by hans-acehdigest
Setiap kali mendengar sebutan “Nagari Seribu Menhir”, langsung mengingatkan kita dengan Nagari Mahat, episentrum dari misteri besar yang menyimpan jejak leluhur Minangkabau era Megalitikum sekitar 1.500–2.500 sebelum Masehi.
Sebaran menhir, batu dakon, lumpang batu, punden berundak-undak, batu tapak, batu jejak ayam, dan balai-balai batu yang diyakini hingga saat ini berfungsi sebagai tanda kubur atau tempat pemujaan, tersimpan di Luak Limo Puluah Koto yang disebut dalam tambo alam Minangkabau, sebagai daerah paling terakhir yang menjadi daerah inti di Minangkabau, sehingga dikenal sebagai Luak Nan Bungsu.
Sebaran geografis wilayah situs menhirnya meliputi Luak Limo Puluah Koto yang saat ini masuk dalam Kecamatan Bukit Barisan, Kabupaten Lima Puluh Kota dan Kotamadya Payakumbuh. Mencakup area seluas lebih kurang 12.206 km2, hingga Koto Tinggi, Padang Ilalang, Koto Gadang, Ronah, Ampang Gadang.
Pemandangannya asri karena berada di area perbukitan dengan 3 anak sungai, yaitu Batang Kincuang, Batang Sugak dan Batang Penawan yang ketiganya masuk ke Batang Mahat sebagai sungai terbesar.
Masyarakat awalnya menganggap situs ini sebagai batu-batu biasa, beberapa mengaitkannya dengan makam atau tempat pemujaan. Karena itu pula, dulu sebelum dilakukan perlindungan oleh Pemerintah, masyarakat bahkan terbiasa memakainya untuk bahan bangunan seperti pondasi rumah. Sehingga banyak situs yang hilang atau berpindah tempat.
Apalagi menhir-menhir tersebut tersebar di banyak lokasi di Nagari Maek, antara lain di Situs Menhir Bawah Parit, Situs Menhir Koto Tinggi, dan Situs Menhir Koto Tuo.
sebaran menhir di situs Maek/kompas.id
Tiga Situs “Nagari Seribu Menhir”
Menurut masyarakat Situs Menhir Bawah Parit adalah situs menhir terbesar di Maek. Luasnya sekitar 1,5 hektare dan di dalamnya ditemukan lebih dari 374 menhir, baik ukuran kecil hingga besar. Dan dari asal muasalnya memang sudah tertata secara rapi dalam bentuk barisan-barisan.
Gugusan batu menhir di Situs Bawah Parit, Jorong Koto Tinggi 2, Nagari Maek, Kecamatan Bukik Barisan. Situs ini berada di perbukitan di pedalaman Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatera Barat. Lokasinya 45 kilometer (km) atau sekitar 1,5 jam via sepeda motor dari pusat Kota Payakumbuh. Sekitar 2 km sebelum situs juga terdapat Batang Maek, salah satu hulu Batang Kampar yang bermuara ke Selat Malaka.
Sedangkan Situs Menhir Koto Tinggi berada di sebelah barat Situs Menhir Bawah Parit. Situs ini luasnya sekitar 1 hektare dan memiliki koleksi 122 menhir.
Terakhir, Situs Menhir Koto Tuo terletak di sebelah timur Situs Menhir Bawah Parit. Ratusan batu tegak membentuk gugusan di lapangan seluas sekitar setengah hektar di tengah kebun karet dan pinang, situs ini hanya memiliki 78 menhir yang berukuran lebih kecil dibandingkan dengan menhir-menhir di situs lainnya.
Keberadaan menhir di tiga titik ini adalah sebuah misteri tersendiri. Misalnya, mengapa Situs Bawah Parit memiliki jumlah lebih banyak dibanding Situs Koto Tinggi atau Koto Tuo. Begitu juga mengapa di situs Koto Tuo lebih banyak ditemukan menhir berukuran kecil.
Jika dikaitkan dengan pemakaman, apakah itu artinya ada perbedaan “kelas” atau kasta diantara situs tersebut, begitu juga jika dikaitkan dengan pemujaan. Semakin tinggi status seseorang maka akan semakin besar ukuran menhir atau batu tegak sebagai penandanya — apakah itu untuk altar pemujaan atau tanda pemakaman.
Jadi ketika menelusuri jejak Nagari Mahat yang dijuluki “Nagari Seribu Menhir”, akan lebih menarik jika kita tidak hanya sekedar mencari tahu bagaimana sejarah terbentuknya Nagari Mahat Kecamatan Bukit Barisan. Atau bagaimana sebaran dan jumlah peninggalan sejarah di Nagari Mahat. Bahkan harus bisa menjawab pertanyaan apa sebenarnya peran dan fungsi menhir di Nagari Mahat bagi masyarakat Mahat pada masa lampau.
Batu-batu tersebut memang begitu spesial, terutama beberapa bentuknya yang penuh misteri, seperti mengapa memiliki bentuk dengan ujung yang tidak runting seperti umumnya menhir, dan mengapa semua menhir menghadap ke arah Gunung Sago?.
Menurut kajian peneliti Maek, selain tanda kubur, menhir juga berfungsi sebagai media untuk menuntun arwah leluhur menuju surga yang konotasinya berupa tempat tinggi seperti halnya pegunungan.
Lalu tentang Gunung Sago, meskipun secara umum kata sago dalam bahasa Minang merujuk kepada biji tumbuhan berwarna merah atau saga,
Indikasi lain, sago itu adalah perluasan atau penyamaan kata dari sarugo atau surga. Jadi, sago pada gunung ini tidak merujuk ke biji tumbuhan, tetapi sarugo. Dari sarugo menjadi sago. Maka itulah mengapa semua menhir selalu dihadapkan ke tempat tinggi atau Gunung Sago.
Penelitian yang terus dilakukan setidaknya harus menelusuri peradaban Minangkabau Purba di Negeri Mahat melalui 3 Zaman, peradaban megalitikum (zaman purba), peradaban candi, dan peradaban Islam.
Ini tentu akan sangat menarik, karena setiap periode bisa saja memiliki cara pandang yang berbeda, begitu juga cara memahami misterinya.
Apakah misteri Negeri Maek ada kaitannya dan bisa dijawab dengan definisi Nagari yang kita pahami sebagai satu kesatuan masyarakat hukum adat yang hidup dalam wilayah kesatuan masyarakat Minangkabau yang mempunyai batasan-batasan alam yang jelas, dibawah pimpinan penghulu, mempunyai aturan-aturan tersendiri serta menjalankan pengurusan berdasarkan musyawarah mufakat.
Nagari juga merupakan kesatuan keluarga yang lebih besar dari suku, nagari biasanya terdiri dari lebih kurang 4 suku, keluarga besar yang setali darah dari beberapa paruik menurut garis keturunan ibu.
Apakah ada kemungkinan yang bisa kita tafsirkan untuk mengungkap rahasia menhir tersebut dari peran suku-suku di Minangkabau. Apa peran batu itu pada awalnya sehingga kemudian menjadi sebuah situs peninggalan yang penuh misteri jejak akar budaya Minangkabau.
uniknya menhir situs maek menghadap ke gunung sago/pasbana.com
Jejak Penelitian yang Tak Pernah Henti
Pada tahun 1950-an, Rudolf P. van Naerssen dan P.J.M. Steinmetz dua arkeolog Belanda yang aktif dalam penelitian megalitik di Indonesia melakukan dokumentasi dan penggalian kecil terhadap menhir dan situs Maek.
Selanjutnya, yang menarik adalah penelitian lanjutan oleh Heinrich Heuken dan Kenneth R. Hitchcock pada tahun 1960-an, antara tahun 1960 hingga 1964, namun fokusnya lebih pada penelitian budaya megalitik di Sumatera Barat, di Situs Maek.
Barangkali karena Heinrich Heuken adalah seorang arkeolog (Belanda), dan Kenneth R. Hitchcock seorang antropolog (Amerika Serikat), sehingga kebudayaan megalitik menjadi fokusnya.
Jika merujuk pada temuan, Van Naerssen dan Steinmetz (1950) pada bidang arkeologi dan Heuken pada budaya megalit, mestinya hasil itulah yang harus ditindaklanjuti kedalam penelitian baru dengan menggunakan teknologi karbon dan tes DNA setelah peneitian-penelitian komprehensif lainnya, untuk memastikan semuanya menjadi jelas misterinya.
Karena penelitian lanjutan oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Sumatera Barat di tahun 1970-an — 1980-an telah mengulik secara intensif tentang ekskavasi di Situs Maek.
Begitu juga penelitian di tahun 1990-an — 2000-an, telah difokuskan pada aspek-aspek seperti kronologi, teknologi megalitikum, dan hubungan dengan situs megalitikum lain di Asia Tenggara. Dan kini, penelitian di Situs Maek terus dilakukan dengan menggunakan metode dan teknologi yang lebih canggih, seperti analisis geofisika, analisis karbon radio, dan studi arkeoastronomi.
Hasilnya penelitiannya juga telah diterbitkan dalam jurnal arkeologi nasional dan internasional, seperti Jurnal Arkeologi Indonesia, Asian Archaeology, dan Bulletin of the Indo-Pacific Prehistory Association.
Termasuk beberapa buku dan monograf tentang arkeologi Sumatera Barat dan Indonesia yang juga membahas Situs Maek, seperti “Arkeologi Sumatera Barat” oleh Machri Noer dan “The Megalithic Cultures of Indonesia” oleh Peter Bellwood.
Dan untuk menjawab rasa penasaran kita, perlu upaya melakukan kajian yang lebih komprehensif dengan melibatkan tim peneliti multidisiplin dari berbagai bidang ilmu, seperti arkeologi, antropologi, geologi, astronomi, dan ilmu pengetahuan material.
Seperti penelitian interdisiplin tentang sistem kepercayaan dan ritual masyarakat megalitikum Maek, analisis struktur bawah tanah di Situs Maek menggunakan metode geofisika, hubungan astronomis antara menhir Maek dan situs megalitikum lain di Asia Tenggara.
Serta studi tentang asal-usul masyarakat megalitikum Maek melalui analisis DNA. Temuan DNA nantinya bisa digunakan untuk tracking asal-usul membuka misteri Situs Maek, karena akan membuat kronologi yang lebih akurat tentang kehadiran manusia di Situs Maek.
Termasuk kemungkinan adanya hubungan dengan Kelompok Austronesia karena penelitian DNA menunjukkan bahwa masyarakat megalitikum Maek memiliki hubungan genetik yang kuat dengan kelompok Austronesia, yang tersebar di berbagai wilayah di Asia Tenggara dan Pasifik.
situs menhir berukir di Maek/suaraindnesis1.id
Misteri Menhir yang Belum Berakhir
Mengapa situs-situs Menhir itu berada pada ketinggian 350 meter dari permukaan laut, dan memilik area sebaran yang luas, serta gugusan batu situs Menhirnya yang beragam, dari seukuran diameter kepala anak-anak hingga sekitar 4 meter, adalah misteri yang masih belum terpecahkan.
Belum lagi variasi bentuknya seperti mata pedang, hulu pedang atau keris, persegi, hingga kepala hewan. Serta bagian paling atas atau ujung menhir berbentuk membengkok dan mengarah ke satu tujuan ke Gunung Sago yang berada di arah tenggara.
Dan seperti temuan prasasti pada makam, menhir-menhir yang terbuat dari batu andesit dan batu konglomerat, sebagiannya berukir. Pola hiasan pada menhir itu erat hubungannya dengan pola hias tradisional Minangkabau. Beberapa pola hias yang ditemukan di menhir antara lain kaluak paku kacang balimbiang dan saik galamai.
Ini barangkali menjadi salah satu jawaban dari banyaknya penelitian yang telah dilakukan yang umumnya merujuk pada jawaban, bahwa situs menhir sebagai penanda makam dan benda pemujaan serta jejak peradaban Minangkabau di era megalit.
Menurut staf teknis Kelompok Kerja Pemeliharaan dan Pemugaran BPCB Sumbar, dari 13 titik yang tersebar di jorong-jorong Nagari Maek, dengan jumlah menhir tiap titik, ada ribuan, datanya diperoleh dari penelitian panjang Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.
Apalagi sejak penggalian pada tahun 1984, 1985, dan 1986 telah ditemukan kerangka di beberapa menhir. Secara umum disimpulkan, menhir di Maek digunakan sebagai tanda kubur. Namun, di tempat lain, ada kemungkinan menhir juga digunakan sebagai tapal batas ataupun monumen peringatan arwah.
Mengapa ini menjadi salah satu kemungkinan jawabannya, karena hingga sekarang ini di Kabupaten Tanah Datar, masih ada semacam tradisi ketika seseorang meninggal, diharuskan mencari batu sebagai tanda kubur, seperti di daerah Saruaso.
Namun jika merujuk pada penelitian dengan menggunakan 3 era, salah satunya era Islam, temuan menhir di Tanah Datar dianggap relatif lebih muda, yang ditandai dengan arah hadapnya yang sudah berubah dan berorientasi utara-selatan, arah kuburan sesuai tradisi penganut agama Islam.
Namun kepastian tersebut tentu harus dibuktikan dengan penelitian, karena bisa jadi setiap era atau periode memang memiliki fungsi yang berbeda dalam memahami keberadaan Menhir tersebut. Bisa jadi setiap periode itu memiliki keterkaitan dalam menggunakan menhir, namun dalam fungsi yang berbeda.
Jika pada era megalitikum, dan di era peradaban candi dikaitkan dengan altar pemujaan, namun di era peradaban Islam lebih pada fungsi Menhir sebagai penanda pemakaman. Sehingga dalam beberapa penelitian di temukan kerangka di sekitar menhir. Namun ini tentu juga masih berbalut misteri, terutama tentang usia kerangka jika kita gunakan tes karbon atau DNA untuk menguaknya.
Penelitian juga harus bisa menjelaskan tentang tempat persebaran tradisi megalitik di sepajang Pulau Sumatera. Apakah didaerah lain juga memiliki temuan yang sama, termasuk pilihan lokasinya di area pegunungan.
Seperti di Nias, Kerinci, Sumatera Selatan, khususnya situs Tinggi Hari yang banyak ditemukan menhir dan tradisi megalitik lainnya. Apakah ini ada kaitan dengan persebaran masyarakat pada setiap era peradaban?.
Jika kita merujuk pada pernyataan para tetua yang telah mengalami salah satu periode untuk bisa melihat misteri situs menhir lebih jernih, menjadi sangat menarik faktanya, terutama tentang temuan kerangka di sekitar menhir yang tidak dalam posisi standar pemakaman seperti sekarang.
Saat dilakukan ekskavasi dan penggalian oleh Puslit Arkenas saat situs masih berupa semak belukar, dan ditumbuhi buah kemunting di tahun 1985 dan 1986, menurut sumber bernama Santiana (52 tahun) , temuan kerangka di bawah menhir, posisinya beragam, antara lain terbelintang, duduk, dan kepala menghadap bawah.
Para arkeolog membuka delapan kotak galian dan menemukan tujuh rangka dalam liang lahat berisi rangka manusia ras mongoloid yang ditanam dalam lubang antara 125 centimeter (cm) hingga 195 cm dari permukaan tanah. Dan Posisi tiap rangka diletakkan dengan satu pola membujur arah barat laut-tenggara dengan kepala berada di barat laut (Lutfi Yondri, 2014).
Fakta lainnya adalah bahwa menurut Kompas (6/11/1986), dari sembilan kotak penggalian di situs menhir Bawah Parit, Ronah, dan Koto Gadang di Maek dan situs menhir Belubus oleh Puslit Arkenas ditemukan delapan rangka manusia utuh.
Dari analisis paleoantropologi, rangka-rangka itu berkelamin pria dan wanita bercirikan Mongoloid dengan unsur ras Austromelanesoid, berumur 20–45 tahun dengan panjang sekitar 160 cm.
Peneliti Haris Sukendar (1985) memperkirakan, usia tradisi penguburan dan rangka di menhir tersebut sekitar 1.500 tahun lalu (before period/BP). Perkiraan itu dengan membandingkan tipologi dengan data etnoarkeologi seperti di Timor Barat, Sumbar, Flores, Sabu, dan Kei.
Lalu peneliti Fadhila Arifin Aziz dan Darwin Alijasa Siregar (1997) memperkirakan, berdasarkan tipologi artefak, menhir di Bawah Parit berasal dari masa 1.500–2.500 sebelum Masehi (SM; before Christ/BC). Kepurbaan manusianya, berdasarkan ciri anatomi, 2.000–3.000 SM. Sementara itu, berdasarkan penanggalan kronometrik radiokarbon, rangka manusianya berusia 2.070–2.130 SM.
Tata cara penguburan, posisi rangka jenazah, seperti posisi kerangka tertelungkup, kebanyakan membujur arah barat laut-tenggara, tangan tidak sedekap, tetapi terlipat ke arah kepala atau menyilang ke bawah perut, menunjukkan periode perubahan dan fungsi menhirnya sekaligus-apakah sebagai tempat pemujaan atau ketika menjadi penanda kubur.
Bahkan para ahli sementara ini bisa menyimpulkan situs menhir Bawah Parit merupakan situs kubur yang mewakili dua periode budaya. Corak budaya yang dicerminkan oleh variabel kubur yang ditemukan di situs tersebut berada pada masa transisi budaya, yaitu dari tradisi penguburan megalitik dan tradisi penguburan Islam.
Terutama dari tinjauan penggunaan lahat sebagai media penguburan jenazah. Sedangkan yang mewakili penanda era megalitik pada orientasi arah peletakan mayat serta penggunaan menhir sebagai tanda kubur yang mengacu ke arah tenggara.
Sehingga kesimpulan sementara kemungkinannyua bahwa yang dikuburkan di situs menhir Bawah Parit adalah masyarakat megalitik yang terdesak oleh masuknya budaya Islam ke wilayah Minangkabau pada masa lampau.
Dan ini sekaligus sebagai kemungkinan bukti shahih akar budaya Minang sudah ada sejak zaman megalitik seperti yang kita saksikan dari peninggalan situs di Limapuluh Kota.
Bukti yang mendukung asumsi itu adalah terdapatnya situs di tepi aliran muara Batang Maek di daerah Pangkalan. Dan penyebutan menhir-menhir di situs Bawah Parit dengan istilah ”batu mejan”.
Batu mejan merupakan sebutan lain dari batu nisan di Sumbar, yaitu batu yang didirikan sebagai penanda dari satu proses penguburan. Benar atau tidaknya tentu butuh penelitian yang lebih mendalam.
situs Maek yang tersebar di nagari seribu menhir/winnymarlina
Sebagai Wisata dan Kekayaan Budaya Berupa Benda
Sebagai bentuk penjagaan situs warisan sejarah yang mewakili akar sejarah peradaban Minangkabau era purba-megalit, Pemerintah harus sangat berhati-hati saat mendorongnya menjadi destinasi wisata.
Disatu sisi memberikan bukti dan pemahaman tentang sejarah Minangkabau yang luar biasa, namun pengalaman dan pembelajaran seperti saat sebelum di lakukan ekskavasi, kerusakan, penghilangan situs Menhir patut menjadi catatan kita.
Akan lebih baik jika Pemerintah berinisiatif mendaftarkan situs Maek menjadi salah satu situs Kebudayaan Berupa Benda agar kepastian pemeliharaan dan kelestariannya bisa terus terjaga. Semoga “Nagari Seribu Menhir” tetap lestari dan terjaga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar