RINI WULANDARI, S.E., Ak Guru Ekonomi Akuntansi SMAN 5 Banda Aceh, melaporkan dari Banda Aceh
https://aceh.tribunnews.com/2021/09/20/jadikan-buku-sahabat-di-kala-pandemi
PUTRI saya, Aisya, akhirakhir ini sering bertanya, “Kapan sih perpustakaan wilayah kita buka lagi? Kemarin baru perpanjang kartu baru, besoknya perpustakaan tutup, katanya mau direnovasi. Sampai sekarang belum juga buka.
Mana gedungnya keren lagi!" Ya, begitulah celetukan kesal Aisya ketika melintasi Gedung Perpustakaan Wilayah milik Pemerintah Aceh di bantaran Sungai (Krueng) Lamnyong ke arah Kampus Darussalam. Padahal, di hari terakhir pinjam buku ia sedang membaca cerita berseri. “Bagaimana ya cerita kelanjutannya? Apa ya yang bisa diceritakan buku itu ke aku?” kata Aisya lagi.
Ternyata, putri kami sudah menganggap buku itu sebagai sahabatnya, yang bisa bercerita kepadanya. Ketika membaca, ia menganggap sahabatnya itu sedang bercerita tak langsung kepadanya. Sejak punya kartu member sendiri, Aisya paling sering mengajak kami ke ruang baca pustaka anak.
Letaknya di bagian paling belakang yang berbatas dengan bantaran sungai kecil Krueng Cut. Tak terasa setahun lebih daring, dari sejak masih SD kelas 6, kini ia sudah duduk di kelas pertama sekolah menengah. Beruntung, kami memiliki pustaka pribadi, kerennya personal library yang kami namakan “booklife”. Ruang pustaka kecil itu dipenuhi buku, sekaligus kami jadikan ruang serbaguna.
Belajar keterampilan, tempat anak-anak mengerjakan PR, belajar daring, mengerjakan pekerjaan kantor, memeriksa pekerjaan rumah siswa, termasuk menulis untuk media seperti ini. Kami berusaha membuatnya senyaman mungkin dan karena ruang ini juga, rindu putri kami terhadap buku pustaka wilayah agak terobati.
Koleksi-koleksi buku sudah kami pilah dalam beberapa kategori, menurut versi kami, termasuk teenlite, cerita anak-anak, novel, menempati rak dan boks tersendiri. Dan boks itu menjadi bagian favorit anak-anak. Termasuk beberapa siswa yang berkunjung ke rumah dan ikut membaca pada hari libur.
Perpustakaan di saat daring seperti sekarang, ternyata bisa menjadi sarana hiburan, sekalipun dunia digital menggoda kita dengan banyak informasi. Namun, buku tetap memiliki daya tarik yang tak bisa tergantikan.
Hari Kunjung Pustaka yang berbeda 14 September 2021 adalah Hari Kunjung Perpustakaan. Tak seperti tahun-tahun sebelumnya, perpustakaan kini agak sunyi. Apalagi perpustakaan kita yang dikelola Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Aceh sementara ini memang sedang direnovasi.
Tapi saya yakin, ketika pandemi berlalu, perpustakaan wilayah di Lamnyong itu akan menjadi destinasi wisata ilmu dan wisata cerdas yang baru. Seperti perpustakaan wilayah, Perpustakaan Universitas Syiah Kuala (USK) adalah rumah kedua kami yang lain, setelah perpustakaan rumah. Perpustakaan kini telah jauh berubah. Dulu mungkin tempat yang kurang populer, dipenuhi kesan terasing dan sunyi.
Bahkan sering kita perhatikan, perpustakaan di kampus ditempatkan di bagian belakang yang kurang bisa dijangkau, jauh dari mobilitas orang yang lalu lalang. Sehingga, stereotipe perpustakaan sebagai tempat terasing jadi terbentuk.
Bahkan isinya dulu identik dengan anak-anak yang serius, berkacamata tebal karena suka baca, dan “kuper” alias kurang bergaul. Perpustakaan USK adalah contoh perpustakaan yang bisa dijadikan rumah kedua.
Pustaka yang satu ini tak hanya menyediakan buku-buku yang bisa membuat kita kangen, tetapi juga dilengkapi dengan ruang multimedia, ruang diskusi, dan ruang ibadah. Bahkan Perpustakaan USK kini dilengkapi dengan ruang ngopi, Kafe Libri.
Sepintas terdengar seperti menyebut 'library', mungkin begitulah nama itu dipilih, untuk mendekatkan buku, kita, dan kopi. Jika penat, bisa memesan secangkir kopi pahit, kopilatte, capuchino atau saya suka menyebutnya “kopi daring- luring”.
Maksudnya, kopi daring itu kopi sachet, sedangkan kopi luring itu kopi kental yang diseduh atau diroasting secara langsung. Ruang baca atau pustaka kita kini sudah jauh berubah, sejak pagi hingga malam bisa kita menikmati suasananya. Mungkin kelak pustaka kita akan buka 24 jam seperti pustaka pada universitas besar di Eropa, sehingga setiap orang bisa menikmati ilmu dalam suasana berbeda daripada di rumah.
Pustaka menjadi rumah kedua yang menarik dikunjungi. Pustaka pribadi yang berubah Maksud saya, perpustakaan pribadi di rumah, kini sudah kami fungsikan sebagai ruang semipublik. Meskipun penikmat bukunya adalah siswa kelas menulis yang keranjingan buku atau sekadar menikmati suasana berbeda untuk membaca buku.
Di ruang beranda yang menghadap matahari jingga, anak-anak bisa memilih buku, kemudian memilih kursi di ruang terbuka. Sayangnya, dengan koleksi yang terbatas dan kesusahan menjaga keamanannya, kami tak meminjamkan buku-buku untuk dibawa pulang.
Mereka hanya boleh membaca di tempat hingga berjam-jam dan bisa sesuka hati meluangkan waktu. Ketika waktu baca habis mereka mengembalikan lagi ke rak atau menandai tempatnya untuk besok datang lagi menyambung bacaannya.
Dari pustaka kecil itu, kemudian kami sebarkan kepada para sahabat. Beberapa dari mereka berbaik hati menyumbang buku sebagai tambahan koleksi kami.
Kelak ini akan jadi proyek kecil yang menarik untuk membangun sebuah komunitas atau sebuah lembaga, tempat berkumpul para pencinta buku, para maniak baca, bahkan dalam beberapa diskusi dadakan antara saya dengan beberapa teman, mereka menguatkan impian kami untuk membuat lembaga buku.
Cikal bakalnya sudah mulai terpenuhi, beberapa kotak buku hasil sumbangan teman kini memenuhi ruang pustaka kecil kami. Kami bahkan belum sempat membukanya, hanya anak-anak pengunjung pustaka yang penasaran lalu membongkarnya, tapi meletakkan ke tempatnya lagi karena belum diinventarisasi.
Mereka kini menjadi ambasador tak resmi, mengajak teman menyumbang buku, memperbaiki buku-buku yang rusak atau merestorasi sebelum kami gunakan atau kami sumbangkan ke tempat yang lebih bmembutuhkan. Ini menjadi sebuah ruang pembelajaran baru, untuk lebih mencintai buku, menghargai buku sebagai sahabat kita dan berbagi.
Mungkin di Hari Kunjung Pustaka tahun depan ketika pandemi berlalu, ruang pustaka ini akan menjadi ruang yang lebih banyak bisa kami gunakan untuk mengajak banyak orang membaca dan mencintai buku.
Anggap saja menjadi “investasi leher ke atas”, begitu istilah yang popular untuk menyebut investasi untuk menambah kecerdasan otak, investasi yang pasti tak kenal kata rugi. Apalagi dalam situasi daring seperti sekarang ini, buku bisa menjadi teman, aktivitas baca buku bisa menjadi cara baru mengisi waktu yang terluang.
Mungkin ada buku-buku yang selama ini teronggok karena kita tak sempat membacanya, atau tersimpan di gudang atau loteng, dalam kardus berdebu. Jika tak sempat membacanya mungkin bisa mengontak kami, mungkin kita bisa jadi sahabat, menjalin silaturahmi melalui buku-buku.
Peringatan Hari Kunjung Pustaka tahun ini terasa berbeda. Peringatan tahun ini menjadi ruang kita berkontemplasi, memikirkan apa gagasan terbaik untuk mengembalikan kecintaan orang kepada buku.
Mengobati candu anak-anak kita terhadap gadget, meskipun tantangannya luar biasa. Kita membutuhkan sebuah pendekatan, sebuah gagasan, mengembalikan anak-anak pada kebiasaan belajar tanpa gadget, dengan kembali berkunjung ke pustaka salah satunya.
Mungkin buku bisa menjadi penawar pengganti, obat dari kecanduan kita terhadap gadget. Jika kamu punya gagasan jitu, mungkin bisa berbagi dengan kami. Mungkin Anda salah satunya?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar