Oleh Zulfata, M.Ag, Direktur Sekolah Kita Menulis (SKM)
Posisi pesantren atau di Aceh dikenal dengan sebutan dayah menarik untuk dicermati perkembangannya saat ini. Daya tarik ini bukan saja karena dayah telah lama dikenal sebagai lembaga yang terus mengkaderkan intelektual publik yang religius, militan dan nasionalis, tetapi juga di masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo telah menciptakan landasan konstitusional terkait pesantren/dayah.
Pertama melalui Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019. Seterusnya terbitnya Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2021 tentang pendanaan penyelenggaraan pesantren dalam rangka memperkuat pemberdayaan masyarakat di seluruh wilayah Indonesia.
Sebagai warga negara, kita patut bersyukur dengan hadirnya landasan konstitusional terkait dayah tersebut. Seiring itu pula, dalam tanggung jawab bernegara, publik harus mampu bersama-sama menjaga dayah sebagai pilar penguatan bangsa dan negara agar jauh dari agenda-agenda politik praqmatis atau politik jebakan lima tahunan.
Hadirnya kajian ini bukan berarti bentuk membuka ruang kecurigaan terlalu jauh saat dayah mendapat sokongan dana dari negara, melainkan kajian ini burusaha untuk membuka ruang bagi insan dayah (santri), masyarakat hingga tokoh adat dan politisi bahwa dayah jangan sempat terombang-ambing akibat mendapat alokasi anggaran yang kemudian disebut sebagai dana abadi pesantren.
Kehadiran dana abadi pesantren dapat dijadikan sebagai sumber kekuatan sekaligus tantangan bagi pesantren dalam menjaga marwah, independensi dan keberpihakan pada politik kesolehan. Dengan dana abadi pesantren secara tidak langsung menciptakan sejarah baru dalam perkembangan pesantren di Indonesia.
Dalam konteks Aceh misalnya, dayah pada prinsipnya dibangun atau disokong oleh ulama kharismatik dan disambut dengan dukungan masyarakat, sehingga dayah berdiri megah sebagai akibat gotong-royong masyarakat. Banyak dampak kemanfaatan dan faedah yang terjalin saat dayah dibangun secara kolektif sekaligus mendapat kepercayaan dari publik.
Tidak dipungkiri bahwa peran dayah yang begitu besar dan strategis dalam misi kemerdekaan republik Indonesia menjadikan dayah memang patut dan layak untuk mendapatkan dukungan dari pemerintah dengan berbagai bentuk keistimewaanya seperti hadirnya landasan konstititusi terkait pesantren beserta turunannya. Tingginya kepedulian pemerintah pusat terhadap daya juga menghadirkan posisi dayah sejajar dengan pendidikan formal di bawah Kementerian, pendidikan dan Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbud Ristek).
Hal sedemikian tentunya patut membahagiakan masyarakat Aceh. Satu sisi di balik kehadiran dana abadi pesantren akan memberikan nilai tambah dan daya dorong dalam meningkatkan mutu pendidikan di Aceh melalui peran dayah dan lembaga pendidikan di bawah Kemendikbud Ristek. Kondisi Aceh seperti ini menjadikan publik dan pemangku kepentingan bahwa Aceh masa kini telah memiliki dua komando pemberdayaan dan penguatan pendidikan terhadap masyarakat Aceh.
Tentunya di balik potensi atau nilai tambah terhadap dayah tidak lepas dari factor bertambahnya tantangan yang harus di hadapi. Beberapa tantangan yang akan dihadapi oleh dayah di balik kehadiran dana abadi pesantren atau konstitusinal terkait pesantren di antaranya adalah adanya potensi politisasi lembaga dayah oleh rezim lima tahunan, independensi, tranparansi, tenggelam dalam hal administratif, hingga ke godaan praqmatisme dan hedonisme.
Saat dayah telah mendapat dana abadi pesantren, sudah tentu dana tersebut harus dapat dipertanggung jawabkan ke ruang publik. Publik harus bebas akses informasi terkait penggunaan alokasi anggaran tersebut. Pelaksanaan mengelola dana abadi tersebut suka tidak suka akan melibatkan dayah untuk mampu mengikuti format pelaporan yang disediakan pemerintah.
Dengan pola seperti itu pula ciri khas atau administrasi yang telah berkembang di dayah selama ini akan berubah, dari sesuatu yang mengikhlaskan tanpa laporan menjadi sesuatu yang mesti dilaporkan, terutama hal-hal yang terkait dengan keuangan/materil serta bentuk program yang direncanakan.
Benar bahwa perubahan akan selalu menghampiri dayah, terlebih bagi dayah yang masih memiliki prinsip moderasi bahwa mengambil kebiasaan yang lama adalah baik, dan mengambil kebiayaan yang baru yang baik itu lebih baik. Maka dari itu perubahan sistem pengelolaan dayah sungguh sangat memungkinkan.
Hanya saja dalam persoalan ini sejauh mana pengelola dayah atau publik yang secara kolektif juga harus mampu menjaga martabat dayah agar dayah tidak mengalami perubahan yang megarah pada upaya formalitas belaka, apalagi terjerumus pada praktik rekayasa program demi mengikuti format daya serap realisasi anggaran yang ditentukan pemerintah.
Pada posisi inilah dana abadi pensantren akan menjadikan pengelola dayah harus siap dengan kemampuan politik anggaran yang dipraktekkannya. Jika tidak, maka ruang dari tidak kredibel dan tidak transparansi dalam mengelola dana abadi pesantren akan berpotensi menyulut kecurigaan bagi kalangan di internal dan eksternal dayah.
Sehingga dengan keadaan dayah seperti itu akan menggiring fungsi kontrol dari pihak luar pengelola dayah. Syukur-syukur dengan adanya dana abadi pesantren tidak menciptakan dayah di Aceh didemo oleh masyarakat sekitarnya sebagai akibat kekeliruan dalam mengelola dana abadi pesantren di dayah.
Seiring itu pula, tanggung jawab dayah dalam memperbaiki kualitas demokrasi bangsa tidak boleh melemah, sebab dana abadi pesantren dapat dimaknai sebagai upaya pemerintah untuk bekerja sama dengan dayah dalam meningkatkan kualitas demokrasi Indonesia, baik dalam hal iklim politik, pendidikan hingga pencerdasan publik sesuai dengan tujuan negara yang tercantum dalam UUD 1945.
Relevansi antara dayah dan upaya perbaikan demokrasi di Indonesia dapat dipahami dari peran dayah dalam mempertahankan negara republik Indonesia dari berbagai praktik penjajahan masa kolonial Belanda dan Jepang. Kini tanggung jawab dayah berlanjut untuk mampu membebaskan Indonesia dari segala bentuk ancaman bermotif baru. Peran dayah dalam hal ini harus kembali didengungkan, misalnya kondisi demokrasi Indonesia hari ini sedang terperangkap oleh politik oligarki, feodalisme, dinasti hingga liberalisasi ekonomi.
Keadaan Indonesia yang sedemikian suka atau tidak mengharuskan dayah untuk berperan aktif, baik sebagai upaya pencegahan atau perontokan sel-sel yang dapat merusak demokrasi Pancasila. Kekuatan gerakan moral, akhlak mulia dan ukhuah islamiyah yang dirajut dalam dayah sunguh dibutuhkan untuk meningkatkan rasa gotong-royong publik dalam mendarmabaktikan dirinya terhadap negara.
Untuk itu, dayah tidak boleh berjalan dengan sendirinya tanpa peduli dengan kondisi Negara yang kini terdampak besar akibat pandemi, perang dagang dan mekanisme pasar global. Juga dayah tidak boleh tersungkur dalam upaya pembenahan demokrasi, sehingga dayah tidak lagi menjadi penyeimbang bagi kekuatan politik lima tahunan di negeri ini.
Oleh karena itu, di balik rasa syukur dan terima kasih atas kehadiran konstitusi terkait pesantren dan dana abadi pesantren, patut dengan hormat pula kita bertanya bahwa mampukah dayah di Aceh tampil sebagai panglima mengendalikan demokrasi yang berkeadaban? Atau sebaliknya, terseret arus badai gelombang demokrasi? Wait and see!




Tidak ada komentar:
Posting Komentar