by hanif sofyan
Menyusuri peunayong seperti melihat "bingkai" gambar masa lalu. Tapi-- berapa lama Peunayong akan bertahan dari “godaan” renovasi?. Landmark itu seharusnya tetap pada langgam yang sama seperti masa lalunya, sehingga cerita “Taman Gairah”, dan hubungan harmonis dua kultur Cina-Aceh bisa melekat dalam satu ikon yang sama. Peunayong!.
Duduk di café-cafe kecil, mengisi malam di Peunayong, membawa kita menerawang pada kisah disebaliknya. Peunayong tak lagi hanya identik dengan pasar, meski konotasi pasar melekat pada Peunayong. Tapi seperti apa rupa Peunayong dimasa lalu para Raja Aceh?. Membuka laman buku tua, perihal Sultan Iskandar Muda, Peunayong adalah sebuah situs besar, “taman gairah”, kenapa sebutannya begitu indah dan eksotis?. Ini sebuah fakta sejarah yang tak seharusnya dengan mudah dibuang dan digilas begitu saja.
Bercermin ke Paris
Duduk diberanda café-cafe kecil yang sama seperti Peunayong, di pelataran Haussmann Boulevard, Paris, kita sekali lagi menerawang dan bercermin pada kisah dibaliknya. Jika kita berdiri disana, tak akan kesulitan untuk membayangkan, bagaimana gambaran sudut Haussmann di tahun 1860 sekalipun, karena kita tengah berada dalam bentuk kota yang sama, seperti ketika dimulainya "pertarungan" memilih membangun kota modern vs mempertahankan landmark "kota tua" di tahun 1860 ketika itu. (haussmann, wikipedia). Hasilnya lanskap gedung dan pedestrian yang sama tetap dipertahankan, pun di tahun 2011 sekarang ini, yang membedakannya hanya deretan cafe-cafe kecil manis, yang di cat warna-warni modernitas. Kita seharusnya iri, pada kegigihan pemerintah daerah kota Paris ketika itu, untuk mempertahankan situs, sekaligus menjaga marwah sejarahnya.
Kegamangan lebih terasa, ketika kita membuka laman buku sejarah acehnya Anthony Reid--sejarawan Selandia Baru yang konsen dengan sejarah Aceh, ketika beliau berusaha memahami bagaimana kita bisa kehilangan landmark kubah masjid Ulee Lheu. Kubahnya yang menandai jamannya, dipangkas dan diubah begitu saja, entah karena dirasa “kuno“ dan ketinggalan jaman, atau sekedar alasan untuk “praktis” saja. Jika alasan kedua yang jadi pilihan, alangkah patut disayangkan. Sejarah dengan "ikon" bawaannya, baik lanskap maupun budaya adalah sebuah “karunia” yang menjadi sisi pembeda, sekaligus sebagai sebuah lembaran "buku besar" sejarah. Bukankah adagium bilang“one picture more better than 1000 word?”. Begitupun dengan kubah mesjid Ulee Lheu dan Peunayong, konon lagi Peunayong bukan gambar, tapi sebuah realitas, dan kita belum terlambat mempertahankannya.
Harmonisasi Dulu dan Kini
Bayangan nuansa malam di Peunayong, terasa menyimpan "magis" tersendiri, dari namanya saja P-e-u-n-a-y-o-n-g, menimbulkan tanya, mengapa pilihan namanya harus itu?, apakah bagian dari lingua Aceh?, atau bagian dari nama aktifitas budaya?, bagian dari adatkah, yang punya makna tersendiri?. Sejarah Peunayong adalah sebuah paket wisata bernilai jual tinggi.
Agaknya "harmonisasi", adalah sebuah pilihan tepat untuk menyandingkan tempo doeloe dan masa kini, bukan untuk saling tumpas dan menghilangkan. Peunayong sebagai sebuah landmark, sudah sewajibnya dijadikan sebagai “ikon" wisata Aceh, apalagi dalam event Banda Aceh Visit Year 2011.Entah muncul dalam wujud, Peunayong Square, Peunayong Art Shop, Peunayong Sabee Belanja, dengan menjadikan seluruh median jalan menjadi “lapak jualan", meniru Malioboro, Yogyakarta. Ini adalah upaya paling tepat yang bisa dipilih untuk hadirnya harmoni dulu dan kini, untuk tetap menjaga dan mempertahankan Peunayong "kita".
Agaknya "harmonisasi", adalah sebuah pilihan tepat untuk menyandingkan tempo doeloe dan masa kini, bukan untuk saling tumpas dan menghilangkan. Peunayong sebagai sebuah landmark, sudah sewajibnya dijadikan sebagai “ikon" wisata Aceh, apalagi dalam event Banda Aceh Visit Year 2011.Entah muncul dalam wujud, Peunayong Square, Peunayong Art Shop, Peunayong Sabee Belanja, dengan menjadikan seluruh median jalan menjadi “lapak jualan", meniru Malioboro, Yogyakarta. Ini adalah upaya paling tepat yang bisa dipilih untuk hadirnya harmoni dulu dan kini, untuk tetap menjaga dan mempertahankan Peunayong "kita".
Sekali lagi, melihat dan "berkaca" pada Negeri-negeri lain semisal Belanda--mantan seteru Aceh di masa lalu, kebijakan menata Rotterdam-nya dengan mempertahankan landmark bangunan tua dengan hanya memberi sentuhan cat dan penambahan aksesoris baliho mini di jalan, adalah sebuah langkah solusi yang simpel namun mampu memberi dimensi dampak yang luar biasa. Imbasnya, kota-kota tua itu menjadi “hidup”, karena “nafas” masa lalunya tetap dihadirkan sebagai ikon. Menyusur laman internet, jauh ke kota-kota di Eropa Timur, bahkan jauh hingga Venesia di Itali--gagasannya tetap sama, harmonisasi masa lalu dan masa kini yang menjadi alternatifnya. Bahkan tak usah jauh-jauh, Kawasan Marina Sunda Kelapa, Jakarta Timur, juga mempertahankan landmark tua Batavia menjadi ikon dalam katalog paket “Enjoy Jakarta”. Banda Aceh seharusnya juga memastikan Peunayong masuk dalam paket "Bandar Wisata Islami", Aceh Visit Year 2011, bagaimanapun caranya. [hans].
sudut peunayong paling menarik adalah peunayong square--pasar ikan, beberapa blok deretan toko kelontong. jika bagian ini hilang ter-renovasi, maka peunayong akan kehilangan jatidiri-nya.
BalasHapussaleum
melihat renovasi pelan tapi pasti yang sedang terjadi di peunayong hari ini, pelan tapi pasti juga kita akan kehilangan satu lagi "ikon" Aceh--"Peunayong".....
BalasHapus