OLEH Dr. MUHAMMAD NASIR, M.Si., M.A Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala, alumni Georgia State University, USA ,dan Universitaet Bonn, Jerman
https://aceh.tribunnews.com/2021/10/05/dana-otsus-dan-kinerja-ekonomi-aceh?page=all
Berdasarkan data dari Bappeda Aceh (2019), selama periode 2008 sampai dengan 2019 Dana Otsus yang diterima Aceh secara akumulasi mencapai Rp 72,825 triliun. Secara akumulasi dananya relatif besar. Angka ini belum termasuk Dana Otsus Tahun 2020 dan 2021.
Dari segi kuantitas, dana Otsus yang diterima dari tahun ke tahun tergolong besar dan signifikan sebagai salah satu sumber pembiayaan pembangunan dan juga pendapatan bagi Aceh. Sedangkan dari segi alokasi, selama periode 2008 sampai dengan 2019, dana Otsus masih dominan diperioritaskan untuk pembangunan infrastruktur, kemudian lainnya untuk pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi, pengentasan kemiskinan, sosial, dan keistimewaan Aceh.
Keberadaan dana Otsus dengan jumlah yang signifikan diharapkan bisa memacu pembangunan ekonomi daerah. Jika kita melihat tujuan pembangunan secara teoritis adalah untuk: (1) mengurangi disparitas antardaerah dan antarsub-daerah serta antarwarga masyarakat, (2) memberdayakan masyarakat serta mengentaskan kemiskinan, (3) menciptakan atau menambah lapangan kerja, (4) meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat daerah, serta (5) mempertahankan kelestarian sumber daya alam. Sedangkan menurut Todaro (2011) dalam bukunya “Pembangunan Ekonomi”, ada tiga tujuan pembangunan yaitu: (1) peningkatan standar hidup setiap orang, baik pendapatannya, tingkat konsumsi pangan, sandang, papan, pelayanan kesehatan, pendidikan, dan lain-lain, (2) penciptaan berbagai kondisi yang memungkinkan tumbuhnya rasa percaya diri setiap orang, dan (3) peningkatan kebebasan/demokrasi bagi setiap orang.
Pembangunan ekonomi daerah termasuk juga Aceh menghadapi beberapa tantangan secara umum yaitu: (1) meningkatnya pengangguran dan kemiskinan, (2) dipasritas dalam pola persebaran Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dan Penanaman Modal Asing (PMA), (3) meningkatnya kebutuhan penyediaan infrastruktur dalam jangka panjang, (4) alih fungsi lahan produktif menjadi pemukiman, (5) meningkatnya urbanisasi dan aglomerasi, serta tantangan lainnya.
Dalam hal pembangunan ekonomi Aceh, beberapa indikator ekonomi makro perlu menjadi perhatian bagi Pemerintah Aceh serta pemerintah kabupaten/kota di Aceh yaitu: pertumbuhan ekonomi, kemiskinan, pengangguran, dan inflasi. Indikator-indikator ekonomi makro tersebut juga saling berkaitan satu sama lainnya, misalnya pertumbuhan ekonomi yang tinggi ikut mengurangi pengangguran, pengangguran yang rendah berpengaruh pada penurunan tingkat kemiskinan, inflasi yang tinggi berpengaruh pada pengurangan pengangguran (sesuai Okun’s Law).
Isu kemiskinan selama periode Otonomi Khusus di Aceh menjadi perhatian banyak pihak terutama dengan melihat kinerja Pemerintah Aceh dalam hal pengurangan kemiskinan setiap tahunnya. Menurut data BPS Aceh (2021), jumlah penduduk miskin di Aceh pada September 2020 adalah sebanyak 833.910 orang atau dalam persentase sebesar 15,43 persen.
Dengan persentase kemiskinan sebanyak 15,43 persen menempatkan Aceh pada posisi termiskin di Sumatera berdasarkan data tersebut. Posisi kemiskinan Aceh yang masih relatif tinggi di Sumatera pada tahun 2021 ini perlu menjadi catatan bagi perbaikan kinerja ekonomi Aceh di tahun-tahun mendatang.
Menurut penulis, kuncinya pada kebijakan penganggaran melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA). Belanja APBA perlu lebih dioptimalkan pada program-program atau kegiatan-kegiatan yang memang berdampak signifikan pada pengurangan kemiskinan.
Misalnya saja pembangunan infrastruktur yang outcome-nya berdampak langsung pada peningkatan kegiatan ekonomi masyarakat. Atau pemberdayaan ekonomi yang berdampak langsung pada pengurangan tingkat kemiskinan. Hasil kajian penulis, berdasarkan data time series dari BPS Aceh (2019), penurunan persentase kemiskinan Aceh tajam dari Tahun 2008 sampai dengan Tahun 2010. Saat itu, persentase kemiskinan Aceh turun dari 26,65 persen di Tahun 2008 menjadi 21,8 persen di Tahun 2010 (atau terjadi penurunan hampir 5 persen dalam waktu dua tahun).
Ini merupakan kinerja ekonomi yang bagus terutama di awal-awal alokasi dana Otsus. Kemudian trend penurunan dalam persentase kemiskinan melandai dari Tahun 2010 sampai dengan Tahun 2019, dan juga berlanjut hingga Tahun 2021. Ada strategi khusus dalam penurunan kemiskinan selama tahuntahun awal.
Menurut analisis penulis pada masa tersebut adanya keberhasilan Program Jaminan Kesejahteraan Aceh (JKA) dan beberapa program bantuan pemberdayaan lainnya. Masa-masa awal pelaksanaan Otsus juga tidak terpaut jauh dengan rehab rekon pascatsunami di Aceh. Upaya menurunkan tingkat kemiskinan di Aceh di tahun 2021 dan tahun-tahun mendatang memiliki tantangan tersendiri terutama dengan kondisi pandemi Covid-19, tidak semua sektor ekonomi tumbuh positif, ada dampak pada penurunan kapasitas ekonomi, kesempatan kerja, dan lainnya.
Sehingga kebijakan fiskal dari Pemerintah Aceh melalui pengeluaran (government expenditure) diharapkan lebih optimal ditujukan ke perbaikan kinerja ekonomi Aceh tidak hanya kemiskinan, namun juga peningkatan pertumbuhan ekonomi, serta perluasan kesempatan kerja. Penulis juga memberikan catatan pada pentingnya sinergi antara eksekutif dan legislatif Aceh untuk samasama memperjuangkan kebijakan penganggaran yang progrowth dan pro-poor. Dalam hal pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan ekonomi Aceh di tahun 2021 masih relatif rendah di Sumatera.
Menurut data BPS Aceh (2021), pertumbuhan ekonomi Aceh Triwulan II 2021 dengan migas sebesar 2,56 persen. Tingkat pertumbuhan ini lebih rendah dibandingkan dengan propinsi lain di Sumatera.
Misalnya saja Provinsi Riau dan Bengkulu masingmasing tumbuh 6,90 persen dan 6,29 persen. Momentum dana Otsus ini harus dimanfaatkan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dalam rangka mengejar ketertinggalan dari propinsi lain di Sumatera dan juga nasional.
Di masa yang akan datang ketika alokasi dana Otsus berakhir, tantangan yang besar yang dihadapi Pemerintah Aceh adalah upaya memaksimalkan Pendapatan Asli Aceh (PAA) yang tentu saja tidak mudah kecuali adanya peningkatan investasi dalam jumlah besar dan perkembangan yang pesat sektor swasta. Dan upaya tersebut harus diperkuat dari sekarang.
Saat ini menurut data dari Bank Indonesia (2021), per Triwulan II 2021, Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB)/investasi Aceh tumbuh sebesar 1,85 persen (yoy) atau terjadi peningkatan dibandingkan triwulan sebelumnya yang tumbuh sebesar 1,59 persen (yoy). Akselerasi ini seiring dengan membaiknya kinerja ekonomi yang menyebabkan pelaku usaha optimis untuk melakukan investasi.
Momentum pertumbuhan investasi ini perlu dimanfaatkan oleh Pemerintah Aceh untuk meningkatkan kinerja ekonomi daerah. Promosi investasi perlu terus diupayakan melalui dinas terkait dengan dukungan infrastruktur dari pemerintah untuk menarik minat investor. Daerah-daerah yang memiliki potensi investasi yang besar perlu dipetakan sebagai bahan dalam penyusunan program dan kegiatan.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar