Sabang, dari semua sisi potensi menimbulkan banyak kekaguman. Tapi, seberapa banyak potensi menjanjikan itu yang tergali dengan “benar”?. Me-manajemen-i Sabang dengan tepat adalah tantangan besar. Persoalan mindset, adalah sisi paling kritikal bagi Pemda, yang harus mendapat porsi perhatian paling besar untuk suksesnya “menjual “ Sabang.
Mengukur Sabang menjadi Sabang yang berbeda, juga membutuhkan pembanding. Dengan melihat bagaimana Senggigi, Bunaken, Wakatobi, Raja Ampat membangun konsep marketing places-nya, dengan Platform Pemasaran Daerah-nya, baru bisa kita mengukur dimana posisi “Sabang kita” hari ini dan bagaimana kita akan “bersaing”.
Seharusnya UU No. 22 Tahun 1999 mengenai Otonomi Daerah, memberikan ruang “jelajah” lebih besar dan lebih luas, untuk memberdayakan konsep Marketing places-nya Sabang menjadi sebuah “ikon” baru. Tidak hanya buat Aceh, tapi minimal untuk kawasan Segitiga IMT-GT, sebelum melangkah ke Asean, Asia, bahkan dunia, menjadi tumpuan devisa.
Perubahan besar di lanskap makro, “mengarak” daerah menuju pasar global. Pertama dengan efektifnya pemberlakuan UU No. 22 dan 25 Tahun 1999, tentang otonomi daerah dan perimbangan keuangan pusat dan daerah, menandai sebuah pergeseran perspektif pola manajemen pemerintah dari manejemen pemerintah yang “sentralistik-eksploitatif ke desentralistik-partisipatif. Kedua perubahan konstelasi politik orde baru 1998, dari sistem politik “otoritarian-bebal” ke “demokratik-akomodatif”. Ketiga di tingkat regional-global, efektifnya NAFTA, menuntut berbagai negara untuk mulai menggeser orientasi mereka dalam pengelolaan kawasan dari local orientation ke global orientation. Dengan perubahan besar ini, berbagai daerah di Indonesia dihadapkan pada persaingan dengan daerah dan kota lain di seluruh dunia. Sabang, tak lagi hanya bersaing dengan, Bunaken, Raja Ampat, Phuket etc, tapi sekaligus juga dengan Great Barrier Reef, di Australia. Perubahan besar ini memaksa Pemda, untuk meninjau ulang pendekatan dan cara pandang mereka dalam mengelola daerah.
Dimana dan Bagaimana Posisi Sabang seharusnya?
Sederhananya, mungkin tergantung “niat”, apakah sungguh-sungguh ingin “berubah”, atau sekedar masuk menjadi bagian dari paket “Indonesian Visit Year (VIY)”. Sejak digagas 17 tahun lalu, hingga jeda di tahun 1991, di era Susilo Sudarman, praktis program VIY mengalami “karat kronis”. Baru ketika Jero Wacik, didaulat jadi menteri, VIY “bersinar” lagi dengan capaian 6,4 juta wisman di ujung tahun 2008, dengan raupan devisa mencapai US$7.377.390.000 dan belanja turis mencapai US$1.178/orang. Spektakuler. Kita harusnya juga menjadi bagian dari “euforia” ini, karena kita juga Indonesia. Lalu dimana kita ketika “pesta devisa” berlangsung?. Kita masih gagap dalam “kungkungan” era reformasi dan birokrasi, yang dipenuhi para “pengecam” dan pesimistis VIY, pelabuhan kita masih begini, taksi juga begitu, banjir masih ber-langganan dan suara-suara pesimis lain.
Secara Institusional, menempatkan the right strategy and policy on the right situation and condition, adalah sebuah keharusan. Disamping the right man on the right place, untuk manusianya.
Rosabeth Moss Kanter, menawarkan 3Cs; (Concept, Competence, Connection), sebagai “jembatan” kita berpartisipasi dan mengambil keuntungan maksimal dari ekonomi yang “mendunia”. Concept, memaksa kita melakukan positioning, menghasilkan ide yang bernilai pasar. Jogya menjual “never ending Asia”, Jakarta, dengan “Enjoy Jakarta”, bahkan kita tak asing dengan jualan Singapura “Uniquely Singapura”, atau “Truly Asia”-nya Malaysia. Sabang akan menjual apa dalam kompetensi itu?.Competence, memposisikan kita sebagai penghasil atau penyedia layanan dengan kompetensi secara quality, cost, delivery (QCD) yang kokoh. Dengan kapasitas bentang alam pelabuhan yang memadai dan sangat strategis, kita berada didepan para pesaing. Bahkan Singapura sebenarnya “takut” berhadapan dengan potensi Sabang ini. Hanya saja konstelasi politik menggiring Sabang dari posisi yang sangat strategis, sebagai “bagian” dari dua benua dan dua samudra menjadi underdog. Bebas-nya Sabang merupakan sebuah “Phobia” bagi Jakarta di era Orde Baru. Singapura, melenggang karenanya sebagai pengambil keuntungan, “tsunami devisa” (Iful Mahdi-Globe Jurnal 2009). Dari sisi Connection, Sabang harus memposisikan dirinya sebagai hub, penghubung yang memungkinkan interaksi seluruh jagad dalam membangun jaringannya. Dengan posisi di lintas selat tersibuk di dunia dengan volume lalu lintas kapal tertinggi, Sabang butuh “cara memamerkan potensi diri”, agar lebih “dipandang” dunia.
Reorientasi Sabang
"Transformasi super besar", adalah satu-satunya cara membuat Sabang menjadi beda. Pertama, Perubahan pendekatan dan cara pandang Pemda Sabang dalam mengelola “Sabangnya”, dari bureaucratic-monopolistic goverment menjadi entrepreneurial-competitive goverment mungkin membutuhkan revolusi. Sebagai Entrepreneurial, pemerintah harus memainkan peran sebagai “penangkap” peluang yang jeli untuk menaikkan kualitas hidup masyarakatnya. Sementara dari sisi Competitive, menantang pemerintah daerah menjadi pendorong munculnya kompetisi bagi penyedia layanan publik untuk menyajikan excellent service bagi konstituennya. Kisah Mazat Amirul Tamim, Walikota Bau-Bau, membersihkan sungai dengan konsep ”sungai sebagai halaman depan”, merupakan sebuah kejelian menangkap peluang sekaligus solusi kota marina. Gagasannya melebarkan jalan di pinggir sungai, menjadikan area sungai menjadi “halaman depan” ruang publik yang bisa dijual, menjadi landmark seperti halnya Venesia “memainkan” kanal-kanalnya.
Perubahan kedua mengharuskan Pemerintah bermetamorfosis, dari pemda yang “cuek-bebal” menjadi pemda yang berorientasi pelanggan (customer-driven goverment) dan bertanggungjawab (accountable goverment). Pemda berorientasi dan responsif pada kebutuhan dan keinginan untuk kepuasan pelanggan. Pelanggan Pemda dalam hal ini tentu masyarakat daerahnya, dan multistakeholder lain yang memiliki “minat” dan membutuhkan layanan publik yang memadai. David Osborne, pakar manajemen menyebut pemerintah semacam ini, dengan ungkapan, ”Put the customer in the driver’s seat,” (Hermawan Kertajaya, 2005).
Langkah perubahan ketiga, mendorong Pemda untuk meng-evolusi diri dari pemerintah yang hanya memiliki Local Orientation menjadi pemerintah yang memiliki Global-Cosmopolit Orientation. Do and Act Globaly, membuka diri dan peluang, sejauh itu semua memiliki kontribusi positif terhadap peningkatan kualitas hidup masyarakat.
Platform Pemasaran Sabang
World is flat, dunia tak lagi bulat karena akses jelajah komunikasinya yang sudah sangat mudah. Tantangannya tentu bagaimana mengantisipasi perubahan besar dunia yang terus berubah dalam hitungan detik dan menit.
Daerah sebagai sebuah institusi, harusnya juga mengarahkan pandangnya kearah perubahan itu, dengan memposisikan diri sebagai sebuah “perusahaan kecil” dalam dunia yang global. Membangun daya saing dan memasarkan daerah adalah dua soal, yang memusingkan banyak para kampiun ekonomi. Pemasaran daerah erat kaitannya dengan bagaimana men-desain suatu daerah agar mampu memenuhi dan memuaskan keinginan dan ekspektasi banyak orang. Masyarakat dilini pertama, berikutnya TTI; trader, tourist, investor, dari dalam maupun luar daerah, TDO; Talent (SDM berkualitas), developer (pengembang), organizer (even organizer).
Sedangkan disisi lain, bagaimana membangun daya saing, menurut maha guru strategi Michael Porter, intinya adalah bagaimana meningkatkan produktifitas, agar berdampak positif untuk peningkatan standar hidup masyarakat.
Sabang-pun berada dalam dilema yang sama ketika dihadapkan pada dua soal itu. Apa yang harus diperbuat?, bagaimana konsepnya?, tool apa yang bisa dijadikan patokan untuk mengukur kualitas kinerja?, siapa pelaku pemasaran daerah?, siapa pelanggan daerah?, dan agenda apa yang harus dilakukan daerah untuk mengembangkan daya saingnya?.
Setidaknya butuh tiga langkah strategis bagaimana menterjemahkan jawaban 2 pertanyaan besar, membangun daya saing, sekaligus memasarkan daerah. Pertama Be a good host (menjadi tuan rumah yang baik) bagi pelanggan daerah. Kedua, treat your guest properly (memperlakukan mereka secara baik) dan Ketiga membangun sebuah “rumah” yang nyaman bagi mereka (building a home sweet home). Hermawan Kertajaya dan Siswohadi (MarkPlus 2005).
Menjadi tuan rumah yang baik, mengharuskan adanya kolaborasi kohesif--masyarakat dan, wirausaha dan pemerintah. Ketika masyarakat welcome dan wirausaha leading di lini depan, pemerintah mengimbanginya dengan mendorong agar kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan mampu mendukung kondusifnya iklim bisnis dan investasi. Semisal terbukanya peluang import mobil eks Singapura, harus diiringi kebijakan dan bea serta pajak yang proporsional.
Perlakuan terbaik bagi Pelanggan, Treat your guest properly, meliputi liveability, investability dan visitability, perbaikan fasilitas umum dan layanan publik, peluang investasi dan tersedianya SDM yang “mumpuni” dan menyediakan fasilitas transportasi akomodasi yang kompetitif, untuk menciptakan convenience/kemudahan dan suasana aman dan nyaman. Kabupaten Jembrana, merupakan daerah pertama yang menerapkan pelayanan publik, kesehatan gratis, dengan relokasi subsidi untuk obat-obatan RSUD menjadi asuransi, sehingga memungkinkan pelayanan gratis menjangkau semua lini.
Membangun “rumah”, berupa akses penunjang operasional yang mudah, tampilan atraksi menarik, dan bahkan untuk menjadikan Sabang sebagai longterm home base, organizer perlu merancang pertemuan yang rutin untuk memancing mereka terus datang. Gelar tahunan Ubud Writer Competition, misalnya, telah melambungkan Ubud, tak hanya sekedar aktifitas desa kecil di Bali, tapi telah menyihir banyak orang datang dengan gengsi-nya karena hadirnya para penulis besar dunia. Sabang juga mampu menyandingkan dengan gelaran diving tahunan di Rubiah atau Iboih, dengan mengundang para penyuka olah raga bawah air dunia, seperti halnya Sail Bunaken, kenapa tidak. Ini gagasan “seru” dan brilian.
Segitiga PDB; Strategic-entrepreneurial vs birokratis
Kaku dan tidak peka, dua kata yang mewakili gambaran laku birokrasi kita. Orientasi pada prosedur dan aturan baku menyebabkan daerah kehilangan kepekaannya terhadap kebutuhan pelanggan-nya.
Dibutuhkan pendekatan pragmatis, peka peluang dan peka perubahan secara makro, untuk memposisikan Sabang dengan segala potensi sumber dayanya. Tidak hanya menjual sisi strategis Sabang sebagai Free trade zone, unsich. Tapi sisi lain semisal westest tick point of Indonesia, historis Sabang merupakan bahan “jualan” yang menawarkan sisi beda dari yang lain.
Strategi entrepeneurial, merupakan pilihan terbaik. Terutama dalam merencanakan mau jadi seperti apa Sabang ke depan, dengan melengkapi potensi sumber daya, dengan visi dan rencana jangka panjang. Menghidupkan lagi “denyut nadi dan nafas” budaya entrepeneurial ke--semua lini SDM yang pernah “terkubur” gegap gempita freeport diera 80-an.
Dan lebih spesifik lagi, Pemda Sabang harus melakukan perumusan “strategi pemasaran daerah” yang solid (Strategic Place Triangle). Hermawan Kertajaya dkk, biasa menyebutnya dengan Segitiga PDB Daerah; positioning, differensiasi dan brand. Sabang harus membangun positioning, membangun posisi berbeda di benak “pelanggan”. Lalu melakukan differensiasi, membedakan diri dengan pemberian value proposition yang unik dan menjadi pembeda dari para pesaing. Dan terakhir sebagai sebuah “perusahaan kecil” dalam sebuah dunia global, Sabang harus membangun brand (merek), untuk membangun awwareness dan menciptakan loyalitas merek. Terserah apakah mau menyebut diri sebagai; Sabang New Gateway, Sabang Tick Point Archipelago, Sabang Westest Point Indonesia, merek dan sebutan yang tepat akan membangun image orang untuk “terkenang”. Sabang sebagai homeland for all. Kapan? tergantung seberapa serius kita berusaha meraihnya. Mungkin dengan Sabang Vision 2015, atau 2020, why not!. [hans].
perubahan mindset,adalah pijakan awal untuk melangkah, bahkan melompat jauh, menjadi Sabang yang berbeda.
BalasHapussaleum