Sun, Sep 6th 2009, 09:12
Catatan Aceh yang Tercecer
- Tgk Imuem Lueng Bata Ultimatum Habib Abdurrahman Az Zahir
PERANG Aceh dan Belanda ditabuhkan pada tanggal 26 Maret 1873. Saya akan menukil secarik surat Tgk. Imuem Lueng Bata yang dikirim ke Habib Abdurrahman az-Zahir yang pernah menjabat sebagai Perdana Menteri merangkap Menteri Luar Negeri Kerajaan Aceh Darussalam, sebagai ultimatum untuk menghentikan perundingan dengan Belanda di Singapura;
“Saudara lebih baik tidak lama lama tinggal di situ atau membuat janji yang sia-sia karena kami telah bersumpah di atas Al Qur’an bahwa selama nyawa masih di kandung badan atau salah satu dari kami masih hidup maka kami sudah pasti tidak akan bersahabat dengan Belanda” (surat ini dikirim pada bulan Mei 1874).
Surat itu tak banyak diketahui dan tercecer dari catatan sejarah Aceh. Dan Tgk Imuem Lueng Bata, seorang ulama karismatik yang menjadi pemimpin perang Aceh dengan Belanda mengirim surat itu setelah. Menurut sejarah, surat ini sudah mendapat persetujuan dari Panglima Polem, Tuanku Hasyim dan beberapa pemimpin terkemuka lainnya. Tujuan surat tersebut adalah untuk Habib Abdurrahman Az Zahir, Teuku Paya dan Nyak Abbas yang lagi bulak balik Penang, Johor dan Singapura. Mereka yang berdomisili di luar negeri tersebut ditugaskan untuk mencari dukungan diplomatik dari beberapa Negara besar seperti Inggris, Perancis,dan Amerika Serikat. Mereka juga mendapat tugas untuk melakukan hubungan yang intesif dengan pihak Belanda untuk menjajaki perundingan antara Aceh dengan Belanda.
Sikap pemimpin Aceh yang mencabut surat dukungan untuk Habib Abdurrahman Az Zahir dan kawan kawannya sebagai juru runding dari pihak Aceh dengan Belanda di Singapora tidak terlepas karena sikap Jenderal Van Swieten yang menganggap Aceh telah ditaklukinya dengan menguasai Dalam (Istana Sultan) pada bulan Januari 1874. Padahal utusan Jenderal Loudon, Gubernur Hindia Belanda di Jakarta yakni Kapten Roura (Reid: 1969) yang ditemani oleh Teuku Nek Meuraksa telah bertemu juru runding Aceh Habib Abdurrahman dan kawan-kawan di Singapura pada tanggal 20 Juli 1874.
Saat itu, Roura meminta Loudon mengkomunikasikan dengan penguasa perang Aceh Jenderal Van Swieten, tetapi dijawab oleh Van Swieten pada tanggal 23 Juli 1874: Di Kutaraja kita kuat, sangat kuat, dan kita dapat dengan segala kekuatan kita menolak semua yang tidak termasuk ke dalam menyerah tanpa syarat. Dengan berpegang teguh pada ini kita akan dapati dengan sangat cepat mewujudkan akhir dari peperangan, terutama jika kita menolak campur tangan siapapun kecuali campur tangan kepala kepala suku yang popular (ulubalang yang menyerah)
Ituah yang memantik perang Aceh makin membara, selain keangkuhan Belanda juga adanya pengkhianatan yang dilakukan oleh salah seorang warga Arab-Aceh, Habib. Para ulama dan pemimpin di Aceh lebih mengedepankan sikap berjuang melawan Belanda, ketimbang berunding apalagi menyerah kepada Belanda. Harus diakui bahwa inilah sikap awal mengapa rakyat Aceh tidak pernah mau menyerah di bawah pendudukkan Belanda.
Keangkuhan Jenderal Van Swieten ini harus ditebus mahal Belanda dalam sejarah perang kolonialnya di Hidia Belanda (Indonesia) bahkan personil personil terbaiknya korban di Aceh seperti Jenderal Kohler, Jenderal Pel, Jenderal Demmenie. Sekarang masih bisa kita saksikan di Kerkohf dan hampir seluruh wilayah Aceh baik di pesisir maupun di dataran tinggi Gayo dan Alas. Dan ratusan ribu kaum muslimin Aceh baik yang berada di pesisir maupun didataran tinggi Gayo dan Alas syahid dalam perang yang terlama dalam sejarah colonial Belanda di Nusantara.
Sebagai “hadiah” terhadap sikap lunak Habib Abdurrahman, dia pada tanggal 13 Oktober 1878 bersama teman temannya Teuku Muda Baet memilih menyerah kepada Belanda di Kuta Raja. Sebagai imbalannya Gubernur Hindia Belanda (Indonesia) Jenderal Van Lansberge di Batavia (Jakarta) bersedia memberangkatkan Habib Abdurrachman Az Zahir dan pengikutnya ke Jeddah dengan kapal NV Cuaracao. Dia sendiri, menurut para peneliti sejarah, telah mendapat pensiun dari pemerintah Belanda 10.000 dollar per bulan atas jasa “menjual bangsanya” kepada Belanda. Disebutkan bahwa yang mengantarkan Habib ini adalah Mayor Macleod ke Jeddah. Perangai Habib ini kemudian dipelesetkan dari lagu “Faldera Dera” yang sangat terkenal di Hindia Belanda (Indonesia) oleh Macleod menjadi:
//Nun di sana terapung istana Samudra/ Namanya Cuaracao/ Habib yang berani akan dibawa/ ke Mekkah tujuan nyata/ Kini ia berdendang riang Faldera Dera Untuk gubernemen kita/ Banyaknya sekian ribuan dolar sebulan Tidak cerdikkah saya?//
Ada beberapa hikmah dari dua surat dan sikap “lunak” Habib Abdurrahman. Pertama, sebenarnya Belanda punya keinginan kuat untuk mengakhiri perang mereka di Aceh, namun karena Jenderal van Swieten telah menguasai simbol rakyat Aceh yaitu dalam (istana), namun dia abai bahwa simbol rakyat Aceh tidak hanya ada pada istana, namun yang paling penting adalah pada ulama dan pemimpin lainnya di luar istana. Inilah awal kesalahan Belanda di dalam sejarah perang mereka di Aceh. Itu ditunjukkan dari sikap kesatria oleh Tgk. Imuem Lueng Bata ketika menginginkan simbol rakyat Aceh harus dipertahankan, yaitu agama (baca melawan kafir).
Kedua, pola pengkhianatan yang dilakukan oleh Habib Abdurrahman adalah bukti kuat bahwa di dalam sejarah perjuangan rakyat Aceh pengkhianat selalu muncul, tidak mengenal title dan derajat sosial mereka. Ketiga, pelajaran yang paling bermakna dari sikap awal ulama menentang Belanda ini adalah semangat jihat rakyat Aceh tidak pernah padam, walaupun sang penjajah telah mengklaim menguasai simbol-simbol kekuasaan. (bersambung..)
PERANG Aceh dan Belanda ditabuhkan pada tanggal 26 Maret 1873. Saya akan menukil secarik surat Tgk. Imuem Lueng Bata yang dikirim ke Habib Abdurrahman az-Zahir yang pernah menjabat sebagai Perdana Menteri merangkap Menteri Luar Negeri Kerajaan Aceh Darussalam, sebagai ultimatum untuk menghentikan perundingan dengan Belanda di Singapura;
“Saudara lebih baik tidak lama lama tinggal di situ atau membuat janji yang sia-sia karena kami telah bersumpah di atas Al Qur’an bahwa selama nyawa masih di kandung badan atau salah satu dari kami masih hidup maka kami sudah pasti tidak akan bersahabat dengan Belanda” (surat ini dikirim pada bulan Mei 1874).
Surat itu tak banyak diketahui dan tercecer dari catatan sejarah Aceh. Dan Tgk Imuem Lueng Bata, seorang ulama karismatik yang menjadi pemimpin perang Aceh dengan Belanda mengirim surat itu setelah. Menurut sejarah, surat ini sudah mendapat persetujuan dari Panglima Polem, Tuanku Hasyim dan beberapa pemimpin terkemuka lainnya. Tujuan surat tersebut adalah untuk Habib Abdurrahman Az Zahir, Teuku Paya dan Nyak Abbas yang lagi bulak balik Penang, Johor dan Singapura. Mereka yang berdomisili di luar negeri tersebut ditugaskan untuk mencari dukungan diplomatik dari beberapa Negara besar seperti Inggris, Perancis,dan Amerika Serikat. Mereka juga mendapat tugas untuk melakukan hubungan yang intesif dengan pihak Belanda untuk menjajaki perundingan antara Aceh dengan Belanda.
Sikap pemimpin Aceh yang mencabut surat dukungan untuk Habib Abdurrahman Az Zahir dan kawan kawannya sebagai juru runding dari pihak Aceh dengan Belanda di Singapora tidak terlepas karena sikap Jenderal Van Swieten yang menganggap Aceh telah ditaklukinya dengan menguasai Dalam (Istana Sultan) pada bulan Januari 1874. Padahal utusan Jenderal Loudon, Gubernur Hindia Belanda di Jakarta yakni Kapten Roura (Reid: 1969) yang ditemani oleh Teuku Nek Meuraksa telah bertemu juru runding Aceh Habib Abdurrahman dan kawan-kawan di Singapura pada tanggal 20 Juli 1874.
Saat itu, Roura meminta Loudon mengkomunikasikan dengan penguasa perang Aceh Jenderal Van Swieten, tetapi dijawab oleh Van Swieten pada tanggal 23 Juli 1874: Di Kutaraja kita kuat, sangat kuat, dan kita dapat dengan segala kekuatan kita menolak semua yang tidak termasuk ke dalam menyerah tanpa syarat. Dengan berpegang teguh pada ini kita akan dapati dengan sangat cepat mewujudkan akhir dari peperangan, terutama jika kita menolak campur tangan siapapun kecuali campur tangan kepala kepala suku yang popular (ulubalang yang menyerah)
Ituah yang memantik perang Aceh makin membara, selain keangkuhan Belanda juga adanya pengkhianatan yang dilakukan oleh salah seorang warga Arab-Aceh, Habib. Para ulama dan pemimpin di Aceh lebih mengedepankan sikap berjuang melawan Belanda, ketimbang berunding apalagi menyerah kepada Belanda. Harus diakui bahwa inilah sikap awal mengapa rakyat Aceh tidak pernah mau menyerah di bawah pendudukkan Belanda.
Keangkuhan Jenderal Van Swieten ini harus ditebus mahal Belanda dalam sejarah perang kolonialnya di Hidia Belanda (Indonesia) bahkan personil personil terbaiknya korban di Aceh seperti Jenderal Kohler, Jenderal Pel, Jenderal Demmenie. Sekarang masih bisa kita saksikan di Kerkohf dan hampir seluruh wilayah Aceh baik di pesisir maupun di dataran tinggi Gayo dan Alas. Dan ratusan ribu kaum muslimin Aceh baik yang berada di pesisir maupun didataran tinggi Gayo dan Alas syahid dalam perang yang terlama dalam sejarah colonial Belanda di Nusantara.
Sebagai “hadiah” terhadap sikap lunak Habib Abdurrahman, dia pada tanggal 13 Oktober 1878 bersama teman temannya Teuku Muda Baet memilih menyerah kepada Belanda di Kuta Raja. Sebagai imbalannya Gubernur Hindia Belanda (Indonesia) Jenderal Van Lansberge di Batavia (Jakarta) bersedia memberangkatkan Habib Abdurrachman Az Zahir dan pengikutnya ke Jeddah dengan kapal NV Cuaracao. Dia sendiri, menurut para peneliti sejarah, telah mendapat pensiun dari pemerintah Belanda 10.000 dollar per bulan atas jasa “menjual bangsanya” kepada Belanda. Disebutkan bahwa yang mengantarkan Habib ini adalah Mayor Macleod ke Jeddah. Perangai Habib ini kemudian dipelesetkan dari lagu “Faldera Dera” yang sangat terkenal di Hindia Belanda (Indonesia) oleh Macleod menjadi:
//Nun di sana terapung istana Samudra/ Namanya Cuaracao/ Habib yang berani akan dibawa/ ke Mekkah tujuan nyata/ Kini ia berdendang riang Faldera Dera Untuk gubernemen kita/ Banyaknya sekian ribuan dolar sebulan Tidak cerdikkah saya?//
Ada beberapa hikmah dari dua surat dan sikap “lunak” Habib Abdurrahman. Pertama, sebenarnya Belanda punya keinginan kuat untuk mengakhiri perang mereka di Aceh, namun karena Jenderal van Swieten telah menguasai simbol rakyat Aceh yaitu dalam (istana), namun dia abai bahwa simbol rakyat Aceh tidak hanya ada pada istana, namun yang paling penting adalah pada ulama dan pemimpin lainnya di luar istana. Inilah awal kesalahan Belanda di dalam sejarah perang mereka di Aceh. Itu ditunjukkan dari sikap kesatria oleh Tgk. Imuem Lueng Bata ketika menginginkan simbol rakyat Aceh harus dipertahankan, yaitu agama (baca melawan kafir).
Kedua, pola pengkhianatan yang dilakukan oleh Habib Abdurrahman adalah bukti kuat bahwa di dalam sejarah perjuangan rakyat Aceh pengkhianat selalu muncul, tidak mengenal title dan derajat sosial mereka. Ketiga, pelajaran yang paling bermakna dari sikap awal ulama menentang Belanda ini adalah semangat jihat rakyat Aceh tidak pernah padam, walaupun sang penjajah telah mengklaim menguasai simbol-simbol kekuasaan. (bersambung..)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar