Sun, Aug 23rd 2009, 09:00
Budaya Meugadee
Oleh Dr. Agussabti
Megadee dalam bahasa Aceh hampir sepadan dengan istilah “mengemis” dalam bahasa Indonesia. Dahulu orang megadee lebih melekat pada kaum miskin yang cacat atau perempuan janda yang tidak mepunyai penghasilan untuk mencukupi kehidupannya sehari-hari. Namun anehnya sekarang, budaya megadee sekarang sudah menular kepada kelompok elit masyarakat. Pertanyaannya jika semua orang sudah dihinggapi mental megadee, siapa yang menjadi pemberi?
Kebanyakan, orang mengadee itu bukan hanya karena miskin, tapi juga karena mental. Fenomena ini terungkap ketika kami melakukan penelitian di satu desa. Ada dua keluarga di desa tersebut tergolong fakir miskin. Keluarga pertama adalah keluarga lengkap tetapi anaknya banyak. Mereka setiap hari bekerja keras ke sawah, ladang atau ke sungai untuk mencari menutupi kebutuhan keluarga, tapi penghasilan yang diperoleh selalu tidak mencukupi. Karena itu, keluarga ini sering meminta-minta pada tetangga atau pada siapa saja di kampung yang mau memberikan sesuatu padanya. Kadang dia tidak datang sendiri, tapi menyuruh anaknya untuk meminta garam, cabe, atau apalah lainnya untuk menutupi kebutuhannya.
Keluarga kedua adalah keluarga yang tidak lengkap. Sang suami sudah meninggal setelah anak ketiganya lahir. Janda ini setiap hari ke sawah dengan mengendong anaknya yang masih kecil dan dibantu oleh dua abangnya yang sudah agak besar. Di celah-celah waktu luang, dia bersama anaknya yang agak besar menggarap lahan di sekitar rumahnya menanam sayuran, tapi kerap kali kebutuhannya lebih besar dari pendapatannya. Namun keluarga ini tidak pernah meminta sesuatu pada orang lain, kecuali kalau ada orang bersedekah secara ikhlas untuk anak yatim yang dipeliharanya. Gambaran fenomena ini sebenarnya juga dialami oleh keluarga lainnya. Namun hal yang mau dipaparkan di sini adalah berkaitan dengan mental mengadee. Ternyata tidak semua orang miskin mau menggadee. Sepertinya, mental mengadee ini muncul pada tipe orang yang mau enaknya tapi tidak mau bekerja keras.
Bagi orang Aceh, megadee itu dulunya termasuk pekerjaan yang anggap memalukan sehingga hanya orang yang dalam keadaan terpaksa megadee. Namun sekarang budaya megadee tidak hanya melanda kaum fakir miskin, tetapi mental ini sudah mewabah ke kelompok masyarakat mmapu yang tidak pantas megadee, seperti megadee proyek, megadee jabatan, dan megadee apalah lainnya yang menghilangkan marwahnya sendiri.
Wabah Megadee
Sebenarnya bukan sepenuhnya salah masyarakat dalam mewabahnya metal megadee ini. Pemerintah ikut ambil bagian yang mendidik masyarakat untuk megadee. Sebelumnya, rakyat Aceh bisa menyumbangkan pesawat kepada pemerintah RI. Tapi tanpa sadar, lewat pola paternalistic, yakni membangun sesuatu yang sebenarnya bisa dilakukan sendiri oleh masyarakat, pemerintah telah menina bobokkan masyarakat dengan berbagai program bantuan dan subsidi yang lama-kelamaan membuat mental ketergantungan masyarakat semakin tinggi kepada pemerintah.
Program bantuan di bidang pertanian, peternakan, perikanan, koperasi, industri kecil, hampir seluruhnya tidak mendidik masyarakat untuk mandiri. Seperti bidang pertanian, pemerintah selalu membantu bibit, pupuk, atau modal usaha atau lainnya yang sebagian besar terfokus pada on-farm (budidaya tanaman). Namun pada saat produksinya melimpah, pemerintah lepas tangan sehingga harga anjlok dan petani rugi. Selain itu, bantuan tadi selalu dikaitkan dengan pinjaman, tetapi kalau akhirnya tidak dibayar juga tidak apa-apa, akan ada pemutihan dari pemerintah sendiri. Inilah yang membuat petani tidak mau mengembalikan pinjaman dan akhirnya mucul budaya mengadee.
Padahal yang dibutuhkan petani bukan bantuan itu, tapi bagaimana harga produk pertanian bisa terjamin. Ini yang harus dilakukan pemerintah, karena tidak bisa dilakukan oleh petani. Pemerintah, lewat organisasi petani, harus mampu membangun networking marketing dan teknologi yang bisa menjamin pemasaran setiap produk pertanian petani. Ketika krisis ekonomi 1997, harga nilam meningkat dari Rp 30 ribu/kg menjadi 1 juta lebih/kg, hampir semua petani menanam dan mengolahnya sendiri tanpa dorongan pemerintah atau penyuluhan pertanian. Ini membuktikan bahwa pemerintah selama ini salah kaprah dalam membangun petani, yang dibutuhkan petani bukan hanya on-farmnya, tapi yang lebih penting adalah pengolahan dan pasar (off-farmnya). Karena kesalahan pola pembangunan itulah menyebabkan munculnya mental mengadee pada pemerintah.
Di Aceh, budaya megadee makin mewabah lagi pascabencana menyusul melimpahnya bantuan yang masuk. Banyaknya proyek infrastruktur dan tidak dibangunnya sektor ekonomi real, dipredikasi akan menjadi bumerang dari budaya megadee setelah semua proyek BRR dan NGO berakhir. Effek negatif yang ditimbulkan oleh budaya megadee adalah hilangnya kreatifitas berfikir dan berusaha. Karena megadee ini akan terasa enak bagi sebagian orang yang telah kehilangan rasa malunya, kerja tidak susah tapi uang dapat. Budaya inilah yang sedang melanda sebagian besar rakyat negeri ini. Berita Serambi Indonesia tentang pemukulan seorang Kepala Dinas oleh kontraktor akibat tidak kebagian proyek adalah gambaran sudah begitu mewabahnya budaya mengadee proyek.
Mengubah budaya megadee gampang. Kuncinya membangun masyarakat, pegawai negeri, kontraktor atau pejabat untuk bekerja keras, disiplin, dan patuh pada aturan. Pemerintah yang memiliki banyak staff, seharusnya jangan menumpuk di kantor saja. Lebih bagus dikerahkan ke lapangan untuk membantu memecahkan persoalan real yang dihadapi masyarakat. Mereka diberi insentif berdasarkan program kerja mandiri bersama masyarakat, bukan berdasarkan proyek. Tentu perlu pengembangan kapasistas staf pemerintah dan masyarakat lewat berbagai pendidikan dan pelatihan.
Pemerintah jangan terlalu banyak intervensi dalam pembangunan, tapi yang penting bagaimana bisa menyediakan berbagai fasilitas yang membuat masyarakat bisa bekerja kreatif dan mandiri. Langkah awal yang harus dilakukan pemerintah adalah menfasilitasi terbangunnya networking organisasi sehingga menjadi wadah yang mempunyai bargaining posisi dalam menentukan harga dan kebijakan. Kalau organisasi masyarakat dan swasta sudah mandiri maka budaya mengadee ini akan berubah menjadi energi baru masyarakat untuk berpikir kreatif dan berusaha secara mandiri. Kita berdosa pada arwah pejuang bangsa ini kalau akhirnya sebagian kita menjadi penggadee.
* PENULIS adalah dosen pada Fakultas Pertanian Unsyiah dan Foreign Visiting Research di Nagoya University, Jepan.
Kebanyakan, orang mengadee itu bukan hanya karena miskin, tapi juga karena mental. Fenomena ini terungkap ketika kami melakukan penelitian di satu desa. Ada dua keluarga di desa tersebut tergolong fakir miskin. Keluarga pertama adalah keluarga lengkap tetapi anaknya banyak. Mereka setiap hari bekerja keras ke sawah, ladang atau ke sungai untuk mencari menutupi kebutuhan keluarga, tapi penghasilan yang diperoleh selalu tidak mencukupi. Karena itu, keluarga ini sering meminta-minta pada tetangga atau pada siapa saja di kampung yang mau memberikan sesuatu padanya. Kadang dia tidak datang sendiri, tapi menyuruh anaknya untuk meminta garam, cabe, atau apalah lainnya untuk menutupi kebutuhannya.
Keluarga kedua adalah keluarga yang tidak lengkap. Sang suami sudah meninggal setelah anak ketiganya lahir. Janda ini setiap hari ke sawah dengan mengendong anaknya yang masih kecil dan dibantu oleh dua abangnya yang sudah agak besar. Di celah-celah waktu luang, dia bersama anaknya yang agak besar menggarap lahan di sekitar rumahnya menanam sayuran, tapi kerap kali kebutuhannya lebih besar dari pendapatannya. Namun keluarga ini tidak pernah meminta sesuatu pada orang lain, kecuali kalau ada orang bersedekah secara ikhlas untuk anak yatim yang dipeliharanya. Gambaran fenomena ini sebenarnya juga dialami oleh keluarga lainnya. Namun hal yang mau dipaparkan di sini adalah berkaitan dengan mental mengadee. Ternyata tidak semua orang miskin mau menggadee. Sepertinya, mental mengadee ini muncul pada tipe orang yang mau enaknya tapi tidak mau bekerja keras.
Bagi orang Aceh, megadee itu dulunya termasuk pekerjaan yang anggap memalukan sehingga hanya orang yang dalam keadaan terpaksa megadee. Namun sekarang budaya megadee tidak hanya melanda kaum fakir miskin, tetapi mental ini sudah mewabah ke kelompok masyarakat mmapu yang tidak pantas megadee, seperti megadee proyek, megadee jabatan, dan megadee apalah lainnya yang menghilangkan marwahnya sendiri.
Wabah Megadee
Sebenarnya bukan sepenuhnya salah masyarakat dalam mewabahnya metal megadee ini. Pemerintah ikut ambil bagian yang mendidik masyarakat untuk megadee. Sebelumnya, rakyat Aceh bisa menyumbangkan pesawat kepada pemerintah RI. Tapi tanpa sadar, lewat pola paternalistic, yakni membangun sesuatu yang sebenarnya bisa dilakukan sendiri oleh masyarakat, pemerintah telah menina bobokkan masyarakat dengan berbagai program bantuan dan subsidi yang lama-kelamaan membuat mental ketergantungan masyarakat semakin tinggi kepada pemerintah.
Program bantuan di bidang pertanian, peternakan, perikanan, koperasi, industri kecil, hampir seluruhnya tidak mendidik masyarakat untuk mandiri. Seperti bidang pertanian, pemerintah selalu membantu bibit, pupuk, atau modal usaha atau lainnya yang sebagian besar terfokus pada on-farm (budidaya tanaman). Namun pada saat produksinya melimpah, pemerintah lepas tangan sehingga harga anjlok dan petani rugi. Selain itu, bantuan tadi selalu dikaitkan dengan pinjaman, tetapi kalau akhirnya tidak dibayar juga tidak apa-apa, akan ada pemutihan dari pemerintah sendiri. Inilah yang membuat petani tidak mau mengembalikan pinjaman dan akhirnya mucul budaya mengadee.
Padahal yang dibutuhkan petani bukan bantuan itu, tapi bagaimana harga produk pertanian bisa terjamin. Ini yang harus dilakukan pemerintah, karena tidak bisa dilakukan oleh petani. Pemerintah, lewat organisasi petani, harus mampu membangun networking marketing dan teknologi yang bisa menjamin pemasaran setiap produk pertanian petani. Ketika krisis ekonomi 1997, harga nilam meningkat dari Rp 30 ribu/kg menjadi 1 juta lebih/kg, hampir semua petani menanam dan mengolahnya sendiri tanpa dorongan pemerintah atau penyuluhan pertanian. Ini membuktikan bahwa pemerintah selama ini salah kaprah dalam membangun petani, yang dibutuhkan petani bukan hanya on-farmnya, tapi yang lebih penting adalah pengolahan dan pasar (off-farmnya). Karena kesalahan pola pembangunan itulah menyebabkan munculnya mental mengadee pada pemerintah.
Di Aceh, budaya megadee makin mewabah lagi pascabencana menyusul melimpahnya bantuan yang masuk. Banyaknya proyek infrastruktur dan tidak dibangunnya sektor ekonomi real, dipredikasi akan menjadi bumerang dari budaya megadee setelah semua proyek BRR dan NGO berakhir. Effek negatif yang ditimbulkan oleh budaya megadee adalah hilangnya kreatifitas berfikir dan berusaha. Karena megadee ini akan terasa enak bagi sebagian orang yang telah kehilangan rasa malunya, kerja tidak susah tapi uang dapat. Budaya inilah yang sedang melanda sebagian besar rakyat negeri ini. Berita Serambi Indonesia tentang pemukulan seorang Kepala Dinas oleh kontraktor akibat tidak kebagian proyek adalah gambaran sudah begitu mewabahnya budaya mengadee proyek.
Mengubah budaya megadee gampang. Kuncinya membangun masyarakat, pegawai negeri, kontraktor atau pejabat untuk bekerja keras, disiplin, dan patuh pada aturan. Pemerintah yang memiliki banyak staff, seharusnya jangan menumpuk di kantor saja. Lebih bagus dikerahkan ke lapangan untuk membantu memecahkan persoalan real yang dihadapi masyarakat. Mereka diberi insentif berdasarkan program kerja mandiri bersama masyarakat, bukan berdasarkan proyek. Tentu perlu pengembangan kapasistas staf pemerintah dan masyarakat lewat berbagai pendidikan dan pelatihan.
Pemerintah jangan terlalu banyak intervensi dalam pembangunan, tapi yang penting bagaimana bisa menyediakan berbagai fasilitas yang membuat masyarakat bisa bekerja kreatif dan mandiri. Langkah awal yang harus dilakukan pemerintah adalah menfasilitasi terbangunnya networking organisasi sehingga menjadi wadah yang mempunyai bargaining posisi dalam menentukan harga dan kebijakan. Kalau organisasi masyarakat dan swasta sudah mandiri maka budaya mengadee ini akan berubah menjadi energi baru masyarakat untuk berpikir kreatif dan berusaha secara mandiri. Kita berdosa pada arwah pejuang bangsa ini kalau akhirnya sebagian kita menjadi penggadee.
* PENULIS adalah dosen pada Fakultas Pertanian Unsyiah dan Foreign Visiting Research di Nagoya University, Jepan.
acehdigest note's:
BalasHapusPerilaku, Tibum, Dinsos, dan ketidakseriusan kita, telah mengantar "mereka" kembali ke jalanan. seperti "penyakit" yang bertambah imun alias kebal.