Oleh TAUFIQ ABDUL RAHIM, Pengajar Universitas Muhammadiyah Aceh dan Peneliti Senior Political and Economic Research Center Aceh
https://aceh.tribunnews.com/2021/11/04/perspektif-politik-demokrasi-musyawarah?page=all
Kata serta istilah demokrasi dalam konteks politik semakin populer dan menjadi perbincangan hangat pada saat tahun-tahun politik. Baik dalam liputan, penyiaran serta pesan yang disampaikan dalam berbagai media yang berhubungan dengan ruang publik, maupun dalam ruang yang terbatas dibahas oleh beberapa maupun sekelompok orang.
Demokrasi semakin berkembang dalam konteks politik modern, ini sejak diberikan serta diperjuangkannya hak-hak individu dalam kehidupan sosial politik kemasyarakatan modern abad ke-16 di belahan dunia Barat ataupun Eropah. Sehingga secara evolusi ilmu pengetahuan yang semakin dinamis, ini menjadi penting kedudukan kata ataupun istilah demokrasi dalam diskusi serta perbincangan praktik secara empirik di tengah kehidupan masyarakat.
Demokrasi inilah yang kemudian dikembangkan oleh berbagai dan atau sebagian besar negara di dunia menjadi sistem politik serta pemerintahan negara modern, yang sebelumnya ide dokrasi diperkenalkan di Eropah Barat. Hal ini juga memiliki risiko terhadap penerapan sistem politik demokrasi langsung, usaha sungguh-sungguh seluruh atapun mayoritas rakyat untuk melakukan kontrol maupun pengawasan terhadap perilaku, tindak-tanduk, berbagai kebijakan serta keputusan pemerintah, ini dilakukan agar tidak mengorbankan kepentingan rakyat secara umum.
Adanya usaha kontrol maupun pengawasan yang dilakukan rakyat terhadap prinsip yang berhubungan dengan kebijakan umum, ini merupakan fungsi tradisional yang semestinya dilakukan oleh pemerintah yang memegang kekuasaan politik. Persoalannya adalah, secara realitas empirik bahwa ruang politik antara rakyat dengan pemerintah demikian luasnya, sehingga ada kekhawatiran berlaku serta terbentuknya subkultur yang secara nyata nampak antara anggota legislatif selanjutnya juga pada pemerintah (eksekutif), yang memegang kekuasaan politik pemerintahan.
Dan akhirnya semakin menjauhkan diri dari rakyat dalam kebijakan, perilaku serta gaya kehidupan yang eksklusif dari rakyat konstituennya. Ini selaras dengan kritikan Schumpeter (1974), jurang pemisah antara pemerintahan dengan rakyat, ini memberikan kesan rakyat mengawasi perilaku pemerintah sebagai faktor menentukan derajat atau tahap demokrasi dalam sistem politik, dimana kekuasaan hambatan serta penyeimbang dari rakyat bersifat musiman melalui proses pemilihan umum biasanya diadakan lima tahun sekali, ini kesempatan pemerintah membuat undang-undang mengorbankan kepentingan rakyat.
Maka dalam konteks masyarakat pluralisme memiliki wajah ganda yang berkaitan dengan isu demokrasi dan demokratisasi, ini tergantung kepada sudut pandang atau perspektif dapat saja sempit serta luas sesuai sistem dasar demokrasi politiknya, juga berdasarkan kondisi perkembangan kontemporer yang mendukungnya. Dalam konteks politik modern dapat saja menggunakan variabel dan ukuran serta kepentingan politik serta sistem demokrasi yang berlaku dalam persaingan juga usaha menjadi keterwakilan rakyat yang dapat menerimanya.
Perkembangan sistem demokrasi modern tidak terlepas dari usaha untuk melakukan eksistensi diri dari sistem politik otoritarianisme. Hal ini berkembang dari upaya membangun persaingan dalam kontestasi politik yang berlaku secara sirkulasi lima tahunan yang acapkali memiliki risiko politik yang lebih tinggi dan terciptanya polarisasi poltik dalam kehidupan masyarakat serta sangat rentah berlakunya konflik politik horizontal, juga kepentingan dalam usaha mempertahankan faksi, fraksi dan kelompok politik yang saling bertentangan.
Sehingga usaha melepaskan diri dari otoritarianisme populer, menurut Anne Munro-Kua (1998) adanya kesepakatan keterpaksaan (coercive consociastionalism). Secara empiric seringkali rakyat sulit memahami, bahwa prinsipnya perbedaan dalam pilihan politik yang berlangsung setiap lima tahunan, namun demikian sistem demokrasi politik yang menghendaki keterwakilan dan representasi rakyat.
Dalam gedung parlemen ataupun dewan sering kali praktik kesepakatan antara anggota parlemen maupun legislatif dapat saja cair dan secara bersama memperjuangkan kepentingan politiknya berbentuk koalisi politik antarpartai. Kemudian tanpa sama sekali mempertimbangkan perjuangan kepentingan politik rakyat, sehingga rakyat seringkali terkecoh dengan prinsip politik yang kukuh dipegang, dijunjung tinggi dan dipertahankannya.
Sementara itu para wakil rakyat terus besepakat meskipun kadangkala terpaksa selaras dengan kepentingan politik elitenya. Hal ini biasanya berhubungan dengan aspek persaingan terhadap kedudukan kekuasaan serta jabatan politik, dengan terus berusaha mempertahankan kekuasaan terhadap pengaruh sistem demokrasi serta demokratisasi politik, dalam pabrik kehidupan sosial kemasyarakatan yang menghendaki persaingan politik secara lebih terbuka dan sehat.
Pada dasarnya demokrasi yang dibangun secara nasional serta lokal saat ini adalah, sistem demokrasi berdasarkan kesepakan dan musyawarah. Sehingga dalam praktik politik elite tampak bahwa, kesepakatan lebih bersifat elitis dan keberlanjutannya sangat tergantung kepada persepektif serta kultur politik untuk kekuasaan politik para elite yang sedang berkuasa. Aspek persaingan seringkali berubah serta diabaikan pada saat kepentingan politik bersama lebih diutamakan, sehingga demokrasi politik dalam persaingan terbuka serta sehat menjadi tumpul (blunted), sehingga menjadikan semangat persaingan menjadi kendur (tempered), dengan jargon ataupun moto kestabilan politik lebih diutamakan daripada persaingan yang bakal melahirkan perselisihan yang tidak menguntungkan kondisi politik terhadap kepentingan politik para elite.
Semakin mengemukanya kepentingan ekonomi-politik elite dan perubahan gaya serta perilaku kehidupannya, juga semakin meluasnya interaksi aktivitas para elite politik sebagai perwakilan serta mandat rakyat di tengah kontestasi persaingan kelas menengah, akan menimbulkan serta menciptakan berbagai kesepakatan dengan cara menampilkan demokrasi politik kesepakatan dan musyawarah antarelite politik, yang saling menguntungkan.
Kondisi negara serta daerah yang sedang membangun, seringkali terjadi pergeseran prinsip dan kesepakatan awal memperjuangkan kepentingan rakyat sebagai bungkus demokrasi politik awal, bergeser menjadi kepentingan ekonomi politik bersama para elite politik. Hal ini semakin mempertegas bantahan terhadap pernyataan dari Crouch (1996), adanya realitas hubungan langsung antara tahap pembangunan ekonomi sesuatu negara dengan tahap demokratisasi dalam makna, semakin tinggi pembangunan ekonomi sesuatu negara, maka semakin tinggi tahap demokratisasi.
Pernyataan seperti ini tidak serta merta dapat diterima secara logika politik yang benar, karena kepentingan politik ekonomi elite memiliki kekuatan serta kekuasaan tersendiri, sehingga dengan model serta sistem politik demokrasi politik kesepakatan dan musyawarah kepentingan politik bersama elite, semua dapat saja berubah pada saat aktivitas politik para aktor politik dimainkan di tengah praktik yang sesungguhnya.
Sebaiknya dipahami serta disadari oleh rakyat bahwa, pada saat kalkulasi ekonomi dan politik yang disajikan untuk mengatasi serta memperjuangkan perubahan perilaku serta gaya para elite politik, prinsip dasar memperjuangkan kepentingan rakyat dapat saja berubah dengan mengemukakan sistem demokrasi kesepakatan dan musyawarah elite politik yang mengejar kepentingan individu, kelompok serta partainya lebih diutamakan.
Hal ini selaras dengan sistem oligarki politik yang semakin berkembang serta ikut memaksakan perannya untuk setiap pengambilan keputusan serta kebijakan politik publik dan anggaran belanja publik yang dimanfaatkan, bukan hanya bertindak atau untuk kelanjutan kekuasaan. Namun demikian juga mamanfaatkan “rent seeking” untuk meraih keuntungan secara ekonomi dalam memperkuat posisi partai politik dan atau koalisi politik antarpartai melanjutkan kekuasaannya.
Kondisi ril saat ini praktik politik serta perilaku kekuasaan yang jauh dari kepentingan memperjuangkan kepentingan politik rakyat semakin terlihat secara transparan dan terang-terangan. Harapan rakyat secara keseluruhan dan umumnya untuk mengubah kehidupan menjadi lebih baik, baik berhubungan dengan kondisi sosial-budaya, ekonomi serta taraf kehidupan yang lebih sejahtera dan makmur, seringkali terkecoh, terhambat dengan adanya kesepakatan jahat para elite politik. Dimana lebih mementingkan kekuasaan serta jabatan untuk kekuasaan politik serta oligarki politik, sehingga kondisi kehidupan para aktor dan elite politik semakin elitis dan terkesan sebagai para borjuis baru, dalam konteks demokrasi politik musyawarah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar