hans-aceh digest
2nd winner-resensi buku Plan Aceh
Seperti halnya kopi atau coffee, Sirih atau ranub, bagi ureung Aceh tidak hanya sekedar sebuah suguhan, tapi juga sebuah bentuk “penghormatan” (peumulia jamee), setidaknya itu yang dipahami banyak orang soal ranub. Kesan itu pula yang muncul dalam benak ketika mula sekali saya menikmati sajian ranub-nya Plan Aceh.
Jika analogi kita beranjak pada suguhan sebuah produk kulinari, kita tengah disuguhi satu menu hidangan dengan satu nama, tapi punya dua rasa. (seperti nano-nano yang asam tapi juga manis). Menarik, itu yang pertama muncul soal gagasan. Meskipun realitasnya hanya se-puan ranub, tapi kedalaman arti “pemberian” itu yang lebih besar “muatannya”.
Bahwa apa yang mau disampaikan itu “sejenis“ annual report, yang notabene berat untuk dicerna bagi yang tidak mau serius menikmati hidangan berat. Agaknya kita masih diberi keleluasaan menikmati “rasa” makanan yang hanya “sebuah” tadi. Mau yang ringan, renyah dan gurih dengan karikaturnya, atau yang "penuh serat " dan karbohidrat untuk redaksinya.
Lihat saja di awal pembuka, dimulai dengan kutipan indah wise words-nya Dorothy (meski dengan terjemahan Aceh-nya yang pas-pasan), plus ilustrasi, terasa klop benar dengan visinya Plan yang mengusung pesan, sebuah “dunia dimana semua anak dapat mewujudkan potensinya dalam masyarakat yang menghargai harkat dan martabat manusia secara adil dan merata. Serta mencapai perubahan kualitas hidup anak-anak di negara berkembang, melalui proses menyatukan orang dari berbagai latar belakang budaya untuk membuat hidup mereka lebih bermakna.…betapa indahnya.
Kiranya, visi tadi akan menjadi benang merah dari keseluruhan rangkuman tulisan yang termuat dalam report ini. Untuk secara komprehensif memaknai dan membedah bagaimana visi tadi “diterjemahkan” sebagai sebuah misi mengupayakan meningkatnya kualitas hidup anak-anak melalui proses membangun serta memelihara hubungan demi saling pengertian antara orang-orang dari budaya dan bangsa yang berbeda, pemenuhan kebutuhan dasar, serta peningkatan kemampuan anak dalam ikut berpartisipasi dalam masyarakat, serta mempromosikan hak-hak dan minat anak-anak di seluruh dunia. Selanjutnya bagian per bagian paparan dalam rangka mewujudkan ‘niatan mulia” itu tadi yang akan kita temui dalam sajian “ranub’-nya Plan Aceh.
Di bagian pertama report, yang merupakan adopsi langsung dari versi “asli’-nya, yang berbahasa Inggris, sebagai misal kita disuguhi satu data soal kesehatan dan gizi, dimana 47 rumah sakit besar dan kecil, plus 44 pos kesehatan dan 240 rumah bersalin hancur. Belum lagi 700 orang tenaga medis meninggal, ini merupakan bagian dari kerja besar ditengah derasnya isu kritik yang mewarnai proses rehab rekons Aceh dan Nias. Belum lagi soal perlindungan anak yang menjadi salah satu konsennya Plan, dimana untuk membantu pemulihan anak dari trauma melalui children centers-nya, membutuhkan kerja tak main-main.
Namun sungguh sangat ironis, bahwa temuan persoalan yang membelit dalam organisasi yang mengurus soal anak di lapangan, ternyata masih berkutat pada kurangnya pemahaman tentang hak-hak anak itu sendiri. Sehingga menimbulkan kekuatiran rentannya kemunculan pelanggaran hak-hak. Khususnya bagi anak-anak perempuan di beberapa tenda pengungsi dan huntara pada awalnya. Mereka tidak dilibatkan dalam perancangan tempat tinggal, pembangunan gedung sekolah, penerangan yang cukup di tenda dan lingkungannya, lokasi kamar mandi, bahkan dalam soal sederhana, seperti membangun tempat bermainnya.
Serba paradoks, ini adalah problem besar, yang ada dalam siklus pengelolaan bantuan darurat, dimana pengelolanya sendiri belum “paham diri”. Bagian ini disorot Plan sebagai bagian dari “masukan” membangunnya. Problematikanya sangat sensitif, namun menariknya, gambar karikatur yang dijadikan pilihan Plan dalam laporannya, membantu “bekerja” mereduksi kritikan menjadi “sentuhan” lembut. Karena pada dasarnya dalam diri orang dewasa masih terdapat jiwa kanak-kanak, sehingga ketika sebuah kritikan disampaikan dengan gambar yang pas, sedikit banyak bisa menyentuh hati dan sense of humor-nya.
Disisi lain, Plan juga menemukan sebuah persoalan baru, selama rehab rekon. Dimana orang mulai kehilangan “jati diri”, rasa sensitifitasnya, lebih menakutkan lagi berubahnya pola pikir dan partisipatif mereka ( dari pola kerja ikhlas tanpa imbalan), menjadi kasarnya “matre”. Ini paradigma yang sangat berbahaya. Ketika orang berpikir nafsi – nafsi, serba perhitungan dan tendensi uang jadi “raja”, donor sebagai “tangan perantara” bantuan, seperti dihadapkan pada pilihan memakan “buah simalakama”, dibantu, ibu mati tidak dibantu , bapak mati. Sehingga mau tidak mau, pilihannya harus kerja ekstra keras, mencari cara yang arif dan pendekatan persuasif untuk “menguasai” hati orang banyak. Ini menjadi pekerjaan rumah tambahan buat semua donor, sehingga tidak asal “menggelontorkan” bantuan, karena tekanan deadline laporan?.
Jalan keluar yang dipilih Plan adalah “bermain bagi peran”, melibatkan masyarakat sendiri sebagai pelaksana dan pengelola aktif, sehingga hasilnya lebih efektif. Melalui program terintegrasi dan penguatan hubungan kemasyarakatan melalui mitra lokal, yang lebih paham dirinya sendiri. Sedangkan Plan berusaha lebih fokus memikirkan bantuan kepada masyarakat korban tsunami yang berada dalam keadaan dan kondisi yang luar biasa parah alias emergency.
Hasilnya plan telah membangun sebuah sistem rujukan bagi child helpline (sistem telepon untuk pertolongan anak), telpon bebas pulsa, hotline “129″ — telpon sahabat anak, yang bisa dimanfaatkan 15.000 anak di seluruh Aceh Besar dan Banda Aceh. Dan ECCD (early childhood care and development atau ADITUKA-Asuhan Dini Tumbuh Kembang Anak), di 31 kamp dengan partisipasi lebih dari 2.500 anak. Ditambah dengan promosi program peningkatan kualitas sekolah, SIP (school improvement program), yang melibatkan begitu banyak komponen masyarakat.
Kalau hendak diringkas, melalui “suguhan ranub-nya” Plan memang menyajikan program yang tidak saja berpusat pada anak, termasuk juga isue pemberdayaan ekonomi. Bahkan melalui kerjasama dengan panitia pengarah antar lembaga IASC (inter agency steering committee), memperoleh kesempatan lebih baik untuk kerjasama dengan lembaga lain dan memperkecil terjadinya tumpang tindih dalam pelaksanan kegiatan. Lebih jauh, bahkan membangun kerjasama dalam kelompok kerja untuk lingkungan hidup dan WES (water enviroment and sanitation). Termasuk salah satunya menjajaki kemungkinan kerjasama dengan WWF (World Wide Fund for Nature) untuk memperkuat kesadaran lingkungan, meski terasa jauh dari “wilayah” Plan berpijak.
Untuk kerja besar tersebut Plan juga mengimbanginya dengan pengembangan Project Officer di garis depan dengan pelatihan perencanaan proyek dan program yang SMART, specific, measureable, achievable, realistic dan time bound–spesifik, dapat diukur, dapat dicapai, realistis dan adanya batas waktu tertentu. Untuk mencapai sasaran GBPP (garis besar program Plan) country program outline–hingga Juni 2009.
Akhirnya sebagai sebuah buku “mirip” laporan tahunan, tak pelak kita memang merasakan ada keleluasan jelajah yang meluas, sehingga dalam satu sajian dan dalam satu waktu kita diberi hidangan padat dan mengenyangkan. Sehingga sajian ini, memang harus dinikmati pelan-pelan tak perlu buru-buru, mungkin bisa sambil menikmati secangkir kopi? Dan jangan tanya soal segmen pembaca, karena tak ada batasan bagi siapapun menikmati bacaan ini. Tapi dari muatan materinya, minimal bisa ditebak kira-kira siapa shadow reader-nya, karena soal bahasa laiknya annual report, memang tak pernah ringan. Selama esensinya masih bisa ditangkap dan diterjemahkan sebagai sebuah laporan, yang tentu saja tak bisa memuaskan semua orang, selama itu pula sajian ini masih bisa dinikmati.
Hal lain yang dapat terasa mengganjal adalah sajian karikaturnya, yang terkadang bermanuver lepas dan liar, sehingga beberapa kali dahi kita berkerut. Terlepas dari adanya tendensi atau “tekanan” dari luar buat sang kartunis yang terasa seperti terjebak dengan mainstream aceh, baik syariat Islam atau kurang berhati-hati di beberapa isue sehingga kedodoran dan seperti kehilangan pijakan untuk meletakkan apakah pada tempatnya menertawakan sebuah kondisi miris atau berlebihan dengan realitas (gambar anak-anak dengan gizi buruk). Belum lagi persoalan isue jender yang diserempet, mungkin dengan tak sengaja, padahal jika dimainkan secara maksimal (tak sekedar sebuah kelucuan) karikatur bisa jadi media untuk mengajarkan kesetaraan jender, misalnya menyeimbangkan pola pikir bahwa sudah terlalu banyak urusan yang dikerjakan perempuan dan sudah saatnya pula laki-laki ikut andil dalam pekerjaan yang sebenarnya juga jadi bagian tanggung jawabnya tanpa harus kehilangan “derajat” ke-patriarkian-nya, semisal urusan posyandu, ke balee kegiatan anak, penyuluhan kesehatan anak (bisa bergambar bapak menggendong anak tak melulu harus ibu-ibu), meski secara keseluruhan, ilustrasi sebenarnya juga tak begitu terasa mengganggu, kecuali kita--kritis benar, dan serius--benar, sehingga kita lupa kita tengah "berusaha dan berjuang" menikmati bacaan ini, bahkan dengan segelas kopi yang sudah terlanjur dingin. ©hnf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar