Kemarin siang lewat di bundaran sekitar Baiturrahman sepulang hajatan. Di pojok jalan berkerumun orang, awalnya saya pikir ada kecelakaan, ternyata cuma penjual obat yang menggelar dagangan. Dan ternyata menarik mencermati fenomena tukang obat, dalam prakteknya tukang obat menjungkir balikkan fakta bahwa ber-kampanye itu mahal!. Meskipun bisa jadi yang diobral adalah omong kosong untuk sekedar menjual dagangan, sama seperti obralan para politikus di panggung kampanye.
Untuk soal kampanye, setidaknya pemerintah mengalokasikan dana triliun rupiah untuk belanja kampanye pileg dan pilpres, belum lagi jika dana itu ditambahkan dari masing-masing caleg dan capres yang akan bertarung. Pasangan Jokowi-Amin saja mengalokasikan 11 miliar sementara Prabowo- Sandi 2 milyar. Jumlahnya bisa setara APBA beberapa propinsi di indoneisa.Apakah dana itu sia-sia?, bagaimana jika dibelikan krupuk atau kapas, mungkin bisa menutup satu kota. Tapi dalam konteks cerita demokrasi yang punya konsekuensi mahal bisa jadi sepadan dengan hasilnya.
Realitas ini pula yang seringkali membuat kita kuatir, ketika kampanye berbayar mahal ini, membuahkan para petualang politik, berhitung untung rugi dan menghitung break event point (BEP) agar kembali modal, atau bahkan lebih dan syukur jika tidak tertangkap OTT KPK.Murah Meriah
Kenyataannya, para tukang obat itu mementahkan semua jargon kampanye yang mahal dan melelahkan. Penjual obat memanfaatkan semua potensi yang murah, dari lapak, produk, model kampanye dan sasaran kampanyenya. Semua dikerjakan swadaya dari memilih tempat, memilih produk, konstituennya alias penontonnya, hingga persiapan seluruh pertunjukkan.
Sesungguhnya dalam kampanye juga berisi unsur layaknya tukang obat, hanya saja lebih ribet alias kompleks. Lapaknya propinsi, kabupaten sampai dusun kecil, partai, afiliasi partai, ormas pendukung, konstituen. Pendekatannya adalah mengumpulkan pion dalam sebuah papan catur dan realitas itu mahal harganya.

Kampanye butuh baliho, iklan pariwara, kunjungan daerah konstituen, atraksi, parade zikir akbar jika perlu, buat lembaga, menerbitkan majalah, iklan di koran, majalah, radio dan televisi plus kampanye di tanah lapang model tukang obat. Bedanya mengumpulkan massa dengan beberapa pilihan, mulai dari sebar kaos, hingga sebar uang transport, paket sebako sebagai ganti istilah Money Politic, agar penonton hadir dan tidak dilirik KPK.Outputnya partai terpilih, senator terpilih, sampai presiden terpilih, dilengkapi jurkam, tim pemenangan, dan sedikit polesan riwayat hidup alias track record. Jika terimbas korupsi karena lolos manis, maka harus ada uang tutup mulut, menutup rapat dengan pencitraan yang menguras energi, atau memanfaatkan kebingungan konstituen seperti memilih macan dalam karung. Atau memanfaatkan salah pikir dan salah orientasi, makin moncer koruptornya makin moncer partainya. Cukup diantar sampai kursi kemenangan, maka selanjutnya urusan politikus-rakyat bubar, tak lagi sama.
Beruntung!, karena politik dan demokrasi setengah hati membuat para petualang politik melenggang bebas di panggung, seperti menemukan tempat bermain, bahkan jika terjerat KPK sekalipun, masih tetap (aman)!.
Melihat sepak terjang kampanyenya, sebenarnya tak salah jika kita menyebutnya, "Tukang Obat Politik" daripada "Panggung Dagelan Politik". Karena mereka bukan sekedar menjual obat kuat, tapi lebih untuk mengobati kegilaannya sendiri.


Tidak ada komentar:
Posting Komentar