by hanif sofyan
Keinginan menulis wacana ini muncul karena merasa tergelitik oleh sebuah hajatan menulis yang digelar himadipa unsyiah. Entah ini sebuah parody sinisme, atau memang lahir dari rasa penasaran yang muncul karena keprihatinan. Setidaknya gagasan mengusung pertanyaan yang bernada tendensius ini menarik untuk diulas kaji. Bayangkan! Matinya Kemiskinan.
Tema besar ini provokatif. John Horgan, bilang soal “the end” ini sebagai sebuah dunia yang diliput mayat—post mortem. Tetapi apa itu akhir? Apakah bermakna sekedar “tidak ada lagi” atau “ketiadaan (nothingness)? Apakah akhir menyiratkan sebuah permulaan baru atau bahkan kelahiran baru? Ini sebuah soal ontologis dan epistemologis yang pelik.
Seperti sekuel film, booming “the end” merajalela. Rasa penasaran terhadap issue senjakala, kematian, atau akhir seperti dahaga tanpa air. Tak kurang Sergio Zyman, dengan the end of marketing, John Leslie--the end of the world, Victor Burgin-- the end of Art Theory, Daniel Bell-- the end of Ideology, Martin Heidegger--the end of Philosophy, Michel Foucault dengan death of the subject, yang melihat “end” sebagai sebuah wacana proses diskontinuitas. Bahkan Jeffrey D Sachs, memilih judul--the end of poverty!.Jawaban apa yang sebenarnya tengah dicari?
Menakar Kemiskinan
Pada September 2000, 189 kepala Negara menghadiri Millenium Summit di New York, Amerika Serikat, dan menandatangani Tujuan Pembangunan Abad Millenium,(Millenium Development Goals ; MDGs),yang bertujuan menghapus kemiskinan jelang 2015. Mereka mengidentifikasi banyak dimensi dalam kemiskinan--bukan hanya penghasilan yang tidak mencukupi, melainkan juga kurangnya pelayanan kesehatan serta akses untuk mendapatkan air bersih. Problem kemiskinan sangat multidimensi. Dan “perang” yang dimulai tahun 2000 melawan Kemiskinan, dihitung dari hari ini ke tahun 2015, berarti tinggal 4 tahun, 8 bulan, 23 hari. Raksasa bernama “kemiskinan”, melawan hampir semua negara di bumi. Apakah ini ”euforia” sesaat, karena ini sebuah upaya sia-sia dan niscaya?, atau ini sebuah optimisme baru?
Apakah Orang Miskin itu Miskin?
Pertanyaan yang menggugah penasaran dan menyentuh. Pameo bilang, yang kaya akan makin kaya, yang miskin makin miskin. Tapi apakah benar Orang Miskin itu miskin?.
Ada sejumlah asumsi dasar yang menjadi inti pemikiran mengenai pengurangan angka kemiskinan dan pemberian bantuan pembangunan selama 30 tahun silam, yang bisa menjembatani pertanyaan tersebut. Pertama; Negara-negara miskin menjadi miskin karena mereka tidak memiliki sumber daya. Oleh karena itu bantuan dipandang sebagai pengganti atas sumber daya yang dihasilkan lokal. Kedua; bantuan Negara kaya kepada pemerintah Negara miskin untuk proyek-proyek spesifik (biasanya infrastruktur) akan mengurangi kemiskinan. Ketiga; Investasi di sektor pendidikan dan perawatan kesehatan memiliki pengganda (multiplier) per dollar investasi paling besar pada pembangunan ekonomi, oleh karena itu bantuan difokuskan pada sektor-sektor tersebut. Keempat; Bantuan dari berbagai negara donor, Bank Dunia, IMF, dan lain-lain membuat banyak para ahli memperdebatkan kemanjuran bantuan dan pinjaman itu. Sehingga komunitas ahli di bidang pembangunan kemudian lebih mencurahkan perhatian pada peran sektor swasta dalam membangun pasar-pasar.
Hanya sedikit penolakan terhadap paradigma tersebut, Hernando De Soto, dalam The Mystery of Capital, menantang asumsi bahwa negara miskin itu memang benar-benar miskin. Menurutnya, negara miskin sering kaya asset tetapi miskin modal. Asset tersebut tidak bisa menjadi modal kecuali jika negara menjamin berjalannya aturan hukum-terutama hukum kontrak-yang menjadikan kepemilikan asset menjadi jelas. Dan karena adanya kejelasan hukum, asset tersebut dapat dijual, digadaikan, atau diubah ke bentuk asset lain. Konsep kepemilikan hukum itulah yang dapat mengubah asset menjadi modal. Ini argumen yang tidak bisa disangkal. Sudut pandang ini mengisyaratkan bahwa kemiskinan adalah, sedikitnya sebagian, masalah keterpaksaan-diri (self-imposed problem) di kebanyakan belahan dunia. Pembentukan modal lokal dan penggunaan pasar-pasar dihambat oleh tidak adanya pengaturan kelembagaan yang memadai. (Prahalad.81).
Kita pernah merasakan menjadi bagian dari 4 asumsi di atas. Kita pernah ribut soal proyek infrastuktur--tol, jalan layang, untuk mengikis ketiadaan lapangan kerja. Terus menerima kucuran “hutang” IMF, Bank Dunia, yang ternyata bunganya mengikis cadangan devisa. Atau gagasan Wajib Belajar untuk memancing multiplier effect-nya pada kualitas manusia. Apakah kita masih akan terus berada dalam asumsi yang digambarkan Prahalad?
Gombalisasi vs Globalisasi
Pada Konferensi Internasional, Pembiayaan Pembangunan, Maret 2002, di Monterrey, Meksiko yang dihadiri 50 kepala negara plus 200-an menteri, dan beberapa negara industri besar, lagi-lagi digagas ide trickle down, kucuran dana Negara Kaya pada Dunia Ketiga sebesar paling kurang 0,7% dari PDB mereka. Meskipun-- realisasinya jauh dari harapan, bahkan bantuan cenderung kemudian muncul dalam bentuk hibah dan sedikit dalam bentuk pinjaman, mengingat kondisi dunia ketiga yang carut marut dan serba sulit. Inkonsistensi--ini kesalahan klasik yang terus berulang dan terus memancing berangnya para pakar yang telah berupaya menciptakan formula yang kemudian dengan mudahnya dimentahkan.
Joseph E. Stiglitz, nobelis ekonomi, berargumen keras soal pemberantasan kemiskinan, dengan ide besar, mereformasi globalisasi. Menurutnya, perdebatan raksasa IMF dan Bank Dunia, lebih fokus pada kebijakan ekonomi, itupun tidak bergeser pada seputar permasalahan inflasi ketimbang masalah upah, penggangguran atau pada implementasi mengentaskan kemiskinan. IMF merasa berkepentingan hanya menciptakan stabilitas ekonomi global, sementara tugas mengurangi kemiskinan menjadi homework-nya Bank Dunia (stiglitz.62). Terbukti bahwa terbukanya pasar, dengan hapusnya penghalang perdagangan (free trade), terbukanya pintu aliran modal secara sendiri-sendiri, tidak serta merta memecahkan problem kemiskinan; sebaliknya justru memperburuk persoalan. Diperlukan sebuah sistem yang lebih adil dalam mengatur perdagangan.
Dengan nada pesimis, Ck Prahalad spesialis strategi korporasi MBS, bahkan berkomentar, meski upaya untuk memanusiawikan 4 miliar jiwa-orang-orang yang hidup dengan kurang dari US$ 2 per hari, tengah terus diupayakan, namun kemiskinan telah begitu kronis dan MDGs atau trickle down, sekalipun pada akhirnya hanya semakin menegaskan kenyataan tersebut. Ketika kita memasuki abad ke-21, kemiskinan dan ketimpangan yang menyertainya-tetap menjadi salah satu masalah dunia yang paling mencemaskan (CK Prahalad.3). Menurutnya globalisasi harus menjadi milik semua, bukan sebuah ”kepentingan” kelompok yang tidak memanusiawikan kelompok “bawah”. Bottom of the Pyramid (BOP), harus dimainkan lebih intens perannya dalam globalisasi. Sehingga tidak menjadi kelompok marginal yang di gombalisasi oleh globalisasi.
Indonesia dalam peta MDGs 2015
Melirik pada tataran Indonesia, tak bermaksud untuk pesimis, fakta kemiskinan Indonesia per 2009 menunjuk pada kisaran angka 15%, dari total 250 juta. Ini artinya ada 37.5 juta orang miskin, yang berdasarkan gambaran Prahalad, orang-orang yang hidup dengan penghasilan US$ 2 per hari. Mengacu pada target MDGs di 2015, kita masih bisa berkejaran dengan waktu. Tapi rasanya tak berlebihan, jika capaian itu, saat ini kita asumsikan saja sebagai sebuah langkah awal untuk “babak serius” perang terhadap kemiskinan. Lepas dari sekedar siap tidak siap karena sudah terlanjur “ikut” kesepakatan MDGs.
Matinya Kemiskinan dan Paradigma Menang-Menang
Gagasan menarik yang diusung CK Prahalad, adalah konsep menang-menang. Ketika cara pandang harus diubah dan diakhiri, dari pandangan Negara miskin, sebagai kelas marginal yang menimbulkan masalah, menjadi sumber daya baru. Ini sebuah gagasan penuh harapan. Mengedepankan optimisme dalam kabut problematika kemiskinan. Sehingga sedari awal, negara-negara maju, akan mengubah paradigmanya bahwa negara dunia ketiga adalah asset yang membutuhkan mitra untuk membangunkan sumber dayanya yang tengah pulas. Ini setidaknya akan memberi gambaran matinya kemiskinan dalam arti yang lebih positif, ketika paradigma berbelok dari “sampah” menjadi “limbah yang bisa diolah” dan berharga. Kemiskinan dalam pola lama pada akhirnya akan mati, dan berganti pada gambaran positif, massa “orang miskin”sebagai sumber daya baru. Namun kita juga tidak mau berdebat hanya dalam tataran permainan istilah, miskin yang sama dengan “baju” yang berbeda. Atau lebih parah lagi, melihat potensi besar dunia ketiga menjadi bahan mainan, sehingga asumsi potensi besar tenaga murah terus mengemuka, wacana ini harus beralih.
Lebih jauh, implementasi gagasan ini harus dimunculkan dalam “ruh” kewirausahaan. Prahalad menyebutnya dengan istilah "Tata Kelola Orang Miskin". Ini gagasan menarik, bagaimana orang miskin memiliki konsep tata kelola, sehingga memiliki bargaining power dalam proses pemberdayaan pengentasan kemiskinan, mengangkat Bottom of the Pyramid (BOP), menjadi kelas yang diperhitungkan. Optimisme memerangi kemiskinan yang digambarkan Prahalad adalah mengubah citra, gambar-gambar klasik kemiskinan yang menutupi kenyataan bahwa masyarakat miskin sebenarnya mencerminkan para wirausahawan yang tangguh dan peduli-nilai. Apa yang diperlukan adalah pendekatan lebih baik untuk membantu masyarakat miskin itu, pendekatan yang melibatkan kemitraan dengan mereka, untuk memulai dan mencapai skenario-skenario menang-menang yang berkesinambungan. Dimana masyarakat miskin aktif terlibat dan pada saat yang sama, perusahaan-perusahaan yang memberikan produk dan jasa kepada mereka memetik keuntungan.
Pesimisme orang kaya vs orang miskin, Negara kaya vs Negara Miskin telah dimentahkan dalam implementasi Gramen Bank yang digagas Muhammad Yunus. Dimana Orang miskin dengan peluang baru, telah membuktikan bahwa berapapun dana bersama yang dikelolakan pada mereka, telah membuktikan, paradigma yang diusung Prahalad, bahwa melibatkan orang miskin dalam kemitraan yang serius, membawa semua pihak pada win-win solution. Kasus ini, sekaligus bahkan menegaskan adanya optimalisasi peran gender dalam proses pengentasan kemiskinan. Bahwa ternyata perempuan yang selama ini lebih dominan pada wilayah domestik, telah menunjukkan kelasnya sebagai asset potensial, untuk pengentasan kemiskinan. Bahkan dalam harapan yang lebih jauh pada meningkatnya kualitas manusia yang lebih komprehensif—dalam hal ini keluarga, sebagai sisi mikro negara.
Prediksi ini sudah dilihat dan dibahas dengan gamblang oleh Patricia Aburdene, dalam bukunya Mega Trends 2010. Bahwa dunia yang semakin flat--datar karena mudahnya jangkauan komunikasi, telah menuntaskan batas wilayah negara. Dan konsekuensi ini melahirkan megatrend baru, ketika terjadi ledakan investasi yang memiliki tanggung jawab sosial--Socially Responsible Investing (SRI) yang menjangkau jauh melewati batas negara, un sich Goverment to People di satu negara, bahkan lebih jauh G to G (Government to goverment).
Socially Responsible Investing adalah cara pandang kapitalis mengikuti “kata hati” mereka, yaitu mendukung berbagai korporasi yang standar lingkungan dan sosialnya mereflesikan nilai-nilai yang mereka junjung. Sekarang ini, ketika kapitalisme berusaha menyembuhkan diri dari berbagai krisis terburuk sejak masa depresi, SRI semakin tumbuh dewasa. Tahun 1984 saja, SRI adalah pasar sehat senilai US$40 miliar. Pada 2003, pasar itu telah berubah wujud menjadi industri senilai US$2,16 triliun. Peningkatan 5.000% dalam waktu hanya dua dekade. Investasi ini kemudian muncul dalam berbagai agensi pemerintah dan pemerintah sendiri. Bahkan mampu menyamai dan menggunguli investasi mainstream sehingga stock portofolio dari para kapitalis conscious lebih “hijau” dalam banyak hal. Terutama ketika mereka mengusung gagasan Corporate Citizenship--sebuah perusahaan yang mempromosikan keadilan sosial.(patricia.192-193)
Ketika semua stakeholder, mengarahkan “panah solusinya” pada bagaimana membidik sisi kemitraan dan pemberdayaan potensi Negara miskin--kelompok marginal sebagai sumber daya, maka gagasan “matinya” kemiskinan lebih pada konteks diskontinuitas kemiskinan dan mengalih pada gagasan “penuh harapan”, yang dimulai dari nilai-nilai positif, yang memberikan energi baru. Kecil bukan berarti hopeless, tanpa masa depan. Ini hanya soal bagaimana si kecil diberi peluang serius, untuk menjadi mitra seimbang. Tak ada yang rugi, baik Negara besar atau Negara kecil, sejauh tidak bermainnya “kepentingan” segelintir idiot--rakus yang bermain dengan “harta” yang seharusnya menjadi hak kelola orang kecil. [hans-2010]
acehdigest note's:
BalasHapustata kelola orang miskin, yang dilontarkan prahalad, merupakan sebuah bahan kaji yang menarik, untuk ditindak lanjuti. mungkin ini bagian dari "resep', mengentaskan kemiskinan, tentu ditambah dengan niat baik, mampu dan mau.
saleum