oleh hanif sofyan-acehdigest
https://aceh.tribunnews.com/2022/04/13/mengkritisi-kurikulum-merdeka?page=all.
Rabu, 13 April 2022 05:14
Perhelatan UTBK-SBMPTN 2022, menjadi isu menarik.Terutama bagi mereka yang kemarin mencermati berbagai masalah yang kita kritisi pasca pemberlakuan Kurikulum Prototipe, yang kita kenal sekarang sebagai Kurikulum Merdeka.
Dimana daya tariknya? Banyak argumen bermunculan mengkritisi Kurikulum Merdeka, sebagai sebuah solusi memutus mata rantai, lingkaran setan kesalahan kita dengan kurikulum 2013, yang memuat dikotomi penjurusan IPA-IPS di sekolah yang membuat bias, antara kecerdasan dan bakat-minat.
Termasuk Ujian Nasional (UN), yang justru menjadi momok karena “nilai” menjadi pengukur kecerdasan.Kematangan mentalitas lulusan SMU ketika memasuki dunia Perguruan Tinggi terabaikan gara-gara “nilai”.
Pilihan yang tidak linier dengan kemampuan sesungguhnya ketika kuliah, karena kesalahan penjurusan.Sistem belajar dan pembelajaran di sekolah yang sebagian metodenya masih cenderung konvensional dengan ceramah.
Sehingga penguatan karakter, kemampuan adaptasi, implementasi materi pembelajaran dengan kehidupan keseharian menjadi tidak nyambung. Kita sejak lama dihantui problem link and match.Ketidaksiapan lulusan SMU dan PT masuk dalam dunia kerja.
Tambahan pekerjaan rumah baru, dengan loss learning, ketika kurikulum darurat sekolah tidak siap menjadi “pelampung” bagi dunia pendidikan kala pandemi.Pembentukan karakter menjadi buntu dengan sistem belajar daringmeskipun itu tuntutan protokol kesehatan.
Bahkan, kemampuan menguasai materi pelajaran reguler--pelajaran yang umum di pelajari seperti sebelum pandemi--agama, sosial, sains, mengalami kemunduran mutu.
Butuh waktu Memang tidak serta merta hasil amatan kita bisa terlihat dalam waktu cepat.Jika selama ini ada yang berkeyakinan, bahwa ada kesalahan ber-kurikulum yang tersistematis, yang membuat anak-anak tidak siap dengan “dunia nyata-dunia kerja”.
Ini menjadi waktu kita memulai pembuktian, dengan membagi amatan dalam dua persepsi. Kurikulum K-13, dan lainnya, dengan Kurikulum Merdeka.Kita akan melihat bagaimana mekanisme masing-masing kurikulum berpengaruh, bagaimana signifikansinya terhadap perubahan.
Kurikulum Merdeka dirancang, sebagai pendekatan baru, menyiasati kesenjangan dalam berbagai aspek pendidikan kita selama ini.Kita masih ingat bagaimana kita di sekolah menengah, bahkan untuk memilih jurusan saja, masih direcoki intervensi guru.
Ukuran-ukuran nilai sains yang tinggi menjadi alasan para guru untuk menempatkan kita di jurusan sains-IPA.Padahal, bisa jadi murid punya minat-bakat yang lain.Dan bisa jadi itu lebih ke jurusan sosial.Berkuliah di bahasa-sastra asing, jurnalistik-publisistik, sendratasik.Pilihan itu dikorbankan karena intervensi sekolah dan guru.
Cara berpikir itu juga menyebabkan terjadinya kesenjangan.Kelas sains-IPA memiliki derajat lebih tinggi daripada kelas sosial-IPS.Sekolah berlomba mengukur kredibilitas dan akreditasinya dengan mendorong lebih dominan kelas IPA dari IPS.
Dinas pendidikan-pun mengalami distorsi yang sama.Tidak memahami hal tersebut sebagai masalah. Apalagi sains sangat diagungkan di belahan dunia maju.Jadi negara berkembang, harus mendorong sains sebagai satu-satunya cara bisa bersaing dan tidak dilihat dengan sebelah mata.
Benarkah persisnya demikian? Salah Asuhan? Memang benar, seperti gagasan mantan presiden BJ Habibie, dengan mendorong teknologi-sains, sebagai cara percepatan pembangunan.Teknologi identik dengan gengsi, bernilai jual tinggi dan menandakan kita sebagai bangsa maju.Indonesia bisa menjual CN 235-Tetuko, akan menjadi bargaining power- gengsi.
Namun dalam proses yang berjalan, kesalahan- kesalahan substansial telah di mulai dari bangkubangku sekolah dasar.Ketika sains dipaksakan masuk dalam benak setiap murid, tanpa mempertimbangkan kemampuan yang sebenarnya.
Tapi sekedar kamuflase dari ukuran-ukuran nilai- nilai unsich! Inilah salah satu pangkal kegagalan tidak nyambungnya mindset berteknologi tinggi dengan kemampuan riil kita.Saya masih ingat, ketika tsunami melanda Aceh pada 2004, banyak sekali NGO asing yang mendorong masyarakat rural--pedesaan dengan pemanfaatan hightech--teknologi tinggi.
Pertimbangannya sederhana, karena akses listrik dan jaringan yang rusak, maka alternatifnya digunakan teknologi canggih berbasis solar- panel surya. Menggunakan energi matahari sebagai pembangkit listrik.
Betapa canggihnya, ketika di pinggiran kampung terpencil di pantai-pantai Aceh muncul deretan panel surya! Tapi apa yang terjadi kemudian? Panel-panel surya itu tidak digunakan sebagai pembangkit listrik, tapi justru dijadikan alas untuk menjemur ikan asin, karena pertimbangan sederhana, panas yang dihasilkan lebih baik.
Siapa salah dengan fenomena aneh itu? Teknologi atau mindset kita yang belum sampai? Bahkan sistem penerangan berbasis panel surya yang ada di jalanan di gunung-gunung di Aceh yang berjumlah ribuan, pada akhirnya menjadi “lahan baru” bagi para pencuri baterai panel surya.Jalanan kembali menjadi gelap gulita, karena kejahatan dan kebodohan kita.
Kurikulum Merdeka Masih harus dibuktikan oleh waktu untuk menjawab banyak pertanyaan.Terutama ketika kita kaitkan dengan kesalahan sistematis yang sudah kita lakukan sejauh ini.Pemaksaan penjurusan IPA-IPS-pengabaian minat-bakat, Ujian Nasional sebagai pengukur kelulusanyang artinya basisnya nilai sebagai pengukur kualitas.
Dampaknya Mentalitas rendah dalam memasuki fase perguruan tinggi, kebingungan memilih jurusan, apa sebenarnya minatnya-atau lebih tepatnya, mereka berpikir pragmatis, memilih apa yang dibutuhkan dunia kerja agar paska kuliah tak menambah panjang deretan daftar pengangguran.Sehingga mengabaikan kemampuan sebenarnya.
Mungkin sekedar contoh, meski tak dapat dijustifikasi sepenuhnya, keberadaan guru-guru di sekolah saat ini, meski dengan kemampuan pedagogik yang mumpuni, tapi kemampuan psikologi-nya, bukan di bentuk dari core-inti, sejak awal bahwa, “ia memang ditakdirkan” jadi guru.
Maka kekerasan verbalfisik, menjadi pemandangan jamak terjadi, dan dilakukan oleh para guru-padahal filosofi bijaknya bersandar pada; Ing Ngarsa Sing Tulada, Ing Madya Bangun Karsa, Tut Wuri Handayani.Salah satunya, karena orientasi dorongan kebutuhan ekonomisyang dipikirkan pasca keluar dari sekolah menengah.
Ini yang dimaksudkan banyak orang sebagai kelemahanbelum matangnya mentalitas ketika memasuki dunia perguruan tinggi, plus bursa kerja nantinya.
Harapan kita dengan Kurikulum Merdeka, fleksibilitas murid memilih jurusan, skema pembelajaran dengan fase-fase akan lebih memungkinkan anakanak belajar lebih mendalam pada materi yang menjadi minatnya.
Bahkan penyediaan referensi bagi para guru yang user friendly dalam mengakses bahan, termasuk penyediaan materi dalam format flashdisk, adalah cara kita memudahkan kerja para guru.Sekaligus merubah orientasi para guru dalam praktik mengajarnya.Terutama jika mereka tak mau menjadi gagap teknolog (Gaptek) dan melahirkan murid yang Gugup Sosial (Gupsos).
Mau tidak mau, para guru juga pasti akan mengubah orientasi cara, sistem dan metode pembelajarannya menjadi lebih interaktif.Mengubah metode konvensional, dengan metode Prolem Based Learning-pengajaran berbasis masalah.
Agar murid lebih kritis, aktif menunjukkan kemampuan bawah sadarnya yang selama ini tertidur pulas dan cenderung mem-bebek! Di era Romo Mangun Wijaya, anak-anak sejak di bangku sekolah dasar, di awal pembelajaran diminta menceritakan sekilas, apa saja aktivitas yang dilakukan di rumah.
Tujuannya sederhana, membiasakan anakanak mengemukakan gagasan.Tak sungkan menunjuk tangan dan bertanya.Dan menunjukkan bahwa interaksi guru-murid itu adalah wujud kepedulian.Ini mata rantai yang telah lama putus dalam dunia sekolah kita.
Hasilnya, anak-anak penakut bertanya, pertanyaan sederhana dianggap bodoh, dan anak terlalu banyak bertanya dianggap tak serius memperhatikan pelajaran ketika diterangkan.Jadi kita lihat, apakah pilihan-pilihan kita ber-Kurikulum Merdeka, sungguh-sungguh bisa “memerdekakan” pikiran dan mindset kita? Biarlah waktu yang akan membuktikan.
Artikel ini telah tayang di SerambiNews.com dengan judul Mengkritisi Kurikulum Merdeka, https://aceh.tribunnews.com/2022/04/13/mengkritisi-kurikulum-merdeka?page=all.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar