by hanif sofyan-acehdigest
seorang teman berkelakar saat sesi jeda di selasar ruang banggar di gedung dewan. awalnya aku menanggapinya sebagai sebuah lelucon satir belaka. Tapi ternyata ini sebuah analogi menarik, dalam sebuah realitas yang hingga saat tulisan ini dituangkan idenya belum terbukti benar, terutama karena prosesi seleksi rekruitmen sebuah jabatan yang konon katanya politis ini belum selesai tahapannya, dan berikutnya pemahaman kita tentang intat linto mungkin sebatas ritual dalam prosesi walimah unsich.Ternyata lelucon satir ini "dalam" maknanya. Ketika sebuah hajatan walimah atau prosesi rekruitmen sebuah jabatan politis digelar, maka linto dan dara baroe sesungguhnya hanya tinggal menuju pelaminan. dan sebagai pelengkap penderita pastilah kedua orang tua dari kedua belah pihak juga "diikutkan", karena dalam prosesi ini dibutuhkan tujuh orang, maka Linto yang akan kita antar anggap saja adalah para incumbent terpilih.
Dan pelengkapnya adalah figur pilihan politis para politikus yang berafiliasi, berkongkownisasi, dan ber-nepotisme untuk menjadikan mereka sebagai-apa persisnya sebutan yang memadai mewakili keberadaannya. Apakah kaki tangan, apakah mata ketiga, atau pendukung politik untuk memastikan agar kedudukan dan popularitas kelompok atau partainya dianggap sebagai yang terkuat dan pemenang karena memiliki kuasa untuk mendudukan orang pada tampatnya secara mudah dibanding siapapun.
Istilah satir intat linto ternyata dipahami sedemikian dalam, bahkan jika linto dan keluarga telah tersedia mungkin keberuntungan masih tersisa, bagi si pemegang payung yang mengantar linto hingga ke pintu pelaminan sebelum didudukkan dengan dara baro. Siapa yang beruntung itu, barangkali bisa karena pertimbangan kedekatan personal, emosional, politis dan barangkali jika masih waras tulen adalah pertimbangan intelektual.
Tapi prasangka ini juga tak sepenuhnya bisa benar. Karena selain kedekatan politis, kecerdasan atau intelektual dalam kadar yang cukup juga dibutuhkan untuk melengkapi segala kekurangan atas sesuatu yang dipaksakan secara politis belaka.
Atau jika para "event organizer" memang benar-benar cerdas dan pintar, mereka akan memilih rekan kaki kuasa mereka yang baru yang benar-benar right man on the right place, kenapa tidak?.
Setidaknya waktu yang akan membuktikan apakah semua kamuflase itu benar atau hanya sebuah prasangka tak berdasar semata.
Jadi kita tunggu siapa linto-dara baronya, keluarga pendamping dan tentu saja, pembawa payung yang beruntung itu.
Dan jika nanti semuanya benar, maka kita semua ternyata hanya teman pengantar belaka, yang berkorban waktu, tenaga, mungkin dana, untuk orang yang jelas bukan siapa-siapa kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar