Sun, Nov 14th 2010, 08:51
Apresiasi
Anekdote Ceh To’et ;
-CEH To’et alias dari Abdul Kadir telah memperoleh Bintang Budaya Parama Dharma dari Pemerintah Republlik Indonesia. Seniman Didong dari Gayo itu terpilih bersama Budayawan Indonesia yang juga memperoleh bintang yang sama adalah, Rendra, Affandi, Sumanjaya, Sumardjono, Romowangun Widjaya. Berikut ini beberapa anekdote To’et.
Hadiah Ulang Tahun
Penyair Rendra sekali waktu mengundang penyair tradisional To’et ke Jakarta. Ia pun menghubungi Ali Jauhari (pimpinan Ali Jauhari Production di Medan). “Kapan sebaiknya, To’et harus berada di Jakarta,”tanya Ali Jauhari.
‘Kalau bisa secepatnya’ kata Rendra.
Ali Jauhari segera menghubungi penyair tradisional Gayo, Aceh itu yang kebetulan sedang berada di Medan. Dan ketika disampaikan bahwa To’et diundang Rendra ke Jakarta, sang penyair tua itu mengangukkan kepala tanda setuju.
Di atas pesawat To’et bercerita kepada teman yang mengantarnya ke Jakarta, bagaimana ia mula-mula kenal dengan penyair terkenal itu. Di rumah Rendra (ketika itu di Roxy) To’et mendendangkan beberapa puisi. Pembacaan itu direspon oleh Rendra dan anggota teaternya dengan gerak indah. Selesai baca puisi Rendra menghadiahkan beberapa lembar baju dan jaket. Atas hadiah itu To’et sangat bersyukur karena memang ia sangat memerlukan.
Tiba di Jakarta, To’et langsung ke rumah Rendra.
Suatu malam Rendra bersama sejumlah anggota Bengkel Teater Rendra pergi ke rumah Setiawan Djody. To’et ikut serta. Acara di rumah Setiawan Djody malam itu cukup meriah. Pengisi acara satu demi satu tampil memperlihatkan kebolehannya.
Tiba giliran Rendra. “Kalau saya beri hadiah uang, Setiawan Djody sudah punya uang banyak. Kalau saya hadiahkan pertunjukkan Bengkel Teater, memakan waktu 2-3 jam, jadi terlalu panjang. Karena itu saya beri hadiah untuk ulang tahun Setiwan Djody kali ini berupa pengucapan puisi penyair tradisional Gayo, To’et” kata Rendra.
Pertunjukkan To’et berupa mengucapan puisi berbahasa daerah Gayo, diiringi bunyi instrumen akordion tua nampaknya menarik. Gaya To’et yang khas, suara merdu, gerak tubuh yang lentur serta senyum yang mengajak setiap penonton untuk selalu gembira cukup menghibur.
Setiawan Djody dipeluk To’et sambil Menangis.
Setelah puluhan tahun tak bertemu Setiawan Djody, sekali waktu di bulan Februari 2000 penyair To’et berangkat ke rumah kediaman budayawan itu. Begitu bertemu, To’et langsung memeluk Setiawan Djody sambil menangis.
‘Mengapa menangis? Tanya Setiwan Djody. “Apa anak pak To’et ditembak orang di Aceh?”
Pelan-pelan To’et menghapus air mata. To’et rupanya sangat rindu kepada Setiawan Djody yang pernah dulu membantu membelikan alat pendengarnya.
Sambil melihat ke telinga To’et, Setiawan Djody bertanya: ‘Dimana alat pendengar itu. Apa sudah rusak?’ To’et hanya memandang ke wajah Setiawan. Setelah digunakan bahasa isyarat barulah To’et faham lalu dia mengatakan, ‘Alat pendengar itu sudah rusak’.
Mendengar itu Setiawan segera memberitahu agar alat pendengar yang baru untuk To’et segera dibelikan.
Kepada stafnya Setiawan Djody meminta alat pendengar To’et dibelikan pada hari itu juga. Karena besok malam ‘Sanggar To’et’ akan mentas mengisi acara hiburan dalam sebuah pertemuan budaya di rumahnya di Kemanggisan Raya.
Setelah menggunakan alat pendengar yang canggih itu To’et pun tak perlu lagi terlalu memanjangkan rambut untuk menutupi tali-temali yang biasa digunakan sekiranya menggunakan alat pendengar yang sederhana.
To’et taruhan lemon
Suatu hari di sawah ada pertandingan membakar kaki. Orang-orang yang bertanding itu adalah To’et, Tegep dan seorang teman lainnya.
Ketika itu To’et sudah punya dua orang anak, kata isterinya Bani. Pertandingan membakar kaki ini merupakan pekerjaan lelaki-lelaki yang umumnya baru selesai mendapat ilmu dari seorang yang ahli. Lalu dipraktikan ke dalam suatu pertandingan seperti ini.
Api mulai dinyalakan. Kayu bakar pelan-pelan mulai menyala untuk kemudian menimbulkan api yang semakin membesar. Tegep mulai menahan kakinya diatas api yang sedang menyala. Baru beberapa saat Tegap menarik kakinya karena kesakitan. Kakinya mulai dimakan api.
Kini tiba giliran To’et. Ia menahan kakinya di atas api yang menyala. Teman-temannya heran. To’et tak merasa sakit. Kakinya tak begitu besar tetap saja ditahan di atas api yang menyala. Malah air keluar jari-jari kaki To’et. Setelah teman-temannya mengaku kalah To’et barulah menarik kakinya dari nyala api. Seperti telah disepakati bersama yang kalah diwajibkan membeli limon untuk yang menang. Kisah ini diceritakan oleh Bani isteri To’et di Sanggar To’et, Jln Bukit Duri Tanjakan Gang Langgar No: l0, Jakarta.
* Penulis adalah penyair, tinggal di Jakarta
Hadiah Ulang Tahun
Penyair Rendra sekali waktu mengundang penyair tradisional To’et ke Jakarta. Ia pun menghubungi Ali Jauhari (pimpinan Ali Jauhari Production di Medan). “Kapan sebaiknya, To’et harus berada di Jakarta,”tanya Ali Jauhari.
‘Kalau bisa secepatnya’ kata Rendra.
Ali Jauhari segera menghubungi penyair tradisional Gayo, Aceh itu yang kebetulan sedang berada di Medan. Dan ketika disampaikan bahwa To’et diundang Rendra ke Jakarta, sang penyair tua itu mengangukkan kepala tanda setuju.
Di atas pesawat To’et bercerita kepada teman yang mengantarnya ke Jakarta, bagaimana ia mula-mula kenal dengan penyair terkenal itu. Di rumah Rendra (ketika itu di Roxy) To’et mendendangkan beberapa puisi. Pembacaan itu direspon oleh Rendra dan anggota teaternya dengan gerak indah. Selesai baca puisi Rendra menghadiahkan beberapa lembar baju dan jaket. Atas hadiah itu To’et sangat bersyukur karena memang ia sangat memerlukan.
Tiba di Jakarta, To’et langsung ke rumah Rendra.
Suatu malam Rendra bersama sejumlah anggota Bengkel Teater Rendra pergi ke rumah Setiawan Djody. To’et ikut serta. Acara di rumah Setiawan Djody malam itu cukup meriah. Pengisi acara satu demi satu tampil memperlihatkan kebolehannya.
Tiba giliran Rendra. “Kalau saya beri hadiah uang, Setiawan Djody sudah punya uang banyak. Kalau saya hadiahkan pertunjukkan Bengkel Teater, memakan waktu 2-3 jam, jadi terlalu panjang. Karena itu saya beri hadiah untuk ulang tahun Setiwan Djody kali ini berupa pengucapan puisi penyair tradisional Gayo, To’et” kata Rendra.
Pertunjukkan To’et berupa mengucapan puisi berbahasa daerah Gayo, diiringi bunyi instrumen akordion tua nampaknya menarik. Gaya To’et yang khas, suara merdu, gerak tubuh yang lentur serta senyum yang mengajak setiap penonton untuk selalu gembira cukup menghibur.
Setiawan Djody dipeluk To’et sambil Menangis.
Setelah puluhan tahun tak bertemu Setiawan Djody, sekali waktu di bulan Februari 2000 penyair To’et berangkat ke rumah kediaman budayawan itu. Begitu bertemu, To’et langsung memeluk Setiawan Djody sambil menangis.
‘Mengapa menangis? Tanya Setiwan Djody. “Apa anak pak To’et ditembak orang di Aceh?”
Pelan-pelan To’et menghapus air mata. To’et rupanya sangat rindu kepada Setiawan Djody yang pernah dulu membantu membelikan alat pendengarnya.
Sambil melihat ke telinga To’et, Setiawan Djody bertanya: ‘Dimana alat pendengar itu. Apa sudah rusak?’ To’et hanya memandang ke wajah Setiawan. Setelah digunakan bahasa isyarat barulah To’et faham lalu dia mengatakan, ‘Alat pendengar itu sudah rusak’.
Mendengar itu Setiawan segera memberitahu agar alat pendengar yang baru untuk To’et segera dibelikan.
Kepada stafnya Setiawan Djody meminta alat pendengar To’et dibelikan pada hari itu juga. Karena besok malam ‘Sanggar To’et’ akan mentas mengisi acara hiburan dalam sebuah pertemuan budaya di rumahnya di Kemanggisan Raya.
Setelah menggunakan alat pendengar yang canggih itu To’et pun tak perlu lagi terlalu memanjangkan rambut untuk menutupi tali-temali yang biasa digunakan sekiranya menggunakan alat pendengar yang sederhana.
To’et taruhan lemon
Suatu hari di sawah ada pertandingan membakar kaki. Orang-orang yang bertanding itu adalah To’et, Tegep dan seorang teman lainnya.
Ketika itu To’et sudah punya dua orang anak, kata isterinya Bani. Pertandingan membakar kaki ini merupakan pekerjaan lelaki-lelaki yang umumnya baru selesai mendapat ilmu dari seorang yang ahli. Lalu dipraktikan ke dalam suatu pertandingan seperti ini.
Api mulai dinyalakan. Kayu bakar pelan-pelan mulai menyala untuk kemudian menimbulkan api yang semakin membesar. Tegep mulai menahan kakinya diatas api yang sedang menyala. Baru beberapa saat Tegap menarik kakinya karena kesakitan. Kakinya mulai dimakan api.
Kini tiba giliran To’et. Ia menahan kakinya di atas api yang menyala. Teman-temannya heran. To’et tak merasa sakit. Kakinya tak begitu besar tetap saja ditahan di atas api yang menyala. Malah air keluar jari-jari kaki To’et. Setelah teman-temannya mengaku kalah To’et barulah menarik kakinya dari nyala api. Seperti telah disepakati bersama yang kalah diwajibkan membeli limon untuk yang menang. Kisah ini diceritakan oleh Bani isteri To’et di Sanggar To’et, Jln Bukit Duri Tanjakan Gang Langgar No: l0, Jakarta.
* Penulis adalah penyair, tinggal di Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar