Label

# (2) 100 buku (1) 1001 Cerita membangun Indonesia (1) 2016 (1) 2019 prabowo presiden (1) 2019 tetap jokowi (1) 2020 (1) 2021 (2) 21 tahun (1) 21 wasiat Sultan untu Aceh (2) 49 tahun IAIN Araniry (2) 99 buku (1) a ceh bahan buku (1) Abu Mudi (1) aceh (11) Aceh Barat (2) aceh digest (1) aceh history (2) aceh kode (2) aceh kopi (1) Aceh Singkil (1) aceh tengah (3) Aceh Tourism (2) Adat Aceh (3) agama (25) Air Bersih (2) aisya (1) Alue Naga (1) amazon (1) aminullah (1) anehnya negeriku indonesia (3) anggaran nanggroe aceh (1) anies (1) APBA (6) apresiasi serambi indonesia (1) arsip (1) artikel hanif (74) artikel kompas (1) artikel nabil azra (3) artikel rini (4) Artikel Serambi (9) artikel serambi-tokoh sastra melayu (2) artikel Tanah Rencong (1) artikel trans89.com (1) artikel/opini Modus Aceh (1) arundati roy (1) asia (1) asuransi (2) atlas of places (1) australia (1) Ayam (1) bacaan hari raya (1) bahan buku (106) bahan buku aceh (1) bahan buku kolaborasi (2) bahan buku. (12) bahan tulisan (1) bahana buku (1) bahasa (2) Banda Aceh (1) Bank Aceh syariah (1) Bank syariah Indonesia (1) batu (1) bawaslu (1) bencana alam (7) bendera dan lambang (1) Berbagi (1) berita nabil (1) berita serambi (1) berkeadilan (1) BHR (1) Bie Da Rao Wo Zhong Tian (1) bill gates (2) Bioscoop (1) Bioskop (1) birokrasi (1) birokrasi politik (1) Blogger Competition 2017 (1) Blogger Indonesia (1) BMA 2023 (3) Bola Kaki (1) book (1) BP2A (1) BPBA (1) BSI (1) budaya (83) budaya aceh (12) budaya massa (1) budaya tradisional (2) bukit barisan (1) buku (7) buku covid anak (1) Buku kapolri (1) bulkstore (2) bullying (1) bumi (2) bumi kita (1) bumi lestari (2) bumiku satu (1) Buyakrueng tedong-dong (1) cadabra (1) cerdas (1) cerita (2) cerpen (2) child abuse (1) climate change (3) Connecting Happiness (3) ConnectingHappiness (1) Cormoran Strike (1) Corona (1) corona virus19 (2) covid (1) Covid-19 (1) covid19 (9) CSR (1) cuplikan (1) Cut Nyak Dhien (1) dakwah kreatid (2) Dana Hibah (2) dara baroe (1) Data (1) dayah (4) De Atjehers (1) demam giok (1) Democrazy? (5) demokrasi (10) demokrasi aceh (6) diaspora (1) dinasti politik (3) diplomasi gajah (1) Ditlantas Meupep-pep (1) diva (1) DKPP (1) Don’t Disturb Me Farming (1) DPRA (1) dr jeckyl (1) Drama (1) drive book not cars (2) dua tahun BSI (1) Dusun Podiamat (1) earth hour (2) earth hour 2012 (2) ekonmi islam (1) Ekonomi (52) Ekonomi Aceh (51) ekonomi biru (1) ekonomi Islam (7) ekonomi sirkular (2) ekoomi (1) Ekosistem kopi (1) eksport import (1) Elizabeth Kolbert (1) essay (1) essay keren (1) essay nabil azra (1) falcon (1) fiksi (1) Film (6) Film animasi (1) film china (1) film cina (1) film drama (3) Film jadul (1) film lawas (1) filsafat (2) fir'aun (1) forum warga kota (1) forum warung kopi (2) FOTO ACEH (2) fourth generation university (2) GAIA (1) gajah sumatera (1) gam cantoi (2) gambar (1) ganjar (1) Garis Wallacea (1) garis Weber (1) Gas Terus (1) GasssTerusSemangatKreativitasnya (1) gempa (2) gender (3) generasi manusia (1) germs (1) gibran. jokowi (1) Gillian Rubinstein (1) god (1) goenawan mohamad (1) gramedia (1) groomer (1) grooming (1) gubernur (2) guiness book of record (1) guru (1) guru blusukan (1) guru kreatif (1) guru milenial (1) H. Soeprapto Soeparno (1) hacker cilik (1) Hadih Maja (1) Halodoc (1) Halue Bluek (1) hanibal lechter (1) hanif sofyan (7) hardikda (1) hari Air Sedunia (3) hari bumi (2) Hari gizi (1) hari hoaxs nasional (2) harry potter (1) hasan tiro (1) hastag (1) hemat energi (1) herman (1) Hikayat Aceh (2) hoaks (2) hoax (2) hobbies (1) hoegeng (1) HUDA (1) hukum (3) humboldtian (1) hutan indonesia (5) ibadah (1) ide baru (1) ide buku (2) idelisme (1) ideologi (1) idul fitri 2011 (1) iklan (1) Iklan Bagus (2) indonesia (4) Indonesia city Expo 2011 (1) industri (1) inovasi (1) Inovasi Program (1) intat linto (1) intermezo (5) internet dan anal-anak (1) investasi (2) investasi aceh (1) Iran (1) isatana merdeka (1) Islam (1) islam itu indah (3) Islamic banking (1) ismail bolong (1) Ismail Fahmi Lubis (1) IT (4) jalur Rempah (2) Jalur Rempah Dunia (2) Jalur rempah Nusantara (2) jeff bezzos (1) Jejak Belanda di Aceh (1) jepang (1) jk rowling (2) JNE (5) JNE Banda Aceh (1) JNE33Tahun (1) JNEContentCompetition2024 (1) joanne kathleen rowling (1) jokoei (1) jokowi (1) juara 1 BMA kupasi 2023 (1) juara 1 jurnalis (1) juara 2 BMA kupasi (1) juara 3 BMA kupasi 2023 (1) jurnal blajakarta (1) jurnal walisongo (1) jurnalisme warga (1) kadisdik (1) kaki kuasa (1) kalender masehi (1) kambing hitam (1) kampanye (1) kampus unsyiah (4) kamuflase (1) karakter (1) kasus kanjuruhan (1) kasus sambo (1) kaya (1) KBR (1) kebersihan (1) Kebudayaan Aceh (7) Kebumen (1) kedai kupi (1) kedai-kopi (1) Kedokteran (1) kedokteran Islam (1) kejahatan anak (1) kejahatan seksual anak (1) kekuasaan. (1) kelas menulis SMAN 5 (4) kelautan (4) keluarga berencana (1) Keluarga Ring Of Fire (1) kemenag (1) kemiskinan (2) kemukiman (2) kepemimpinan. (2) kepribadian (1) Kepribadian Muslim (1) kerajaan Aceh (2) kerja keras (1) kesehatan (13) kesehatan anak (4) keuangan (1) keuangan aceh (1) khaled hosseini (1) Khanduri Maulod (1) khutbah jumat (1) king maker (1) kirim naskah (1) Kisah (1) Kisah Islami (1) kite runner (1) KKR (2) KoescPlus (1) koleksi buku bagus (4) koleksi foto (2) Koleksi Kontribusi Buku (1) koleksi tulisanku (2) kolom kompas (1) kolom kompas hanif sofyan (2) kolom tempo (2) kompetensi siswa (1) Komunikasi (1) komunitas-serambi mihrab (1) konsumerisme (1) Kontribusi Hanif Sofyan untuk Buku (3) Kopi (2) kopi aceh (5) kopi gayo (2) kopi gayo.kopi aceh (1) kopi libri (1) Korupsi (7) korupsi di Aceh (4) kota masa depan (1) kota yang hilang (1) KPK (2) KPU (1) kredo (1) kriminal (1) krisis air (2) ku'eh (1) Kuliner Aceh (2) kultum (2) kupasi (1) kurikulum 2013 (1) kwikku (1) Labschool UIN Ar Raniry Banda Aceh (1) lain-lain (1) lalu lintas (1) lambang dab bendera (4) laut (1) Laut Aceh (1) Laut Biru (1) lebaran 2025 (1) legenda (1) Li Zhuo (1) lian hearn (1) Library (1) Library Gift Shop (2) lifestyle (1) limapuluah koto (1) Lin Xian (1) lincah (1) Lingkungan (42) lintho (1) listrik aceh (1) LNR (1) Lomba artikel 2016 (4) Lomba blog 2016 (1) lomba blog unsyiah 2018 (1) Lomba Blogger Unsyiah (2) lomba JNE (1) lomba mneulis asuransi (1) LSM-NGO (3) M nasir Fekon (1) Maek (1) maekfestival (1) magazine (1) makam (1) malcom gladwell (1) manajemen (2) manipulatif (1) manusia (2) marginal (1) Masyarakat Urban. (1) Mauled (1) maulid (2) Maulod (1) Media (1) megawati (1) Melinjo (1) Memberi (1) menhir (1) Menyantuni (1) mesjid baiturahman (2) Meulaboh (1) MH Amiruddin (1) migas (1) mimbar jum'at (1) minangkabau (1) Misbar (1) misi (1) mitigasi bencana (5) molod (1) moral (1) More Than Just A Library (2) motivasi (1) MTSN 4 Labschool UIN Ar Raniry (1) MTSN4 Banda Aceh (1) mukim (2) mulieng (1) museum (2) museum aceh (2) Museum Tsunami Aceh (4) music (1) Music show (1) musik (1) muslim produktif (1) musrenbang (1) Nabi Muhammad (2) naga (1) nagari seribu menhir (1) narkotika (1) naskah asli (3) Naskah Kuno Aceh (2) Negeri rempah terbaik (1) nelayan (1) new normal (1) Nina Fathdini (1) novel (1) Nubuah (1) Nusantara (1) off road (1) olahraga (2) one day one surah (1) opini (5) opini aceh tribun (2) opini analisadaily.com (1) opini bebas (1) Opini di lentera (1) opini hanif (1) opini hanif di serambi indonesia (4) opini hanif sofyan (1) Opini Hanif Sofyan di Kompas.id (1) opini hanif sofyan di steemit (1) opini harian aceh (4) Opini Harian Waspada (1) opini kompasiana (2) opini lintas gayo (11) opini lintas gayo com (1) opini LintasGayo.co (2) opini majalah tanah rencong (1) opini nabil azra (1) opini rini wulandari (1) opini serambi (43) opini serambi indoensia (4) opini serambi indonesia (169) opini siswa (4) opini tabloid lintas gayo (5) opini tempo (1) otsus (1) OYPMK (1) pandemi (1) pandemi covid-19 (9) papua (1) Pariwisata (3) pariwisata aceh (1) parlemen aceh politik aceh (8) pawang (1) PDAM (1) PDIP (1) pelosok negeri (1) Peluang Pasar (1) pemanasan global. green energy (1) pembangunan (29) pembangunan aceh (1) pemerintah (4) pemerintahan (1) pemilu 2014 (5) pemilu pilkada (1) pemilukada (9) Pemilukada Aceh (14) penddikan (2) pendidikan (29) pendidikan Aceh (27) penjahat kambuhan (1) penyair aceh (1) Penyakit kusta (1) Perbankan (3) perbankan islam (3) perdamaian (1) perempuan (8) perempuan Aceh (5) perempuan dan ibu (1) perempuan dan politik (2) perikanan (1) perpustakaan (2) perputakaan (1) personal (2) personal-ekonomi (1) pertanian (2) perusahaan ekspedisi (1) perusahaan logistik (1) perwira tinggi polri (1) pesantren (2) Pesta Demokrasi (1) pidie (1) pileg (1) pileg 2019 (2) pilkada (14) pilpres (2) pilpres 2019 (3) pilpres 2024 (2) PKK Aceh (1) plastik (1) PNS (1) polisi (2) polisi jahat (1) politik (115) politik aceh (160) politik indonesia (3) politik KPK versus korupsi (4) politik nasional (4) politis (1) politisasi (1) politk (5) Polri (1) polri presisi (1) popular (1) poster. (1) prabowo (2) prediktif (1) presiden (1) presiden 2019-2024 (1) PRESISI POLRI (1) produktifitas (1) PROFIL (1) propaganda (1) psikologi (2) psikologi anak (1) psikologi pendidikan (1) psikologis (1) Pulo Aceh (1) PUSA (2) pustaka (1) qanun (1) qanun Anti rentenir (1) Qanun LKS (2) Qu Meng Ru (1) ramadan (1) ramadhan (2) Ramadhan 2011 (4) ramadhan 2012 (2) rawa tripa (1) recycle (1) reduce (1) reformasi birokrasi (1) religius (1) Resensi buku (3) Resensi Buku hanif (2) resensi film (2) resensi hanif (2) residivis (1) resolusi. 2021 (2) responsibility (1) reuse (1) review buku (1) revolusi industri (1) robert galbraith (1) rohingya (1) Romansa (1) romantisme kanak-kanak (1) RPJM Aceh (3) RTRWA (2) ruang kelas (1) rujak u grouh apaloet (1) rumbia aceh (1) sains (1) Samalanga (1) sampah (1) satria mahardika (1) satu guru satu buku (1) satwa liar (1) secangkir kopi (1) sejarah (9) sejarah Aceh (28) sejarah Aceh. (3) sejarah dunia (1) sejarah-bahasa (5) sekda (1) sekolah (1) sekolah terpencil (1) selfie politik (1) Servant Leadership (1) setahun polri presisi (1) setapak perubahan (1) sigit listyo (1) sikoat (1) Sineas Aceh (2) Sinema Aceh (2) sinovac (1) situs (1) snapshot (1) sosial (14) sosiologi (1) sosiopat (1) SOSOK.TOKOH ACEH (3) spesies (1) statistik (1) Stigma (1) Stop Bajak Karya Online (1) sultan iskandar muda (1) sumatera barat (1) sustainable laundry (1) syariat islam (7) TA sakti (1) tahun baru (2) tambang aceh (1) tambang ilegal (1) tanah rencong (1) tantang IB (1) Tata Kelola pemerintahan (4) tata kota (2) TDMRC (1) Tehani Wessely (1) tehnologi (5) televisi (1) Tenaga kerja (2) terbit buku (1) the cucko'scalling (1) Thriller (1) timor leste (1) tips (3) tokoh dunia (1) tokoh kartun serambi (2) tradisi (2) tradisi aceh (2) tradisional (1) transparansi (1) tsunami (9) Tsunami Aceh (9) Tsunami story Teller (2) tuan hide (1) tukang obat (1) tulisan ringan (1) TUmbuh seimbang berkelanjutan bersama BSI (1) TV Aceh (1) tv dan anak-anak (3) uang haram (1) ujaran kebencian (1) ulama aceh (7) UMKM (1) Unsyiah (2) Unsyiah Library (3) Unsyiah Library Fiesta 2017 (3) upeti (1) upeti jin (1) ureung aceh (1) vaksin (2) viral (1) visi (1) Visit Aceh (2) Visit Banda Aceh (7) Visit Banda Aceh 2011 (4) walhi goes to school (1) wali nanggroe (3) walikota 2014 (1) wanita Iran (1) warung kupi (2) wirausaha aceh (1) Wisata Aceh (5) wisata spiritual (2) wisata tematik jalur rempah (1) Yayat Supriyatna (1) youtube (2) YouTube YoYo English Channel (1) YPBB (1) zero waste (2) Zhuang Xiao Man (1)

Kamis, 20 Januari 2011

Ratoh Bukan Saman

Sun, Oct 10th 2010, 08:54

Apresiasi

Ratoh Bukan Saman

SAMA, tari yang diaftarkan ke lembaga UNESCO, sekaligus usulam Wagub Aceh untuk jadi tari “tangan seribu” ini menjadi salah satu warisan dunia yang patut dijaga. Tak lama berselang, di Silang Monas Jakarta Tari Saman kembali digelar  secara kolosal 1.050 remaja putri dari berbagai Siswa di Jakarta ikut memainkannya, tentu bukan sekedar menyedot kekaguman massa, tetapi juga berhasil memecahkan rekor Museum Rekor Indonesia (MURI), Gubernur Aceh Irwandi Yusuf menerima langsung sertifikat MURI tersebut di Gedung Jakarta Theatre, Thamrin, Jakarta Pusat.

Beritapun tersiar kemana-mana, sekaligus tarian ‘tangan seribu’ itu mengangkat prestise pemimpin di provinsi ini. Masyarakat di Pedalaman Aceh-di daerah Gayo terutama Gayo Lues topik ini menjadi pembicaraan dimana-mana, terutama dikalangan masyarakat yang fanatik terhadap tari Saman. Tentu, seperti biasa-ada pro dan kontra. Tari Saman Gayo yang terkenal ke seluruh dunia itu sangat jarang mendapat kesempatan di  momentum-momentum  besar, sehingga emosional primordial terkuah ke permukaan.

Sebagai hiburan Saman memang menarik, terutama para penikmat seni. Beda halnya dengan kelompok yang memahami Saman, dua prestasi itu dipertanyakan. Termasuk para alit kita, pahamkah mereka dengan saman? Pahamkah filosofinya? Atau  hanya sekedar tarian hiburan’ semata. Sehingga para orangtua yang paham halite menjadi miris hatinya jikaSaman dilekatkan sekedar symbol hiburan yang menjadi perempuan sebagai penari.Dulu dalam sejarah Saman Gayo ,tidak diperkenankan perempuan menjadi penarinya. Istilahdi Gayo disebut Sumang alias tidak baik dan tidak sopan, lantaran ritme Saman hanya untuk kaum laki-laki.

Tentu,bukan bermakna orang  Gayo anti penari perempuan. Di Takengon, kesenian didong juga dimainkan oleh kaum perempuan. Namanya Didong Banan. Dan dalam tari guel-biasanya penarinya itu laki-laki, tetapi yang mengendalikan musik Canang adalah perempuan-persis saat prosesi mengarak  pengantin, sepanjang jalan perempuan memainkan musik canang ini (Musik Canang adalah alat musik yang terbuat dari logam berbentuk persis sebuah gamelan. Seperangkat musik canang antara lain Canang, Gong, dan Gegedem yakni  perkusi menyerupai rebana).  Sementara di Gayo Lues sendiri kesenian yang khusus menampilkan perempuan-perempuan muda dan cantik dinamakan tari ‘Bines’.

Di sini,saya tak  membahas Saman dari sisi filosofis, sejarah, dan perjalanannya karena porsi tersebut lebih dikuasai oleh pengamat tari Saman itu sendiri-atau baca tulisan Yusra Habib Abdul Gani berjudul Konsep Jihad Dalam Saman yang dimuat harian ini November silam  dengan mengupas rinci masalah filosofi dan sejarahnya. Saya hanya mengingatkan “aikon” kesenian yang berubah wujud dan cenderung mematikan karakter tari-tari Aceh sejenis Saman lainnya. Semisal Saman berubah menjadi Ratoh-walau diritme gerak yang sama, tetapi kedua tarian itu tetap di jalur yang berbeda.

Bagi dunia, semua tari jenis gerak serentak disebut Saman-dan hal itu dihalalkan oleh orang Aceh. Pada rekor MURI misalnya, sisi yang bisa ditarik benang merahnya terkait penghargaan tersebut barangkali hanya pada penari terbanyak saja, bukan pada Samannya. Tari yang dimainkan itu bernama Ratoh, dan bukan Saman. Tari Ratoh merupakan tarian yang dilakukan tanpa alat musik. Musik tarian ini berasal dari lagu yang dinyanyikan oleh sang penari. Para penari melakukan gerakan bersamaan dan dinamis ini dimainkan tujuh sampai Sembilan penari dengan satu penari melantunkan lagu, dia itu  disebut Syeikh. Kemudian kekayaan ini ditarik menjadi satu saja, yaitu tari Saman.

Seharusnya, setiap bentuk tari-walau mirip-haruslah bernama lain, agar karya yang terlahir lebih beragam. Ketika Tari Saman mendapat MURI misalnya, dan materi yang disaji justru ratoh, bisa dibayangkan perasaan seniman Ratoh yang telah memperjuangkan tari sebut habis-habisan. Ini seperti ucapan Pelantun hikayat Aceh Muda Balia, Manok nyang thoh boh, leumo nyang cok nan (Ayam yang bertelur sapi yang terkenal=mata sapi). Tentu, dalam hal ini, seniman Saman menolak perlakuan itu, lantaran konsep dalam tari Ratoh berbeda jauh dengan Saman.

Di Jakarta dan sebagian Pulau Jawa Tari Ratoh ini sangat terkenal, karena memang ikut dipopulerkan institute Kesenian Jakarta (IKJ), dan kemudian pemahaman publik itulah Saman. Sementara pejuang seni Aceh di Institue Kesenian Jakarta-sejak almarhum Nurdin Daud lalu-tidak melakukan pembelaan apapun sehingga ya dia mengalir sebagai Tari Saman. Sedangkan kesenian Saman Gayo terpaku tak beranjak dari duduknya, hanya menjadi kesenian bersifat lokal. Kini di Jakarta, Tari Ratoh yang disebut Saman ini pun berkembang pesat hingga hampir suluruh Sekolah menengah memainkannya.

Semua itu hanya pemahamana saja. Saya merasa kesenian di Aceh tidak berkembang layaknya budaya Aceh yang tersohor kemana-mana. Salah satu faktor dekadensi ini lantaran Aceh tidak membangun keberagaman keseniannya, semisal keberagaman nama-nama kesenian itu sendiri. Kalau saja  kita mau jujur dengan dunia kesenian, maka  kesenian Aceh memang telah mengalamai kemunduran sejak puluhan tahun lalu tatkala negeri ini dipimpin oleh pemimpin yang cuek terhadap kesenian, yang menempatkan kesenian hanya pada porsi ‘penghibur’ seremonial semata, maka itu awal dari dekadensi budaya-yang akhirnya berdampak pada tatanan kehidupan sosial  kemasyarakatan, dimana rasa curiga, rasa tidak percaya, dan sikap pesimis terus menggayuti.

Sejak lama, Aceh melakukan kesalahan pada kesenian dan produk seni yang dilahirkan. Para perlu,misal, sulit menghidupi keluarga lantaran ada larangan dari para orangtua dulu, tidak boleh melukis wajah. Tapi sekarang disetiap rumah terpampang wajah-wajah sendiri. Begitu juga untuk seni pahat, yang dianggap hanya menghasilkan berhala. Di Negara-negara maju justru patung dibesarkan, karena dia bisa menjadi media komunikasi yang menggambarkan symbol dan watak masyarakat di negara itu. Lalu seni musik, dianggap sebagai seni gereja, sehingga di Aceh seni musik hanya menjadi latar untuk menggiringi tarian. Dan terakhir tidak membolehkan perempuan berkesenian di panggung karena dianggap ‘memamerkan’  aurat, tetapi kemudian masa itu berkembang kesenian panggung yang dimainkan  kaum pria dengan melakoni diri sebagai wanita, persis di ‘Biola Aceh’ yang menjadi Nyak Maneh, atau pada sandiwara Aceh dengan tokoh bernama Cupo Mareuhoi. Mereka laki-laki yang berdandan wanita.

Ekses masa lalu masih terasa sampai sekarang-apalagi Aceh sebagai daerah syariat Islam-kesenian panggung dengan syariat sering terjadi tolak tarik, kecuali hanya untuk kesenian-kesenian islami seperti Dikee, Dalail, Qasidah,  Nasyid, dan lain-lain.  Persoalan pertama muncul dijadwal pelaksanaan, malam atau siang hari. Kalau malam maka akan banyak pertanyaan, sementara siang hari dalam sebuah panggung menjadi kurang menarik, lantaran mengurangi kemegahan panggung.

Tetapi itu menjadi ajang negosiasi yang menarik, karena kasus group Band Nasional Nidji beberapa tahun lalu misalnya, hingga sekarang masih menjadi pertanyaan besar, dimana salahnya? Padahal dalam pementasan Rebecca, semalam sebelum Band Nidji tampil, berjalan aman, Pertanyaannya , dimana kesalahan mendasar yang membuat Nidji kemudian diprotes Ormas Islam itu.

Peristiwa-peristiwa di atas, pastilah akan bernasib sama dengan kekeliruan masa lalu soal karya seni. Aceh pasti akan mengalami kemunduran kesenian yang luar biasa gara-gara terlalu banyak persoalan yang dihadapi seniman dengan karya-karyanya. Sementara-bukan rahasia umum lagi-menjadi seniman di Aceh bukanlah profesi yang strategis, lantaran tidak bisa menghidupi. Dari dulu, profesi seniman ya begitu.

Menjadi seniman memang karena niat, sementara profesi sebenarnya adalah petani atau nelayan, jadi tidak terlalu dipersoalkan secara ekonomi. Kecuali itu,perlu kesadaran agar menjaga kesenian ini.  Karena tak mustahil suatu saat  punah. Lihat saja sanggar-sanggar yang aktif, hidupnya bukan dari berkarya, tetapi bergantung pada sebuah tarian seremonial perkawinan, kalau di Aceh Pesisir dikenal dengan tarian Ranub lampuan, atau Guel di Gayo. Tari-tari begini hidup lantaran ada pesanan acara-acara seremonial perkawinan, sunatan, atau menyambut tamu penting.

Upaya  yang harus dilakukan, setidaknya untuk menghidupi seniman berkarya. Kita mesti menghargai Setidaknya Ratoh sebagai Ratoh dan Saman sebagai Saman.Begitu pula untuk jenis tari yang ada di Aceh, harus disesuaikan dengan nama aslinya, agar semakin hari semakin bertambah jenis kesenian Aceh. Aceh cukup licik, menjadikan Saman sebagai nama untuk semua jenis tari serentak, padahal dia memiliki pencipta, dan biarkan Saman menjadi kesenian yang paling membanggakan hati-turut melibatkan seniman-senimannya sebagai motor perkembangan dari Saman itu sendiri, demikian juga untuk kesenian Aceh lainnya, tetap mengedepankan senimannya. Nama dalam karya sanga penting, sehingga dia perlu dijaga.

* Penulis adalah Inisiator Gayo Art Summit dan Lembaga Budaya Saman

Tidak ada komentar:

Posting Komentar