Oleh Amrizal J. Prang, Kepala Biro Hukum Setda Aceh
https://aceh.tribunnews.com/2021/09/09/membanding-otsus-papua-dan-aceh?page=all
Pertemuan yang diterima Menkopolhukam, Mahfud, MD, Gubernur juga menyampaikan terkait perdamaian, keberadaan lembaga khusus, angka kemiskinan, dan belum ditetapkan beberapa peraturan pelaksana UUPA. (Serambi, 25/8/2021).
Sebelumnya, pada 15 Desember 2020 Gubernur juga bertemu tim pemantau otsus DPR-RI, mengusulkan dalam bentuk Dana Otsus Abadi (DOA), diterima Wakil Ketua, M. Aziz Syamsuddin. Dana otsus yang diterima Aceh mencapai Rp 88,7 triliun, kompensasi konflik dan tsunami. Di mana, tahun 2000 kemiskinan mencapai 29,80 persen. Namun, sejak ada dana otsus, kemiskinan menurun meskipun tidak signifikan sebesar 15,32 persen. Begitu juga, pengangguran dari 12,50 persen tahun 2005 menjadi 6,20 persen tahun 2020. (Serambi, 16/12/2020).
Perbandingan otsus
Sebagaimana Aceh, Papua juga mendapat dana otsus diatur UU No.21/2001 juncto UU No.35/2008 (UU Otsus Papua) selama 20 tahun sejak tahun 2001. Dengan habisnya masa penerimaan tersebut, pada 19 Juli 2021, Presiden Joko Widodo mengubah dan mengesahkan menjadi UU No.2/2021. Dalam konsiderans-nya disebutkan secara filosofis dan sosiologis pengaturannya untuk kepastian hokum perlindungan dan menjunjung harkat martabat, dan hak dasar Orang Asli Papua, ekonomi, politik, sosial-budaya dan pengoptimalan pengelolaan penerimaan otsus.
Secara substansi baik kewenangan, kelembagaan – termasuk lembaga adat Majelis Rakyat Papua (MRP) – maupun keuangan, tidak banyak perubahan kecuali terkait penghapusan hak penduduk Papua membentuk partai politik [Pasal 28]; penerimaan dana otsus yang sebelumnya sebesar 2 persen setara plafon DAU Nasional (2001-2021), menjadi 2,25 persen (2021-2041) [Pasal 34]; pembentukan badan khusus pelaksanaan otsus dan pembangunan, bertanggung jawab kepada Presiden [Pasal 68A]; dan penambahan tujuh peraturan pelaksana (PP).
Jika dibandingkan UU Otsus Papua dengan UUPA baik secara regulasi adanya paeraturan pelaksana (PP, Perpres, peraturan menteri/lembaga), kewenangan, kelembagaan maupun keuangan pengaturan relatif sama. Beberapa perbedaan, antara lain: pertama, terkait kewenangan: pemerintah mengurus urusan tertentu bidang agama [Pasal 7 ayat (2)]; konsultasi dan pertimbangan Gubernur dan DPRA, dilakukan Pemerintah Pusat terkait langsung dengan Aceh dan UUPA [Pasal 8, Pasal 42, dan Pasal 269]; pelaksanaan keistimewaan Aceh: syariat Islam, adat, pendidikan, peran ulama, dan pengelolaan haji [Pasal 16]; pengelolaan bersama migas Aceh [Pasal 160]; pengangkatan Kapolda dan Kajati Aceh atas persetujuan Gubernur [Pasal 205 dan Pasal 209], dan kewenangan lainnya.
Kedua, terkait kelembagaan khusus: KPUD dan Bawaslu menjadi KIP dan Panwaslih [Pasal 56-63]; partai politik lokal [Pasal 75-95]; Lembaga Wali Nanggroe [Pasal 96-97]; Lembaga Adat, seperti, MAA [Pasal 98]; MPU [Pasal 138-140]; BMA [Pasal 191]; MPA [Pasal 220]; KKR [Pasal 229-230]. BRA, dibentuk dengan Qanun Aceh No.6/2015.
Ketiga, terkait keuangan, dana otsus selama 20 tahun (2008-2027), dari tahun 2008-2022, setara 2 persen plafon DAU Nasional dan tahun 2022-2027 menjadi satu persen dan penerimaan bagi hasil pengelolaan bersama migas.
Ketidakpastian hukum
Esensi UU Otsus Papua dan Aceh sebenarnya bukan saja terkait dana otsus (keuangan), tetapi kepastian hukum (rechtszekerheid) dan konsistensi implementasi kewenangan dan kelembagaan khusus atribusi konstitusi dan UU. Ironisnya, pasca pengesahan UU Otsus Papua, MRP menggugat, sengketa kewenangan ke Mahkamah Konstitusi (MK), konsekuensi, tidak dilibatkan pembahasan. Sehingga, menimbulkan ketidakpastian hukum, sebagaimana Pasal 77 UU No.21/2001, yaitu, perubahannya melibatkan MRP dan DPR Papua. (Tempo.co, 18/6/2021).
Gugatan kepada MK juga pernah dilakukan DPRA dan anggota KIP terhadap pencabutan Pasal 57 dan Pasal 60 UUPA, terkait eksistensi KIP dan Panwaslih oleh Pasal 557 ayat (2) dan Pasal 571 huruf d UU No.7/2017 (UU Pemilu), karena tidak dilakukan konsultasi dan pertimbangan DPRA. Pasca gugatan akhirnya kedua pasal UU Pemilu tersebut dicabut dan dibatalkan melalui Putusan MK No.61-PUU-XV- 2017 dan Putusan No.66-PUU-XV-2017.
Masih banyak norma UUPA tidak diimplementasi sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum, antara lain, pertama, perubahan UU No.3/2020 tentang Minerba dan UU No.11/2020 tentang Cipta Kerja, yang terkait Aceh tanpa konsultasi dan pertimbangan DPRA (Pasal 8 ayat (2)); kedua, peraturan pelaksana khusus tidak operasional, seperti, PP No.3/2015, Perpres 23/2015 sehingga perlu direvisi, termasuk Perpres No.11/2010 terkait kerjasama, pelaksanaannya malah mengacu PP No.28/2018; ketiga, belum dibentuk sebagian PP dan peraturan menteri/lembaga.
Inilah yang dikatakan Solly Lubis, kepastian hukum dianggap tidak ada/kabur jika: 1) tidak ada aturan mengenai sesuatu (nuil); 2) ada aturan hukum, tetapi tidak jelas pengertian dan menimbukan penafsiran berbeda; 3) terdapat pertentangan isi di antara sesama aturan hukum, sehingga membingungkan masyarakat; 4) belum ada peraturan pelaksana meskipun sudah ada peraturan pokoknya sehingga tidak member efek. (Amrizal J. Prang, 2020:78).
Selain ketidakpastian hukum juga belum efektif, sebagaimana Satjipto Rahardjo dengan tegas mengatakan, salah satunya, subjek atau objek hukum bersedia untuk berbuat sesuai hukum. (Satjipto Rahardjo, 2000:70).
Ada kekhawatiran jika persoalan ini terus terjadi dan bergeming, kedepan akan kembali memunculkan disharmonisasi hubungan antara pemeritah pusat dengan Aceh. Dikarenakan, pemerintah pusat bukan saja melanggar UUPA, tetapi juga melanggar secara konstitusional, Pasal 18B ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, yang mengakui daerah khusus atau istimewa dan kepastian hukum.
Revisi UUPA
Jika melihat realitas implementasi UUPA dan peraturan pelaksananya, sejatinya pemerintah pusat konsisten dan konsekuen dalam implementasinya. Sehingga, bila ada peraturan sektoral tidak sinkron dan harmonis seharusnya disesuaikan dengan UUPA bukan sebaliknya. Begitu juga dengan UUPA dan peraturan pelaksananya, yang tidak lagi sesuai dengan perkembangan menjadi kewajiban dilakukan perubahan dengan melakukan konsultasi dan pertimbangan Gubernur dan DPRA. (Pasal 8 ayat (3) dan Pasal 269 ayat (3) UUPA).
Revisi UUPA menjadi niscaya karena sebagian substansinya perlu dilakukan pembaharuan (update), apalagi ada pasal-pasal yang dicabut dan tidak berlaku lagi pasca putusan MK, seperti, Pasal 256 (Putusan No.35/PUU-VIII/2010) dan Pasal 67 ayat (2) huruf g (Putusan No.51/PUU-XIV/2016). Ditambah lagi, pasca UU Otsus Papua terakait penerimaan dana otsus. Oleh karenanya, agar revisi UUPA tidak digugat ke MK, seperti sebelumnya dan kasus gugatan MRP, maka DPR-RI dan Presiden melakukan konsultasi dan pertimbangan DPRA (Pasal 269 ayat (3) UUPA).
Meskipun perubahan UUPA wewenang DPR-RI dan Presiden, namun prosesnya secara normatif wajib melibatkan DPRA. Untuk itu, sangat urgen dalam konteks Aceh kolaborasi dan kebersamaan antara DPRA dengan Pemerintah Aceh.
Bahkan, merefleksi proses penyusunan awal UUPA tahun 2005 lalu, penting juga dalam mengusul draf perubahan melibatkan elemen-elemen masyarakat, seperti, mantan GAM, kampus (akademisi), ulama, dan masyarakat sipil. Wallahu’alam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar