OLEH T. A. SAKTI, Penulis hikayat dan mantan dosen Prodi Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Syiah Kuala, melaporkan dari Banda Aceh
https://aceh.tribunnews.com/2021/09/23/syariat-islam-di-aceh-pada-abad-19?page=all
Penunjukan abad ke-19 sebagai pokok kajian ini memang tidak mengalami kendala, sebab hampir semua naskah yang terpilih memang langsung menuliskan angka tahun Hijriah pada penutup naskah masing-masing. Kitab Tuhfatul Ikhwan, karya Syekh Abdussalam (kakek Teungku Chiek di Tiro Muhammad Saman, Pahlawan Nasional). Kitab ini selesai ditulis pada akhir Ramadhan tahun 1224 H. Naskah yang dapat digolongkan kepada 'hikayat tambeh' (tuntunan) ini, selain mengandung berbagai jenis nasihat, juga terselip beberapa baris syair mengenai suasana keagamaan negeri Aceh pada masa itu. Tambeh 95 (95 Tuntunan) selesai ditulis pada tahun 1242 H.
Judul asli kitab ini “Tanbihul Ghafilin” ( Peringatan Bagi Mereka yang Lalai). Keseluruhan isi naskah ini berupa nasihat, tapi pengarangnya sempat pula mengkritik pelaksanaan syariat Islam pada saat itu, khususnya masalah aurat wanita. Kitab Akhbarul Karim (kabar yang mulia), memang tidak mencantumkan tahun penulisannya. Tapi dari berbagai bukti yang lain, menunjukkan ia ditulis pada abad 19 M.
Kitab yang isinya berintikan ilmu fikih, tauhid, dan tasawuf ini, tapi dalam sebuah panton Aceh-nya juga menyebutkan perkembangan syariat Islam ketika itu. Cuplikannya sebagai berikut: Takoh tarom pageue nawah, tarhat jubah beuneung sinaroe Akhe donya kureueng tuah, soh meunasah jeub-jeub sagoe Aneukmiet beuet hana sapat, timu barat meunasah sagoe Nyang na rame beurangkapat, ‘ohka toek had trok bak gantoe Buleuen Sy’akban buleuen Ramadhan, rame sinan shalli ‘alai Puasa pilheueh Fitrah hase, meutinggaile Meunasah Sagoe Jinoe nyang rame beurangkapat, jambo madat ngon meutajoe Laen nibak nyan teumpat piasan, rame sinan malam uroe Terjemahan bebas: Ditebas pohon tarom ganti pagar batang jarak, dijahit jubah benang semua Akhir dunia kurang tuah, kosong meunasah seluruh negeri Anak mengaji tak ada lagi, timur dan barat di meunasah sagi Yang banyak orang di merata tempat, waktu sampai pergantian tahun Bulan Syakban dan bulan Ramadhan, ramai orang di semua meunasah Puasa habis fitrah pun selesai, tinggallah meunasah kesepian Sekarang (dulu) yang ramai di banyak tempat, pondok candu dan sabung ayam Selain itu di tempat hiburan, ramai di situ siang dan malam Kitab-kitab lain yang menjadi rujukan tulisan ini adalah karya Teungku Muda alias Teungku Do atau Teungku Di Cucum yang bernama asli Syekh Abdussamad.
Tiga buah karya beliau yang dimaksud, yaitu Tambeh Tujoh Blah, Nazam Akhbarun Na’im dan “Tambeh Goha Nan”. Keenam naskah ini tertulis dalam huruf Arab Melayu/Jawoe, menggunakan bahasa Aceh dalam bentuk sajak-syair hikayat.
Tuhfatul Ikhwan
Dalam kitab Tuhfatul Ikhwan karangan Syekh Abdussalam juga, yang tebalnya 294 halaman terdapat sorotan terhadap syariat Islam di Aceh pada dua tempat yang berbeda, yang jumlah syairnya 15 bait atau dua setengah halaman.
Pada salinan halaman 67, bagian penutup Bab Tiga yang membahas “Dosa Peminum Arak”, terdapat enam setengah bait keterangan mengenai kerusakan moral yang menggejala di Aceh. Di sebuah negeri bernama “Rayek” (Besar) yang terletak di negeri bawah angin, para peminum arak merajalela di mana-mana. Tak seorang pun mau mencegah kemungkaran itu. Sampaisampai Raja Aceh Darussalam pun bersikap diam; tidak peduli.
Namun, pengarang kitab ini Syekh Abdussalam, tidak menuduh Sultan Aceh benarbenar tidak peduli akan kerusakan akhlak rakyatnya. Raja Aceh masih kuat kekuasaannya dan sanggup mencegah krisis moral itu. Sumber kesalahannya justru terletak pada tandi bujang, uleebalang, panglima, dan pejabat bawahan lainnya yang tidak melaporkan “pesta arak” kepada Sultan Aceh. Sang pengarang juga mengkritik para alim ulama. Mereka pun telah buta hatinya yang tak mau mencegah berkembangnya maksiat itu. Hanya seorang `aulia Allah`, yakni Teungku Di Awe Geutah yang bernama Maulana Haji `Abdurrahim yang masih tetap berperan sebagai ulama yang mau menasihati masyarakat agar menjauhi perbuatan maksiat.
Di halaman 137-138 salinan huruf Latin, pengarang dengan jelas menulis angka tahun 1220 H (lk 70 tahun lagi sebelum Kerajaan Aceh Darussalam diserang Belanda pada tahun 1290 H/1873 M) sebagai periode atau saat kejadian peristiwa yang dijelaskan. Segenap segi kehidupan tengah kacau-balau ketika itu. Bahkan Sultan Aceh pun tidak tinggal lagi di istana, ia mengungsi karena diperangi rakyatnya sendiri.
Mengenai suasana keagamaan rakyat disebutkan, “Syariat Muhammad kureueng di hate” (Artinya: Syariat Islam kurang mendapat perhatian masyarakat saat itu).
Aurat perempuan
Masalah aurat wanita dibahas secara panjang lebar pada Bab 66 Kitab Tanbihul Ghafilin (Tambeh 95). Amat jelas tergambar bahwa kebanyakan kaum perempuan di Aceh ketika itu kurang mempraktikkan kewajiban menutup aurat yang dianjurkan syariat Islam. Meski ada yang masih mau menutup aurat, tetapi jumlahnya kecil. Kitab karya ulama Syekh Jalaluddin Lam Gut, Aceh Besar, ini tebalnya 900 halaman Latin.
Panton Aceh
Kemunduran syariat Islam di Aceh pada abad ke-19 dapat kita baca secara panjang lebar dalam kitab Akhbarul Karim karangan Teungku Seumatang, asal Gampong Cot, Kecamatan Sakti, Kabupaten Pidie (sekarang). Pada bagian penutup Bab 6, sepanjang lima halaman diisi “Panton Aceh”, yang mungkin bisa diartikan dengan `Kisah tentang Aceh`. Banyak aspek yang disorot pada bagian halaman 71-75 ini. Misalnya, perihal lembaga pendidikan anak-anak yang amat langka, mewabahnya para pemadat atau pengisap candu, dunia hiburan yang sangat menggoda, dan lain-lain.
Selain di tempat hiburan, tempat yang sering berkumpulnya warga adalah di lokasi pondok judi dan rumah madat. Ilmu-ilmu yang berkaitan dengan syariat Islam amat kurang mendapat perhatian masyarakat. Shalat Jumat Membeludaknya jamaah Jumat di sebuah mesjid merupakan salah satu bukti bahwa syiar agama atau syariat Islam di wilayah itu betul- betul semarak. Hal itulah yang menjadi topik pembahasan pada Bab 17 (bagian terakhir) dari Kitab Tambeh Tujoh Blah.
Wilayah yang ditinjau oleh pengarangnya adalah mukim-mukim tertentu dalam Kenegerian Pidie. Dari 77 mukim/kemukiman yang ada di daerah Pidie, hanya beberapa mukim saja yang ditunjuk pengarang yang kurang memperhatikan masalah shalat Jumat ini. Sebagai kesimpulan sementara bahwa pelaksanaan syariat Islam di Aceh pada abad ke-19 sedang mengalami kemunduran. Dibandingkan abad ke-19, pelaksanaan syariat Islam di Aceh tentu amat baik saat ini.
Masa kejayaan (pasang naik) syariat Islam abad ke-17 telah lama berlalu dari kita. Mungkinkah bisa dicapai kembali sekarang, saat Aceh satu-satunya provinsi di Indonesia yang diperkenankan menjalankan syariat Islam secara kafah?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar