by hanif
sofyan-opini
8 Februari 2012
8 Februari 2012
Kita tidak menafikan bahwa
pelaksanaan Uji Kompetensi Guru (UKG) yang sedang berlangsung saat ini menjadi
salah satu upaya peningkatan standar profesionalitas dan kompetensi guru. Namun
juga bukan suatu yang tak beralasan jika Sekretaris Jendral Federasi Guru
Seluruh Indonesia (FGSI) Retno Listyarti melancarkan protes atas ketidaksiapan
pemerintah dalam pelaksanan UKG saat ini, yang dinilai masih sarat dengan
kelemahan berdasarkan pantauannya di delapan provinsi. Bahkan para guru siap
mengajukan uji materi Permendikbud Nomor 57 Tahun 2012 Tentang UKG ke Mahkamah
Agung terkait persoalan itu.
Mendorong Kualitas dan Profesionalisme
Upaya yang terus ditempuh
pemerintah dalam peningkatan kompetensi guru patut dipuji, karena guru dituntut
agar seiring jalan dengan pertumbuhan dan perkembangan dunia
pendidikan. Dengan dukungan
Undang-Undang No. 14 tahun 2005, Tentang Guru dan Dosen, dan Peraturan
Pemerintah No.19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan, yang pada dasarnya
merupakan kebijakan pemerintah untuk menata dan memperbaiki mutu guru dan
berbagai persoalan serius berkaitan dengan rendahnya kualitas pada setiap
jenjang dan satuan pendidikan. Hal ini makin menguatkan banyak ekspektasi para
cek gu dan banyak pihak diluar institusi pendidikan untuk meningkatkan
profesionalisme guru dan dosen dalam dunia pendidikan.
Sertifikasi yang telah dilaksanakan hingga hari keempat, Kamis (2/8), dimaksudkan sebagai bentuk pengakuan atas
kelayakan dan kemampuan, fit and propertest
guru dalam menjalankan tugas dan membuktikan kemampuan yang dimilikinya
berdasarkan pekerjaan yang dilakukan. Dengan bahasa lain sebagaimana
dikemukakan Mukhsinuddin, yang juga seorang praktisi pendidikan, Sertifikasi
guru adalah pengakuan atas eksistensi terhadap profesi guru sebagai sebuah
pekerjaan untuk menunjukkan profesionalismenya.(Serambi, 2/8).
Harapan besar dari sertifikasi adalah upaya pemerintah mendorong dan
memberi kesempatan seluas-luasnya kepada para guru untuk pengembangan diri dan
meningkatkan kualitas diri untuk menyesuaikan dengan berbagai perkembangan
perubahan situasi dan kondisi keilmuan terkini. Proses ujian ini diharapkan
akan menyeleksi guru yang berkualitas dan untuk pengembangan dan peningkatan
kualitas dunia pendidikan sehingga mampu bertahan dalam makin kerasnya
persaingan kualitas kompetensi para Cek Gu.
Dalam persepsi yang umum, guru dengan semua perannya diharapkan
mengembangkan pola kehidupan dalam masyarakat intelek dengan berbagai
kompetensi yang mereka punya. Meskipun tidak persis tanggungjawab besar itu
sepenuhnya dibebankan kepada guru, walaupun dalam opini Mukhsinuddin, Sertifikasi Menuju Guru Profesional (serambi, 2/8)
disebutkan, khusus di dunia pendidikan guru adalah para
pemikir yang bertanggungjawab terhadap kondisi dunia pendidikan di negeri ini.
Berkembang dan tidaknya dunia pendidikan tergantung pada peran serta guru dalam
setiap upaya pengembangan yang dilakukan dalam dunia pendidikan. Dengan jaman
yang berubah dan tuntutan yang meningkat hal itu menjadi kerja ekstra para guru
yang tidak bisa diabaikan terutama dengan masih banyaknya kelemahan yang
menghinggapi para cek gu kita hari ini. Yang disadari juga karena kerja yang
monoton seringkali melenakan kualitas dan daya serap guru terhadap berbagai
perkembangan terkini baik terkait dunia pendidikan maupun ilmu dan kompetensi
yang makin sengit diluar sekolah, sebut satu saja, seberapa banyak guru yang dapat memahami
internet hari ini?.
Hal ini terkait dengan munculnya kenyataan, masih gagapnya tehnologi para guru yang tidak dapat disamaratakan di masing-masing provinsi haruslah menjadi perhatian yang penting, disamping secara tehnis ada beberapa kelemahan, baik soal yang tidak disertai jawaban yang lengkap, soal yang tidak jelas. Dan seperti dikemukakan Retno Listyarti dari FGSI, masalah yang paling mendasar ternyata soal-soal yang diujikan tidak valid, sangat tidak pas untuk mengukur kompetensi profesional dan pedagogik guru. Disamping faktor tehnis, karena para guru gagal mengikutinya sesuai jadwal, dan nilai yang mereka peroleh sangat rendah serta mereka harus meninggalkan jam-jam pelajaran, bahkan ada yang berhari-hari mengikuti jalannya proses ujian, karena lokasi yang jauh. Mereka juga menanggung akomodasi dan transportasi. Akhirnya, guru yang selalu dikambinghitamkan, guru dicitrakan jelek, tidak bermutu, tidak kompeten. Padahal, Kemendikbud sendiri tidak kompeten apalagi profesional. Kemendikbud diminta segera menghentikan UKG. Tragedi kegagalan UKG online harus menjadi pelajaran bagi kemendikbud untuk mau mendengarkan masukan berbagai organisasi guru, seperti dilansir di media.(Serambi, 2/8).
Hal ini terkait dengan munculnya kenyataan, masih gagapnya tehnologi para guru yang tidak dapat disamaratakan di masing-masing provinsi haruslah menjadi perhatian yang penting, disamping secara tehnis ada beberapa kelemahan, baik soal yang tidak disertai jawaban yang lengkap, soal yang tidak jelas. Dan seperti dikemukakan Retno Listyarti dari FGSI, masalah yang paling mendasar ternyata soal-soal yang diujikan tidak valid, sangat tidak pas untuk mengukur kompetensi profesional dan pedagogik guru. Disamping faktor tehnis, karena para guru gagal mengikutinya sesuai jadwal, dan nilai yang mereka peroleh sangat rendah serta mereka harus meninggalkan jam-jam pelajaran, bahkan ada yang berhari-hari mengikuti jalannya proses ujian, karena lokasi yang jauh. Mereka juga menanggung akomodasi dan transportasi. Akhirnya, guru yang selalu dikambinghitamkan, guru dicitrakan jelek, tidak bermutu, tidak kompeten. Padahal, Kemendikbud sendiri tidak kompeten apalagi profesional. Kemendikbud diminta segera menghentikan UKG. Tragedi kegagalan UKG online harus menjadi pelajaran bagi kemendikbud untuk mau mendengarkan masukan berbagai organisasi guru, seperti dilansir di media.(Serambi, 2/8).
Berbagai kelemahan itu erat kaitannya dengan nasib 1.020.000 guru yang
sudah tersertifikasi yang proses pelaksanaan uji ulangnya sedang berlangsung.
Karena proses ini menimbulkan kekuatiran yang beragam, sebagaimana dikemukakan
oleh Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI),
Sulistiyo, Jika uji ulang ini ditujukan untuk mendapatkan peta kompetensi guru
secara nasional, PGRI mendukung kebijakan tersebut. Namun Jika disertai ancaman
guru yang tidak lulus bakal dihentikan tunjangan sertifikasinya, itu tidak adil
bagi guru. (Serambi, 2/8).
Blunder Baru
Meskipun Uji ulang ini dimaksudkan
sebagai bagian evaluasi bagi para guru yang telah lulus sertifikasi, namun
harus dilakukan dengan berhati-hati dan bijaksana. Bagi pihak Dirjen Pendidikan
Dasar dan Menengah Kemendiknas, yang baru saja melakukan kajian mutu terhadap
sejumlah guru yang bersertifikasi dan menerima TPP, merasa harus melakukan uji ulang ini, pasalnya dari sekitar 40% guru yang
lulus sertifikasi memiliki nilai dibawah lima. Dan hanya 29,6 persen kompetensi
guru yang naik setelah sertifikasi. Artinya, pemberian tunjangan setelah
sertifikasi hanya berdampak kecil bagi kualifikasi guru (Republika Online, 18/7).
Jika kita terus melakukan kebijakan dan sistem model begini terus tentu akan berimbas buruk bagi pendidikan, Disatu
sisi menunjukkan adanya kelemahan Kemendiknas dalam menerapkan kebijakan, dan disisi lain juga
akan menurunkan kadar kompetensi guru,
karena guru menjadi terlihat buruk padahal bisa jadi karena persoalan tehnis,
semisal gagap tehnologi yang hari ini juga tidak bisa disalahkan sepenuhnya
pada para guru, karena disamping jadwal mengajar yang padat, penguatan
kapasitas yang bersifat tehnis bagi para guru juga masih rendah. Kecuali atas
inisiatif atau kemampuan personal yang bisa memiliki akses terhadap internet
yang membuat mereka melek tehnologi dan memahami dunia online. Bagi daerah luar yang jauh dari jangkauan tehnologi seperi
dikemukakan Retno harus menggunakan waktu mengajarnya untuk proses ujian yang
berada di lokasi yang jauh. Dalam kasus yang berbeda, guru di daerah yang
terpencil yang lebih dibutuhkan pengabdiannya
dibandingkan kompetensinya dalam bidang tertentu bisa tersisih.
Terkait dengan persoalan sertifikasi ini, para guru bahkan siap mengajukan
uji materi ke MA. Kita masih teringat pada Ujian
Nasinal (UN) yang terus menuai polemik. Dan diawal tahun 2004
telah diajukan Permohonan Hak Uji
Material (HUM) terhadap Keputusan Menteri Pendidikan Nomor 153/U/2003
tentang Ujian Akhir Nasional ke Mahkamah Agung (MA) RI. Dan di tahun 2006 warga
masyarakat kembali mengajukan gugatan Perbuatan Melawan Hukum yakni perkara nomor:228/Pdt.G/2006/PN.JKT.PST
dengan mekanisme Citizen Law Suit ke
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat atau dikenal dengan istilah gugatan Actio Popularis yang materinya memuat,
meminta pemerintah untuk membuat kebijakan dalam perlindungan hak-hak dasar
warga negara yang telah dilanggar atau berpotensi menimbulkan pelanggaran HAM
bagi warga negera lainnya. Mekanisme
gugatan kontroversial yang diputuskan kalah pada tanggal 21 Mei 2007 oleh
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta, ini meskipun ditolak setidaknya telah menunjukkan kelalaian
pemerintah dalam pemenuhan hak asasi manusia.
Gugatan serupa juga berpeluang muncul sebagaimana pernyataan Retno
Listyarti dari FGSI yang akan membawa persoalan ke ranah hukum via MA. Hal ini bisa
memunculkan dua hal sekaligus, disatu pihak keinginan pemerintah untuk
melakukan perbaikan mutu guru dengan menetapkan uji kompetensi dan kemudian
melakukan uji ulang dimaksudkan untuk menjangkau realitas efektifitas
kompetensi guru. Dimana ekspektasi awalnya adalah kompetensi guru harus
sebanding dengan kompensasi dan “pengorbanan ekstra” yang dikeluarkan
pemerintah untuk mendorong mutu tadi. Jika tidak berbanding lurus maka perlu kajian ulang terhadap sistem dan
kebijakan yang telah dilakukan.
Namun disisi lain, dengan masih adanya titik lemah yang dilakukan pemerintah dalam pelaksanaan uji ulang ini, baik mekanisme dan pemilihan metode online yang masih diwarnai kelemahan disana sini harus dikaji ulang dan dijelaskan lebih terbuka agar tidak merugikan, bagi mutu dan citra guru dan dunia pendidikan secara umum yang akan mendapat sorotan tajam.
Namun disisi lain, dengan masih adanya titik lemah yang dilakukan pemerintah dalam pelaksanaan uji ulang ini, baik mekanisme dan pemilihan metode online yang masih diwarnai kelemahan disana sini harus dikaji ulang dan dijelaskan lebih terbuka agar tidak merugikan, bagi mutu dan citra guru dan dunia pendidikan secara umum yang akan mendapat sorotan tajam.
Kasus ini meskipun berpeluang menjadi blunder
dalam dunia kependidikan kita, namun juga menjadi ajang evaluasi yang menarik
bagi kedua belah pihak, pemerintah dan dunia pendidikan dalam hal ini para
guru. Karena Uji ulang ini sekaligus
akan menjadi bahan instropeksi untuk tetap menjaga profesionalitas guru dalam
menghadapi berbagai tantangan dunia kependidikan yang pasti terus berubah
mengikuti gerak waktu dan jaman. Karena dimasa depan guru tidak menjadi
satu-satunya orang yang dianggap “paling tahu” terhadap berbagai perkembangan
informasi yang sedang berubah dengan cepat. Guru juga tidak bisa hanya kuatir
kehilangan “tunjangan ekstranya”, tanpa kerja keras untuk mengimbanginya,
meskipun juga harus ada pertimbangan bahwa kemakmuran
guru yang baru dirasakan setelah sekian lama perjuangannya juga harus dimaknai
juga sebagai pengorbanan atas jerih payah kompensasi
lama yang tak memadai. Dan bagi
Pemerintah, pilihan uji ulang online,
meskipun ditujukan untuk mendapatkan hasil tanpa “permainan” dan bersih dari kontaminasi, karena komputer melakukan
penilaian otomatis berdasarkan sistem, harus mempertimbangkan faktor X yang
tidak terdeteksi dilapangan, seperti kapasitas guru yang belum familiar dengan
komputerisasi misalnya.
Harus ada jalan keluar yang dapat diterima semua pihak dalam melihat berbagai
persoalan terkini, sebagai contoh kasus dalam soal UN yang masih penuh
kontroversi misalnya. Sebagaimana dikemukakan S.Hamid Hasan, Guru Besar Universitas
Pendidikan Indonesia, beberapa negara mengembangkan berbagai praktek
peningkatan mutu anak didik dan tenaga pengajar dengan kebijakan yang win-win solution, sebagai misal Amerika
yang menetapkan Undang-uandang yang dinamakan No Child Left Behind (NCLB) yang kemudian diimplementasikan dalam Elementary and Secondary Education Act (ESEA) yang mewajibkan
adanya tes nasional untuk SD,SMP, dan SMA dengan tujuan untuk menjamin agar
peserta didik mendapatkan layanan pendidikan yang berkualitas yang menjadi hak
mereka. Hasil tes itu kemudian menjadi salah satu dasar untuk menentukan
kualitas pelayanan pendidikan suatu sekolah, bukan untuk menentukan kelulusan peserta didik. Suatu
sekolah yang tidak memenuhi standar
pelayanan bermutu diharuskan melakukan berbagai perbaikan sesuai dengan
permasalahan yang ada di sekolah tersebut.
Barangkali untuk kasus sertifikasi inipun akan didapatkan jalan keluar yang
serupa. Karena pengorbanan guru yang tak mendapatkan kompensasi memadai setelah
sekian lama perjuangannya perlu juga dipertimbangkan.
Mendengarkan Suara Guru
Harapan berbagai pihak organisasi
guru agar didengarkan suaranya merupakan masukan bagi pihak kemendiknas agar dalam setiap
pelaksanaan berbagai kebijakan juga mau mendengarkan dengan seksama masukan
dari para praktisi yang bekerja langsung di lapangan. Artinya tentu ada
beberapa kelemahan dilapangan yang tak dapat sepenuhnya terdeteksi langsung
oleh pusat. Dan kemudian melahirkan kebijakan memukul rata daya dukung guru
untuk sebuah sistem baru, sehingga dalam realisasi pelaksaan UKG online
kemudian dilakukan menimbulkan berbagai persoalan tehnis yang mengganggu, tidak
saja pada soal “gagap tekhnologi”, jauhnya lokasi fasilitas “online” yang
tersedia, juga pada kesiapan Panitia Uji Ulang yang dalam prosesnya disinyalir
masih diwarnai kendala tehnis. Retno Listyarti menyebut persoalan UKG Online
yang dipaksakan dan proyek coba-coba ini nyata-nyata merugikan guru dan
disebutnya sebagai Tragedi Kegagalan UKG
Online. (serambi, 2/8).
Dengan tidak bermaksud untuk mencari salah benar, agaknya berbagai fakta
ini haruslah menjadi pembelajaran bagi semua
pihak. Meskipun kita tengah mengejar berbagai target besar MDGS dan Generasi Emas yang dicanangkan
pemerintah saat ini, namun tidak berarti kita seperti terburu-buru dan tak
memperhitungkan berbagai kelemahan yang masih menghinggapinya para guru kita
hari ini. Konon lagi ketika secara tiba-tiba kita masuk dalam dunia “online” dimana
sebagian guru barangkali masih awam,
disaat bersamaan dengan akan dimulainya musim uji kompetensi online, saat itu
juga para guru baru mulai belajar
untuk memahami dunia online. Siapa
sesungguhnya yang harus menjadi tumpahan kesalahan?, barangkali jawabannya ada
pada semua pihak yang terlibat dalam proses dunia pendidikan kita hari ini. @hanif.2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar