Oleh. Dr. Hafas Furqani, M.Ec
https://aceh.tribunnews.com/2021/08/02/arah-ekonomi-aceh-pasca-qanun-lks?page=all
Wakil Dekan I FEBI UIN Ar-Raniry Banda Aceh
FEBI UIN Ar-Raniry mengangkat diskusi publik yang menarik dalam Seminar Nasional Islam dan Pembangunan Ekonomi (SN-IPE) ke-3 yang dilaksanakan pada Rabu, 28 Juli 2021. Temanya adalah “Arah Perekonomian Aceh Pasca Implementasi Qanun LKS”.
Seminar tersebut menghadirkan pembicara yang mayoritasnya adalah pengambil kebijakan publik, regulator, dan praktisi lokal dan nasional.
Qanun LKS 2018 membuat terobosan baru dalam lanskap pengembangan ekonomi syariah nasional karena menginginkan seluruh transaksi keuangan masyarakat, pemerintah, dan dunia usaha di Aceh patuh kepada prinsip-prinsip syariah, seperti tidak boleh ada riba, penipuan, perjudian, dan eksploitasi.
Larangan tersebut kemudian disikapi dengan proses konversi lembaga keuangan konvensional (LKK) menjadi lembaga keuangan syariah (LKS). Walaupun, Qanun sendiri meminta proses transisi dilakukan selama 3 (tiga) tahun, yang akan berakhir pada Januari 2022, LKK telah selesai melakukan proses konversi sepanjang tahun 2020.
Proses tersebut berlangsung cepat dan lancar, karena masyarakat Aceh juga rela bersabar mengikuti prosesnya. Kisruh yang belakangan terjadi, lebih karena permasalahan teknis penggabungan tiga bank BUMN Syariah, yaitu BRI Syariah, BNI Syariah, dan Bank Syariah Mandiri menjadi Bank Syariah Indonesia (BSI) dimana seluruh ATM bank-bank tersebut dan teknologi transaksinya disatukan yang menimbulkan permasalahan kecepatan dalam jaringan.
Akan tetapi, permasalahan ATM ini sedikit demi sedikit sudah terurai. Di sisi layanan dan produk perbankan yang dibutuhkan masyarakat Aceh, LKS juga menyediakan fasilitas yang setara dengan LKK.
Pemerintah Pusat sendiri menyikapi Qanun LKS ini dengan baik dan menyesuaikan kebijakan pembayaran transfernya hanya melalui perbankan Syariah. Terbaru, kebijakan Kemensos untuk penyaluran Bansos dan PKH kepada lebih dari 570 ribu keluarga penerima manfaat dilakukan melalui Bank Syariah Indonesia (BSI) (Serambi, 23 Juli 2021).
Dengan perkembangan ini, perekonomian Aceh tidak akan terganggu dan momentum pertumbuhan ekonomi dapat dijaga. Karena itu, diskusi yang lebih progressif melihat bagaimana arah ekonomi Aceh ke depan pascaimplementasi Qanun LKS lebih penting. Ini karena Qanun tidak berbicara mengenai perubahan kelembagaan saja, tetapi ada cita-cita besar model baru lembaga keuangan syariah yang akan dihasilkan untuk mendorong perekonomian Aceh.
Prosektor riil
Qanun LKS menghendaki praktik perbankan syariah di Aceh prokepada sektor ekonomi riil, UMKM, dan sektor produktif dengan mengatur rasio pembiayaan minimal 40% pada tahun 2022 kepada UMKM Aceh (Pasal 14, ayat (4)). Rasio ini lebih tinggi dari yang ditetapkan Bank Indonesia dalam Peraturannya No. 17/12/PBI/2015 sebanyak 20%.
Sangat disadari bahwa sebuah perekonomian yang maju harus ditopang oleh tingkat produktivitas yang tinggi. LKS diminta untuk menyalurkan pembiayaan ke sektor produktif dan tidak melulu di sektor konsumtif yang akan lebih membawa dampak multiplier kepada pertumbuhan ekonomi. Sektor UMKM adalah termasuk sektor produktif yang disasar peningkatan usahanya oleh LKS.
Seiring dengan spirit tersebut, Qanun LKS juga menghendaki praktik perbankan Syariah di Aceh mengutamakan akad berbasis bagi hasil dalam penyaluran pembiayaan seperti menggunakan akad mudharabah atau musyarakah.
Pembiyaan berbasis bagi hasil ini akan mengubah orientasi penyaluran kredit berbasis utang (bay murabahah) kepada model pembiayaan yang berbasis partnership, partisipasi, dan kerja sama. LKS dalam hal ini lebih memperhatikan kebutuhan nasabah, prospek bisnis atau usaha calon nasabah. Qanun LKS menghendaki akad berbasis bagi hasil tersebut harus memenuhi minimal 40% dari total pembiayaan pada tahun 2024 (Pasal 14, ayat (6) dan (7)).
Berorientasi sosial
LKS di Aceh, paradigma bisnisnya bukan profit oriented melulu, tetapi berorientasi sosial dan melaksanakan fungsi distribusi sosial. LKS mempunyai misi untuk membantu kelompok lemah dalam masyarakat, memberdayakan dan maju bersama, bukan mereguk keuntungan dan memperbesar institusi an sich.
Tujuan sosial Ini dilaksanakan bisa dalam bentuk kontribusi langsung kepada masyarakat atau dalam bentuk pembiayaan murah kepada UMKM dan masyarakat luas. Qanun LKS mengamanahkan ini dilakukan bekerja sama dengan Baitul Mal Aceh (BMA) atau lembaga filantropi lainnya melalui integrasi antara zakat, infak, sedekah, dan wakaf (Pasal 16) (Pasal 15, 16 dan 38 ayat (7)).
Dampak kepada perekonomian Aceh akan terlihat dalam bentuk penurunan tingkat kemiskinan dan kesenjangan dalam masyarakat.
Produk local
Ada keunikan praktik LKS di Aceh di mana LKS dapat melakukan pengembangan produk sesuai dengan karakter dan kebutuhan masyarakat Aceh dengan memperhatikan kepatuhan syariah, aspek kehati-hatian, dan analisis kelayakan (Pasal 17, ayat (2) dengan berkonsultasi dengan Dewan Syariah Aceh dan mendapat fatwa persetujuan dari Dewan Syariah Nasional MUI (Pasal 40).
Dengan kata lain, inovasi produk di LKS bukan saja untuk menciptakan produk dan layanan yang setara dengan produk dan layanan konvensional, tetapi lebih dari itu, LKS juga diharapkan melahirkan produk keuangan dan perbankan yang unik yang dikembangkan berdasarkan tradisi lokal. Praktik mawah, gala, atau lainnya memungkinkan untuk diadopsi menjadi produk pembiayaan LKS di Aceh.
Kesyariahan LKS
Untuk memperkuat kepatuhan syariah dan koordinasi LKS serta menjaga agar praktik LKS di Aceh benar-benar syariah, Pemerintah Aceh membentuk Dewan Syariah Aceh di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota (Pasal 46 – 48).
DSA menjadi lembaga baru dalam struktur Pemerintahan Aceh yang memastikan bahwa praktik LKS di Aceh benar-benar sesuai syariah. Tugas ini menjadi penting karena reason d’etre pembentukan LKS adalah untuk memberikan solusi transaksi keuangan yang bebas dari riba dan unsur terlarang lainnya, dan juga karena kita semua menginginkan praktik LKS yang benar-benar komit dengan nilai-nilai syariah.
Pada akhirnya, penting disadari oleh praktisi LKS bahwa sambutan masyarakat Aceh untuk berkonversi dan migrasi ke syariah menunjukkan ekspektasi dan kepercayaan yang tinggi.
Dalam hal ini, yang diharapkan kepada LKS bukan saja menawarkan pelayanan keuangan yang patuh syariah, tetapi juga mampu menggerakkan perekonomian Aceh dan menyelesaikan berbagai persoalan ekonomi yang dihadapi Aceh.
Untuk itu, dengan telah terurainya persoalan teknis konversi dan migrasi sedikit demi sedikit, usaha untuk mewujudkan idealisme Qanun LKS pada tataran yang lebih luas perlu dilakukan.
Produk regulasi yang telah dilahirkan oleh DPRA dan Pemerintah Aceh ini harus bias dimanfaatkan untuk menjadikan Aceh pusat pengembangan ekonomi Syariah nasional.
Pasca Qanun LKS, ekonomi Aceh akan memiliki wajah baru berlandaskan nilai-nilai syariat Islam. Ini sejalan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) yang menyebutkan bahwa orientasi pembangunan di Aceh diarahkan untuk: “meningkatkan produktivitas dan daya saing demi terwujudnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat yang menjunjung tinggi nilai-nilai Islam, keadilan, pemerataan, partisipasi rakyat, dan efisiensi dalam pola pembangunan berkelanjutan” (Pasal 155).
Dimensi lain yang harus segera digarap adalah pengembangan industri halal, jaminan produk halal, wisata syariah, peningkatan kualitas penggunaan dana zakat, infak, sedekah, dan wakaf untuk mengeluarkan Aceh dari lingkaran kemiskinan dan upaya untuk memasukkan konsep ekonomi syariah bagian dari perencanaan kebijakan pembangunan Aceh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar