Oleh Adnan, Ketua Jurusan Bimbingan dan Konseling Islam (BKI) IAIN Lhokseumawe, Aceh
https://aceh.tribunnews.com/2021/09/15/iblis-dan-ekspresi-superioritas?page=all
“Kemaksiatan yang menimbulkan kehinaan dan penyesalan lebih baik, daripada ketaatan yang melahirkan kebanggaan dan kesombongan” (Ibnu ‘Athaillah)
Iblis mulanya merupakan sosok makhluk yang pintar, luhur, dan taat kepada Tuhan. Konon ia telah diciptakan ribuan tahun sebelum penciptaan Nabi Adam as dan istrinya, Hawa. Secara leksikal, kata ‘Iblis’ disebut sebanyak 10 kali, dan kisahnya diulang-ulang (mutakarrir) dalam ragam surah Alquran yang dihubungkan dengan kisah Nabi Adam as.
Pakar Ulumul Quran, semisal Manna Khalil Al-Qattan, menyebut bahwa ketika suatu kisah diulang-ulang dalam Alquran menunjukkan urgensi kisah tersebut sebagai bahan refleksi umat manusia. Tapi, dalam perjalanannya Iblis menjadi sosok yang angkuh dan sombong tatkala kehadiran ciptaan baru, yakni Adam. Di sinilah awal mula pertarungan Iblis dengan manusia.
Adam as merupakan ciptaan Tuhan yang menjadi cikal-bakal pengembang-biakan manusia di muka bumi, sebagai ciptaan baru yang akan mengelola alam (Qs. Al-Baqarah: 30). Kini Adam as menjadi nenek moyang umat manusia hingga kiamat (Qs. An-Nisa’: 1). Maka, dalam Alquran manusia disebut dengan ragam istilah, semisal an-nass (makhluk sosial), al-ins (makhluk sempurna), al-insan (makhluk berpikir), basyar (makhluk biologis dan psikologis), dan bani adam atau dzurriyat adam (keturunan Adam as).
Istilah terakhir ini menunjukkan bahwa, umat manusia di muka bumi merupakan keturunan dari Adam as. Artinya, teori evolusi Charles Darwin (1882 – 1809 M) yang menyebut manusia berasal dari kera (sinpanse) terbantahkan secara teologis.
Dialektika pertarungan Iblis dan Adam as dimulai sejak perintah Tuhan kepada seluruh ciptaan lain untuk sujud menghormati Adam as, setelah dibekali dengan pengetahuan. Ciptaan lain menuruti perintah Tuhan dengan sujud menghormati Adam as, kecuali Iblis (Qs. Al-Baqarah: 34). Iblis memandang bahwa ia tidak layak sujud menghormati Adam as. Sebab, Adam as merupakan ciptaan baru sedangkan Iblis ciptaan lama (senior–junior, tua–muda), Adam as diciptakan dari tanah dan Iblis diciptakan dari api (asal usul, primordial), dan Adam as dinobatkan sebagai khalifah di muka bumi sedangkan Iblis tidak, sehingga muncul kedengkian (obsesif kompulsif) (Qs. Al-A’raf: 12).
Dalam psikologi modern, alasan Iblis di atas enggan sujud menghormati Adam as dapat dipahami melalui teori superioritas yang dikembangkan oleh Alfred Adler (1937 – 1870 M).
Superioritas dapat dipahami sebagai suatu gangguan emosi yang menganggap dirinya ‘lebih’ dari yang lain. Hal ini dilakukan sebab ia tidak ingin dipandang rendah oleh pihak lain, meski hakikatnya pihak lain tidak pernah merendahkannya. Iblis termasuk tipe makhluk yang menganggap dirinya ‘lebih baik dan lebih mulia’ dari Adam as, baik dari sisi senioritas maupun asal usul penciptaan. Artinya, terjadi gangguan emosi pada Iblis ketika munculnya ciptaan baru yang dianggap ‘saingan bebuyutan’.
Lebih lanjut, Iblis rela diusir dari surga demi mempertahankan ego pribadi keliru (disorder) yang mengidap pada dirinya (Qs. Ash-Shad: 77). Bahkan, Iblis meminta kepada Tuhan untuk ditangguhkan usianya hingga kiamat, agar dapat menjerumuskan umat manusia dalam neraka Tuhan (Qs. Al-A’raf: 14-15). Maka, Alquran berpesan bahwa Iblis itu merupakan musuh yang nyata bagi manusia sampai kiamat. Sungguh merugi manusia yang terpedaya oleh rayuan dan tipuan Iblis sehingga enggan melaksanakan perintah dan menjauhkan larangan Tuhan (Qs. Al- Hijr: 39-40).
Artinya, musuh manusia yang sebenarnya bukanlah sahabat, rekan kerja, golongan yang berbeda, atasan dan bawahan, akan tetapi Iblis. Jikapun manusia itu ‘dimusuhi’ hanya disebabkan oleh melekatnya tabiat Iblis pada dirinya (Qs. Al-Qashash: 15).
Iblis berwujud manusia
Manusia merupakan makhluk sempurna (Qs. At-Tin: 4). Ia dibekali dengan akal pikiran (‘aql, logic) sebagai instrumen untuk menggali pengetahuan (kognisi), emosi/ perasaan (qalb) sebagai instrumen untuk mengembangkan kepekaan (afeksi), dan keinginan/kehendak (hawa nafsu) sebagai instrumen untuk menggerakkan inovasi dan kreativitas (psikomotorik).
Kesempurnaan manusia ini perlu dijaga, dirawat, dan dilestarikan agar ia terus menjadi ciptaan/spesies paripurna dibandingkan dengan ciptaan lain, sehingga dapat mengoptimalkan diri sebagai khalifah di muka bumi. Jika tidak, manusia akan turun derajatnya pada posisi serendah-rendahnya (Qs. At-Tin: 5 dan Al-A’raf: 179).
Sebab itu, manusia perlu membentengi diri agar tidak melekat sifat Iblis pada dirinya, atau bahkan menjadi ‘iblis yang berwujud manusia’. Jika melekat pada manusia sifat Iblis ini, maka ia akan memandang pihak lain sebagai musuh, merasa lebih tua/senior dari yang lain sehingga lebih berhak berpendapat/mengambil keputusan, dan selalu meremehkan serta merendahkan keahlian, posisi/jabatan, ras, suku, bangsa, dan warna kulit yang berbeda dengannya (primordial).
Sikap primordial ini terkadang telah melahirkan sekat dalam kehidupan sosial, sehingga terganggu aktivitas sesama manusia sebagai khalifah di muka bumi. Secara makro, sikap ini terkadang dapat menimbulkan disintegrasi bangsa.
Fakta sosiologis menunjukkan bahwa sikap primordial/kesukuan ini telah menimbulkan ragam konflik dalam berbagai setting area, baik lingkungan pertemanan, tempat bekerja, maupun sosial. Sebab, setiap orang telah menganggap dirinya ‘lebih mulia’, ‘lebih tua’, ‘lebih berhak’, ‘lebih kuasa’, ‘lebih dominan’, dan frasa lainnya.
Seluruh frasa yang digunakan itu merupakan bagian daripada ekspresi superioritas yang telah melekat pada diri iblis. Maka, jika ingin pertemanan langgeng sepanjang masa, budaya kerja meningkat, dan harmonis dalam kehidupan sosial, hendaknya menjauhkan segala bentuk frasa tersebut, lalu menumbuhkan sikap saling, semisal saling menghargai dan menghormati, toleransi, peka dan peduli, serta saling percaya.
Sebab, secara teologis hanyalah ketakwaan dan ketaatan sebagai pembeda (distingsi) seseorang atau sekelompok orang di hadapan Tuhan (Qs. Al-Hujurat: 13). Pangkat dan jabatan, harta benda, suku bangsa, keluarga dan relasi sosial, hanyalah instrumen yang dititipkan Tuhan agar dapat menjadi ladang kebaikan menuju ketakwaan dan ketaatan.
Ironis, bila ada orang yang menjadikan instrumen itu sebagai tujuan kehidupan, sehingga menghalalkan segala cara untuk memperolehnya. Padahal, kehidupan dunia hanya sementara, semu, dan penuh tipudaya, bahkan bagi mukmin hanya dianggap penjara semata (Qs. Al-Hadid: 20). Akan tetapi, Iblis mampu menggoda dan memperdaya manusia seakan-akan dunia kekal selama-selama.
Tipu daya iblis tentang kekekalan (khuld) bukan saja menimpa Adam as dan Hawa di dalam surga. Akan tetapi, tak sedikit perilaku manusia modern yang menunjukkan bahwa seakan-akan dunia ini kekal selamanya. Alquran telah mengulang berkali-kali dalam ragam ayat dan surah bahwa dunia ini hanya sementara, sedangkan akhirat kekal selama-lama (Qs. Al-A’la: 17).
Ironis, kadang perilaku ini melekat pada diri ilmuan dan cendekiawan yang paham akan hakikat kehidupan yang sebenarnya. Sebab itu, manusia yang diciptakan dari unsur tanah mestinya dapat menggali filosofi tanah sebagai karakter diri, semisal menumbuhkan kebaikan dan menerima setiap kekurangan, sehingga menjadi insan yang berguna bagi sesama. Semoga!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar