulue pada tahun 1907. Sebuah Ensyklopedia dari Hindia Belanda di bawah redaksi D.G. Stibbe yang terbit tahun 1909. mengungkapkan bahwa di Simeulue sering terjadi gempa bumi yang bersifat ringan. Pada tahun 1907, seluruh daerah pantai barat dilanda ombak pasang yang cukup dahsyat dan menelan banyak korban. Pada saat itu, sejumlah besar kampung benar-benar hilang ditelan ombak besar tersebut. Masyarakat Simeulue kemudian menyebut ombak besar itu dengan terma ”smong”.
Ketika saya melakukan riset pada tahun 2005 lalu, mendapatkan informasi bahwa smong terjadi pada hari Jumat, 14 Januari 1907, sekira pukul 14.00 WIB (ba’da shalat Jumat), yang berpusat di Salur, Kecamatan Tepah Barat. Saya beruntung berhasil mewawancarai Nurisah dan Iskandar, dua orang kakak beradik yang menjadi saksi hidup peristiwa smong itu. Pada saat itu, Nurisah berusia sembilan tahun, sedangkan adiknya Iskandar baru lima tahun. Yang membuat saya kagum, saat saya temui, keduanya dalam kondisi sehat dan cukup bugar untuk orang seusia mereka. Nurisah saya lihat baru saja menunaikan shalat dan sambil berdiri, sementara adiknya baru usai melaksanakan shalat berjamaah di mesjid.
Menurut mereka dan juga para informan lain, pada hari terjadinya smong, masyarakat banyak yang datang ke Salur untuk menunaikan shalat Jumat. Setelah shalat Jumat, terjadi gempa yang sangat kuat. Tak lama kemudian, air laut surut dan masyarakat dengan leluasa mengambil kawanan ikan yang menggelepar-gelepar. Dalam hitungan menit, air yang surut kembali dalam wujud gelombang besar dan kokoh dan menghancurkan apa saja yang ada di hadapannya. Korban nyawa, bangunan, dan harta benda tak terelakkan. Jadi, gejala-gejala smong dan akibat yang ditimbulkannya sebangun dengan tsunami yang menimpa daratan Aceh seabad kemudian.
Nafi-nafi
Peristiwa smong tahun 1907 diceritakan secara turun-temurun antargenarasi dalam masyarakat Simeulue. Bukan hanya cerita tentang kedahsyatan smong dan akibat yang ditimbulkannya, tetapi juga mengenai gejala-gejala alam yang mendahuluinya. Sehingga generasi yang hidup pada masa sekarang memiliki pengetahuan yang cukup mengenai gejala-gejala alam yang berpotensi mendatangkan smong. Kisah smong diceritakan oleh nenek atau ibu kepada cucu dan anak-anak pada waktu senggang atau menjelang tidur. Cerita lisan yang dikisahkan secara turun-temurun itu disebut terma nafi-nafi.
Melalui nafi-nafi, pengetahuan tentang tanda-tanda smong tetap lestari dan tersebar luas di Simeulue dan nyaris meliputi semua tingkatan usia. Karena nafi-nafi, saat tsunami membunuh ratusan ribu penduduk Aceh tahun 2004, masyarakat Pulau Simeulue yang dikelilingi lautan hanya mendapati tujuh orang penduduknya meninggal dunia. Ketika gempa dahsyat menggoyang Simeulue pada Minggu kelabu itu, laki-laki dewasa di sana segera berlari ke pinggir laut. Begitu melihat air laut surut, mereka membawa anggota keluarganya ke gunung atau perbukitan, sehingga terhindar dari amukan tsunami.
Keberhasilan masyarakat Simeulue dalam menghadapi bencana smong/tsunami kiranya dapat menjadi pelajaran penting bagi kita untuk mempelajari kembali dan merevitalisasi kearifan-kearifan budaya lokal (local wisdom). Kearifan budaya lokal tersebut secara kontinu dan simultan perlu dilestarikan, jika tidak maka secara gradual akan terlupakan dan hilang.
Uupaya melestarikan pengetahuan tentang bencana alam melalui nafi-nafi, sayangnya tidak tersosialisasi. Terma smong sendiri hanya dimiliki oleh masyarakat Simeulue, tanpa tersosialisasi kepada masyarakat di luar pulau itu. Seandainya seluruh masyarakat yang berdomisili di Aceh memiliki pengetahuan itu, tentu saja korban manusia yang jatuh dapat diminimalisir secara drastis. Begitupun tentang terma yang digunakan, tentu bencana dahsyat pada 26 Desember 2004 itu akan dinamai dengan smong, bukan tsunami.
Lepas dari semua itu, kita patut belajar kepada masyarakat Simeulue atas kepeloporan, konsistensi dan komitmen mereka dalam melestarikan pengetahuan melalui kearifan budaya lokal. Memang sekarang ada upaya-upaya yang dilakukan ragam kalangan untuk mengingatkan masyarakat Aceh terhadap musibah smong, baik melalui tulisan berupa buku-buku, artikel jurnal, majalah, dan sebagainya. Ada melalui pembangunan monumen dan museum tsunami. Bahkan yang paling anyar adalah peringatan dini bahaya tsunami (tsunami early warning). Begitupun dengan peringatan tsunami yang digelar saban tahun dengan aneka paket kegiatan.
Semua itu adalah upaya-upaya mencengkramkan peristiwa tsunami dalam memori kesadaran masyarakat Aceh. Begitu pun daya jangkau atau akses masyarakat Aceh tampaknya amat terbatas. Hanya sebagian kecil masyarakat Aceh bisa mengakses rekam jejak tsunami dengan cara seperti itu. Selain itu, usaha-usaha yang telah dilakukan selama ini tampaknya hanya berdimensi kepada upaya mengingat musibah tsunami dan akibat yang ditimbulkannya. Sedangkan sosialisasi dan pelestarian pengetahuan untuk generasi mendatang mengenai gejala-gejala munculnya tsunami belum terlihat dijadikan agenda kegiatan.
Pada titik inilah kita dapat belajar pada masyarakat Simeulue melalui nafi-nafinya. Masyarakat Aceh dapat melakukan hal yang sama meskipun dengan terma yang berbeda. Apatah lagi, masyarakat Aceh dicatat dalam sejarah sebagai masyarakat yang memiliki tradisi folklore (cerita lisan) yang kuat. Banyak sekali cerita-cerita rakyat, cerita kepahlawanan, kisah perjuangan dan keteladanan para nabi dan sahabat, dan ragam kisah lainnya yang diceritakan para orang tua dahulu kini menguap di udara akibat tidak ada lagi yang meneruskannya.
Merevitalisasi nafi-nafi seperti masyarakat Simelue kiranya menjadi keniscayaan bagi seluruh masyarakat di Aceh. Di samping dengan merevitalisasi tradisi lisan, anak-anak Aceh akan mendapatkan imam baru dalam penyerapan pengetahuan dan pembentukan emosi, karakter, akhlak, serta perilaku mereka. Sudah cukup kiranya anak-anak Aceh berimam kepada programa sampah yang disajikan oleh banyak stasiun televisi. Kini masanya menjadikan orangtua sebagai imam bagi anak-anak mereka. Salah satu caranya adalah melalui revitalisasi folklore atau nafi-nafi. Melalui tradisi ini, anak-anak Aceh memperoleh kesempatan yang lebih banyak untuk berkomunikasi dengan orang tua mereka. Ini tidak berarti bahwa tradisi tulisan harus didegradasi. Kedua tradisi ini sepatutnya berkembang secara proporsional.
Penulis adalah Dosen Antropologi pada Fakultas Adab IAIN Ar-Raniry.
Di Aceh, gelombang maut itu menerjang sekitar 30 menit. Sepertiga Aceh disapu dan ratusan ribu jiwa melayang. laporan majalah Aceh Magazine edisi I, September 2005, tidak kurang dari 236.116 jiwa penduduk Aceh meninggal dunia dan sekitar 70.000 orang dinyatakan hilang. Selain itu, 127.036 unit rumah penduduk yang tersebar di 11 kabupaten/kota hancur total plus 82.884 unit rumah menagalami rusak berat dan ringan.
Begitu dahsyatnya air pasang raksasa yang bagi orang Aceh tidak ada terma khusus untuk menamainya. Terma ie beuna dianggap tidak cukup representatif untuk gelombang besar itu. Ie beuna adalah banjir bandang yang juga cukup dahsyat, namun gelombang pasang pada 26 Desember 2004 itu berlipat-lipat lebih dahsyat daripada ie beuna. Di tengah situasi ambigu untuk menyebut nama gelombang pasang itu, entah siapa yang mempeloporinya, tiba-tiba masyarakat diperkenalkan dengan terma tsunami. Terma ini berasal dari Bahasa Jepang, dari kata “tsu”, yang berarti pelabuhan, dan “nami”, bermakna gelombang. Jadi, secara harfiah tsunami dapat diartikan sebagai pasang laut yang besar di pelabuhan (Diposaptono dan Budiman, 2005:5).
Smong di Simeulue
Gelombang pasang laut yang besar (tsunami) itu, ternyata bukan yang pertama kalinya terjadi di Aceh. Peristiwa serupa—, kendati dalam skala yang lebih kecil, pernah menimpa Pulau Simeulue pada tahun 1907. Sebuah Ensyklopedia dari Hindia Belanda di bawah redaksi D.G. Stibbe yang terbit tahun 1909. mengungkapkan bahwa di Simeulue sering terjadi gempa bumi yang bersifat ringan. Pada tahun 1907, seluruh daerah pantai barat dilanda ombak pasang yang cukup dahsyat dan menelan banyak korban. Pada saat itu, sejumlah besar kampung benar-benar hilang ditelan ombak besar tersebut. Masyarakat Simeulue kemudian menyebut ombak besar itu dengan terma ”smong”.
Ketika saya melakukan riset pada tahun 2005 lalu, mendapatkan informasi bahwa smong terjadi pada hari Jumat, 14 Januari 1907, sekira pukul 14.00 WIB (ba’da shalat Jumat), yang berpusat di Salur, Kecamatan Tepah Barat. Saya beruntung berhasil mewawancarai Nurisah dan Iskandar, dua orang kakak beradik yang menjadi saksi hidup peristiwa smong itu. Pada saat itu, Nurisah berusia sembilan tahun, sedangkan adiknya Iskandar baru lima tahun. Yang membuat saya kagum, saat saya temui, keduanya dalam kondisi sehat dan cukup bugar untuk orang seusia mereka. Nurisah saya lihat baru saja menunaikan shalat dan sambil berdiri, sementara adiknya baru usai melaksanakan shalat berjamaah di mesjid.
Menurut mereka dan juga para informan lain, pada hari terjadinya smong, masyarakat banyak yang datang ke Salur untuk menunaikan shalat Jumat. Setelah shalat Jumat, terjadi gempa yang sangat kuat. Tak lama kemudian, air laut surut dan masyarakat dengan leluasa mengambil kawanan ikan yang menggelepar-gelepar. Dalam hitungan menit, air yang surut kembali dalam wujud gelombang besar dan kokoh dan menghancurkan apa saja yang ada di hadapannya. Korban nyawa, bangunan, dan harta benda tak terelakkan. Jadi, gejala-gejala smong dan akibat yang ditimbulkannya sebangun dengan tsunami yang menimpa daratan Aceh seabad kemudian.
Nafi-nafi
Peristiwa smong tahun 1907 diceritakan secara turun-temurun antargenarasi dalam masyarakat Simeulue. Bukan hanya cerita tentang kedahsyatan smong dan akibat yang ditimbulkannya, tetapi juga mengenai gejala-gejala alam yang mendahuluinya. Sehingga generasi yang hidup pada masa sekarang memiliki pengetahuan yang cukup mengenai gejala-gejala alam yang berpotensi mendatangkan smong. Kisah smong diceritakan oleh nenek atau ibu kepada cucu dan anak-anak pada waktu senggang atau menjelang tidur. Cerita lisan yang dikisahkan secara turun-temurun itu disebut terma nafi-nafi.
Melalui nafi-nafi, pengetahuan tentang tanda-tanda smong tetap lestari dan tersebar luas di Simeulue dan nyaris meliputi semua tingkatan usia. Karena nafi-nafi, saat tsunami membunuh ratusan ribu penduduk Aceh tahun 2004, masyarakat Pulau Simeulue yang dikelilingi lautan hanya mendapati tujuh orang penduduknya meninggal dunia. Ketika gempa dahsyat menggoyang Simeulue pada Minggu kelabu itu, laki-laki dewasa di sana segera berlari ke pinggir laut. Begitu melihat air laut surut, mereka membawa anggota keluarganya ke gunung atau perbukitan, sehingga terhindar dari amukan tsunami.
Keberhasilan masyarakat Simeulue dalam menghadapi bencana smong/tsunami kiranya dapat menjadi pelajaran penting bagi kita untuk mempelajari kembali dan merevitalisasi kearifan-kearifan budaya lokal (local wisdom). Kearifan budaya lokal tersebut secara kontinu dan simultan perlu dilestarikan, jika tidak maka secara gradual akan terlupakan dan hilang.
Uupaya melestarikan pengetahuan tentang bencana alam melalui nafi-nafi, sayangnya tidak tersosialisasi. Terma smong sendiri hanya dimiliki oleh masyarakat Simeulue, tanpa tersosialisasi kepada masyarakat di luar pulau itu. Seandainya seluruh masyarakat yang berdomisili di Aceh memiliki pengetahuan itu, tentu saja korban manusia yang jatuh dapat diminimalisir secara drastis. Begitupun tentang terma yang digunakan, tentu bencana dahsyat pada 26 Desember 2004 itu akan dinamai dengan smong, bukan tsunami.
Lepas dari semua itu, kita patut belajar kepada masyarakat Simeulue atas kepeloporan, konsistensi dan komitmen mereka dalam melestarikan pengetahuan melalui kearifan budaya lokal. Memang sekarang ada upaya-upaya yang dilakukan ragam kalangan untuk mengingatkan masyarakat Aceh terhadap musibah smong, baik melalui tulisan berupa buku-buku, artikel jurnal, majalah, dan sebagainya. Ada melalui pembangunan monumen dan museum tsunami. Bahkan yang paling anyar adalah peringatan dini bahaya tsunami (tsunami early warning). Begitupun dengan peringatan tsunami yang digelar saban tahun dengan aneka paket kegiatan.
Semua itu adalah upaya-upaya mencengkramkan peristiwa tsunami dalam memori kesadaran masyarakat Aceh. Begitu pun daya jangkau atau akses masyarakat Aceh tampaknya amat terbatas. Hanya sebagian kecil masyarakat Aceh bisa mengakses rekam jejak tsunami dengan cara seperti itu. Selain itu, usaha-usaha yang telah dilakukan selama ini tampaknya hanya berdimensi kepada upaya mengingat musibah tsunami dan akibat yang ditimbulkannya. Sedangkan sosialisasi dan pelestarian pengetahuan untuk generasi mendatang mengenai gejala-gejala munculnya tsunami belum terlihat dijadikan agenda kegiatan.
Pada titik inilah kita dapat belajar pada masyarakat Simeulue melalui nafi-nafinya. Masyarakat Aceh dapat melakukan hal yang sama meskipun dengan terma yang berbeda. Apatah lagi, masyarakat Aceh dicatat dalam sejarah sebagai masyarakat yang memiliki tradisi folklore (cerita lisan) yang kuat. Banyak sekali cerita-cerita rakyat, cerita kepahlawanan, kisah perjuangan dan keteladanan para nabi dan sahabat, dan ragam kisah lainnya yang diceritakan para orang tua dahulu kini menguap di udara akibat tidak ada lagi yang meneruskannya.
Merevitalisasi nafi-nafi seperti masyarakat Simelue kiranya menjadi keniscayaan bagi seluruh masyarakat di Aceh. Di samping dengan merevitalisasi tradisi lisan, anak-anak Aceh akan mendapatkan imam baru dalam penyerapan pengetahuan dan pembentukan emosi, karakter, akhlak, serta perilaku mereka. Sudah cukup kiranya anak-anak Aceh berimam kepada programa sampah yang disajikan oleh banyak stasiun televisi. Kini masanya menjadikan orangtua sebagai imam bagi anak-anak mereka. Salah satu caranya adalah melalui revitalisasi folklore atau nafi-nafi. Melalui tradisi ini, anak-anak Aceh memperoleh kesempatan yang lebih banyak untuk berkomunikasi dengan orang tua mereka. Ini tidak berarti bahwa tradisi tulisan harus didegradasi. Kedua tradisi ini sepatutnya berkembang secara proporsional.
Penulis adalah Dosen Antropologi pada Fakultas Adab IAIN Ar-Raniry.
acehdigest note's:
BalasHapussmong harus jadi muatan lokal dalam buku ajar sekolah, minimal dalam selembar poster yang disebar luas di seluruh sekolah di Aceh.(Aceh Early warning System)....