Sun, Nov 8th 2009, 09:14
Sepuluh Paloe dalam Tradisi Aceh
Oleh Dr. Hasballah Sa’ad
Suatu catatan mengenai pantang-larang yang harus dihindari oleh kelompok-kelompok strategis dalam masyarakat Aceh (tempo doeloe). Hal itu terdapat Hadi Maja yang menjadi referensi dan rujukan perilaku. Sama seperti di Yunani dikenal dengan sistem kepercayaan adanya para dewa, mulai dewa Zeus (induknya para dewa), Hera (isteri Zeus) dan Hercules (anak kesayangan Zeus dari selirnya) dan sebagainya.Dalam sistem kepercayaan multi dewa itu, kekuasaan dan otoritas tertinggi ada di tangan dewa. Maka berkembanglah berbagai kuil dan temple untuk tempat pemujaan para dewa itu. Tak heran, kalau di Yunani, mudah dujumapai bangunan kuil dewa-dewa yang menuruti kaidah arsitektur multi-pilar dari pahatan batu alam yang kokoh, dan semua kuil yang dibuat untuk pemujaan masing-masing dewa, dibangun diatas puncak bukit yang tinggi yang disebut acropolis
Didalam mitos dan setiap sistem kepercayaan itu secara garis besar memuat dua hal pokok, yakni perintah (hal yang dianjurkan) dan larangan (hal yang harus dicegah atau dihindari). Jika tidak, diyakini akan mendatangkan malapetaka bagi individu dan kelompoknya. Sebagai contoh dalam kebudayaan Aceh dikenal pantangan (larangan) seperti terungkap dalam sebait hadih maja:
Bak ie raya bek ta theuen eumpeh/ Bak ie tireh bek ta theuen bubee/ Bek te meurakan deungen si paleh/ Hareuta habeh, geutanayoe malee (Di air keruh jangan di pasang jerat/ Di air menetes jangan pula memasang bubu/ Jangan suka berkawan dengan si jahat/ Harta mu habis engkau pun malu).
Ada pula ungkapan hadih maja yang mengingatkan kita agar tidak melakukan hal yang jelak dan tidak terpuji, seperti larangan berkata buruk kepada orang lain. Watee ta marit bek leupah leupah/ Peulahra lidah yoh geh binasa/ Kareuna lidah juwah ban rimueng/ Meu nan geu kheuen-kheuen le ureueng tuha (Jangan berlebih jika berkelakar/ Lidah dijaga sebelum terlanjur/ Karena lidah bagaikan harimau liar/ Demikian kata para leluhur).
Ada yang menganjurkan sesuatu perilaku atau sifat kebajikan dan terpuji, seperti ungkapan : //Ta meu kawen nyang sipadan/ Ta meu rakan nyang si kufu/ ( Jika nak kawin carilah yang sepadan/ Jika berkawan carilah yang satara). Anjuran dan larangan (pantang larang) yang dalam istilah Aceh disebut han mee (tidak patut dilakukan) atau anjoran (yang patut dan utama dikerjakan)
Banyak sekali idiom Aceh berkait “pantang-larang”, dan tulisan ini saya memilih sepuluh contoh idioms berupa social early warning system yang jika tidak dihiraukan akan berakibat jelek (pantangan). Ini sebetulnya bermula dari “panishment” (hukuman) yang disebut paleh (jahat) Kata jahat bersifat menghukum dan menghujat, sementara kata paloe dalam pemahaman saya lebih bersifat “kalau tidak diperhatikan maka akan.” Jadi saya menggantikan kata paleh (jahat) itu dengan kata paloe, yang bisa dibaca “potensial bermasalah jika tidak dihindari” agar apa yang diungkapkan menjadi bersifat social early warning system.
Peringatan ini umumnya dialamatkan kepada kelompok-kelompok strategis dalam masyarakat Aceh, seperti raja (penguasa) rakyat, teungku, abu (ulama), partai politik (peureute),pemuda, perempuan, tentara, bupati (biroktat) guru (baik yang kecil maupun yang besar) dan lainnya. Hal dapat disimak dalam hadih maja berikut.
//Paloe raja geru peucaya sibarang gasoe/ Paloe rakyat ji meu upat rata sagoe/ Paloe inong ji teumanyeng oh woe lakoe/ Paloe Abu geu bri restu keu han meu soe-soe/ Paloe peureute ji meu pake sabe keu droe-droe/ Paloe tantra ji teumapa geunap uroe/ Paloe ulama meukat doa syula-syaloe/ Paloe bupati proyek ji bagi keu awak droe/ Paloe teungku barat timu proposal bak jaroe/ Paloe guru meukat bangku jatah ji publoe//
Artinya: //Celaka raja jika suka percaya kanan kiri (tidak selektif)/ Celaka rakyat jika menghujat tiada henti/ Celaka wanita jika suka menyudi laki (menginterogasi suami)/ Celaka Abu gampang restu selalu diberi (kepada siapa saja yang bayar)/ Celaka partai selalu bertikai sama sendiri/ Celaka tentara, jika menampar tiap hari / Celaka ulama jika doa di perjual beli/ Celaka bupati (kepala dinas juga) kepada kolega proyek dibagi/ Celaka teungku, barat dan timur proposal di jari (tangan)/ Celaka guru, setiap bangku (masuk sekolah) harus dibeli//.
Dalam ungkapan tersebut, saya hanya menukilkan sepuluh kelomok stretegis yang hidup dan menjadi referensi masyarakat Aceh, dahulu dan kini. Dan masih banyak lagi paloe-paloe lain yang dapat dikemukan pada kesempatan lain nanti.
Beberapa istilah seperti raja, ulama, abu, teungku, ulama, bupati, inong, rakyat, pemuda dan partai, hendaknya tidak dibaca dalam pengertian yang bersifat leterlijk, (harfiyah) namun dimaksudkan sebagai metafora, lambang atau simbol. Umpamanya raja harus dibaca sebagai penguasa penting, sementara bupati dibaca sebagai aparatur birokrasi yang memiliki otoritas lebih dan sebagainya. Sepuluh paloe sebagai peringatan sosial dini kelihatannya masih relevan dengan apa yang terjadi dalam kehidupan kita sehari-hari dewasa ini, meskipun ungkapan itu sudah diketahui dan diciptakan sejak zaman dahulu, dalam kebudayaan Aceh masa lampau (bersambung.)
* DR HASBALLAH SAAD; pendiri dan Ketua Dewan Pembina The Aceh Cultural Institute (ACI, dosen senior di FKIP Unsyiah, pembina The Hasballah-Habibie Centre Foundations di Banda Aceh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar