oleh hanif sofyan-acehdigest
https://aceh.tribunnews.com/2022/03/30/smu-menghasilkan-kompetensi-apa?page=all
dreamer.id
Semua orang intens membicarakan Kurikulum Merdeka atau Kurikulum Prototipe, untuk penguatan nalar dan kompetensi.
Saya jadi ingat ketika pertama kali sekolah menolak Aisya, putri saya, ketika hendak masuk Sekolah Dasar (SD, karena usianya kurang dua bulan agar genap usia enam tahun.
Enam tahun usia prasyarat masuk SD.Akhirnya ia bersekolah di TK selama 3 tahun.Semua karena satu alasan, belum berusia “matang nalar” untuk masuk SD.Sekalipun kemampuan baca-tulisnya mahir.
Matang nalar, ini sebuah fakta menarik! Aneh bin ajaib, saya tidak menemukan keseriusan yang sama ketika seleksi di Sekolah Menengah Pertama (SMP), hingga Sekolah Menengah Umum (SMU).
Apakah Bukankah ini fakta aneh dan luar biasa? Lantas apa sebenarnya “matang nalar” itu, apakah sekedar tentang kompetensi-daya saing, bagaimana sistem pembelajaran di sekolah membentuknya, apakah Kurikulum Merdeka ditujukan sebagai kurikulum berbasis kompetensi? emang kurikulum berbasis kompetensi itu tidak ada dan tidak pernah ada, seperti pemikiran J.I.G.M Drost, SJ, seorang pakar pendidikan Indonesia.
Kurikulum sebagai alat dalam proses pembelajaran tidak dapat mempunyai basis, dasar.Yang ada ialah kurikulum yang bertujuan kompetensi, yang harus memungkinkan untuk meluluskan para peserta didik yang memang kompeten.Berbeda dengan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yang sudah jelas tujuannya.
Kesalahan akut pendidikan Tantangan Sejak era Kurikulum Bertujuan Kompetensi (KBK), hingga Kurikulum 2013 (K-13), persoalan mendasar hasil lulusan kita adalah kemampuan daya saing.Kompetensi lulusan perguruan tinggi kita sebagai output SMU sejak era KBK diragukan oleh bursa kerja.
Mengapa? Apa substansi masalahnya? Ada kesalahan seperti efek domino yang bergerak simultan sejak jenjang SD, hingga SMU.Imbasnya pada output yang tidak link and match dengan kemampuan menghadapi masa depan dan kebutuhan bursa kerja.
Dalam kondisi penuh masalah, kita kehilangan orientasi mengantarkan para lulusan SMU pada arah kompetensi yang jelas.Seperti apa wujud kompetensi mereka kelak, ketika melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi.
Padahal yang harus disiapkan adalah generasi yang siap menghadapi bukan suatu kejutan, melainkan suatu perubahan nalar.Dalam dunia kerja, semua pakar bekerja secara simbiosis mutualis.
Seorang manajer tidak bisa membangun dunia usaha, karena ia seorang teknisi.Para entrepreneur-lah para pembangun dunia usaha.Terlepas siapapun entrepreneur itu, apakah seorang berstatus teknokrat, ekonom, birokrat, tapi ia seorang entrepeneur.
Selain untuk profesionalisme yang khusus, seperti halnya dokter, tidak lagi ada masalah soal keahlian yang linier, tapi tentang kecakapan.
Pertarungan tentang kemampuan, masalah linier bidang pendidikan menjadi salah satu sebab tidak sinergis- nya dunia pendidikan dan bursa kerja.Sejak lama, ada ketakutan kita yang besar terhadap revolusi teknologi dan industri yang makin menggila.Padahal semuanya hanya alat untuk mempermudah kerjakerja kita.
Teknologi itu netral.
Yang lebih menakutkan adalah mental takut dan ketergantungan pada teknologi. Baca juga: Unimal Terapkan Kurikulum Merdeka, Mahasiswa Bebas Belajar di Luar Kampus, Begini Proses Kuliahnya
Apalagi jika ada asumsi, hanya penguasa teknologi yang dibutuhkan di bursa kerja dan sukses dalam dunia penuh disrupsi teknologi 4.0.Kurikulum merdeka nalar Kurikulum Merdeka diharapkan bisa membantu penguatan nalar peserta didik sejak di SMU hingga perguruan tinggi menjadi lebih dewasa.
Apabila tujuan dari pendidikan di perguruan tinggi pada akhirnya agar lulusannya siap menghadapi kondisi apa pun di masa depan, maka optimalisasinya adalah pemanfaatan kesempatan belajar.
Meskipun tidak semua orang bisa menjadi ahli, tapi mutlak perlu semua menjadi dewasa.Sejak dari rumah, hingga sekolah sebagai “rumah kedua”, lingkungan masyarakat telah menempa proses pendewasaan.
Sekolah menjadi salah satu pembentuk kematangan manusia muda hingga ke perguruan tinggi.Artinya, setiap lulusan SMU harus sanggup dan mampu memulai studi bidang tertentu di perguruan tinggi.
Meskipun tidak berarti semua lulusan SMU menguasai semua kemampuan dasar dari semua jurusan.Sehingga yang dibentuk bukan ketrampilan mengetahui banyak hal kecil, tapi sikap intelektual yang mencakup penguasaan cara belajar yang baik.
Dengan demikian kekurangan dalam pengetahuan sesaat yang dibutuhkan demi suatu disiplin tertentu, dapat diperoleh dalam waktu singkat.Sebuah kurikulum harus bisa menyatukan kemampuan intelektual dan penguasaan tentang kehidupan.
Sehingga ada arah yang jelas bagi peserta didik mengarah pada kematangan intelektual.Ketika lulusan SMU punya pijakan kuat, seluruh pendewasaan selama belajar di perguruan tinggi akan sejalan.
Kegagalan di fase ini menjadi kegagalan layaknya efek domino, seperti yang kita alami sekarang.Ini adalah sebuah kunci penting bagi terbukanya simpul masalah yang telah kronis dialami oleh dunia pendidikan kita.
Ada dua masalah yang akan diminimalisir dan diperbaiki melalui keberadaan Kurikulum Merdeka.
Pertama, meskipun perguruan tinggi tidak menuntut “kematangan umum”, tetapi ketrampilan hanya fokus pada mata pelajaran tertentu.
SMU “dipaksa” menjadi sekolah “kejuruan”, sehingga kurikulum sejak lama juga diarahkan pada pola itu.Pendidikan umum terdesak, dan SMU bukan lagi sekolah umum.
Kedua, adalah sebuah lingkaran setan.Para guru yang menjadi tenaga pendidik di SMU sekarang, adalah mereka produk kesalahan dari pola kurikulum yang tidak mendewasakan nalar sejak di bangku SMU.
Dalam kondisi tersebut mereka masuk ke jenjang perguruan tinggi yang kurang menguntungkan pembentukan kepribadian mereka.Karena hanya mementingkan isi mata pembelajaran, bukan struktur dan kaitan dengan disiplin lain.
Korelasi materi pembelajaran dengan kehidupan sehari-sehari jarang diajarkan.Kurikulum merdeka hadir dengan, semacam reformasi pada titik; pembauran jurusan IPA-IPS dan fokus pada tujuan kompetensi.
Penggunaan fase dalam capaian Kompetensi Inti (KI) dan Kompetensi Dasar (KD).Fokus pada Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching and Learning), untuk menggali dan meningkatkan kemampuannya, dalam bidang literasi dan numerasi.
Di sinilah kita berada sekarang ini, dalam ruang pendidikan kita dengan Kurikulum Merdeka sebagai kompasnya.
Apakah kelak kurikulum tersebut dapat menjadi perantara “memerdekaan” nalar dan kedewasaan kita? Pekerjaan rumah kita masih panjang untuk sampai pada mutu harapan.
Termasuk memperjelas, apa kompetensi lulusan SMU kita sebenarnya, dan bagaimana mempersiapkan mental mereka menghadapi masa depan.Selain kurikulum, masih ada isi pendidikan, proses pembelajaran dan evaluasi, kualitas guru, sarana dan prasarana sekolah, dan buku ajar kita yang harus dituntaskan.
Semoga langkah kita kali ini tepat.Waktu kelak akan membuktikan kebenaran pilihan kita.
Artikel ini telah tayang di SerambiNews.com dengan judul SMU Menghasilkan Kompetensi Apa?, https://aceh.tribunnews.com/2022/03/30/smu-menghasilkan-kompetensi-apa?page=all.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar