

Apakah sesungguhnya kemiskinan itu memang sekedar konsekuensi logis pembangunan, atau dominasi perilaku moral hazard seperti korupsi, kolusi, nepotisme yang menjadikan kemiskinan sebagai komoditas?.Dan lebih mendasar lagi, mungkin cara pandang kita yang salah dalam memahami kemiskinan hanya sebagai aib atau beban pembangunan?.
Lantas, apa yang terjadi jika kita memobilisasi sumber daya, skala produksi, dan cakupan usaha perusahaan besar bersama Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), masyarakat, pemerintah (eksekutif, legislatif) dan kaum miskin itu sendiri untuk mencari solusi masyarakat miskin?.
Menjadi menarik apa yang menjadi pemikiran profesor strategi korporasi India, C.K.Prahalad ketika mengemukakan gagasan tentang The Bottom Of The Pyramid (BoP). Menurutnya, membicarakan kemiskinan harus dalam perspektif yang berbeda (out of the box). “Kemiskinan” harus diposisikan sebagai sumber daya baru dan “kaum miskin” diposisikan sebagai modalitas baru.
Premis ini akan memberi jalan keluar, bukan sekedar mengentaskan kemiskinan, namun membangun paradigma baru melihat kemiskinan sebagai “pemberdayaan”, menjadi kekuatan baru membangun kemandirian ekonomi, terutama di gampong yang masih menjadi basis kemiskinan. Meminjam istilah Prahalad kita harus mulai meninggalkan istilah “pengentasan kemiskinan” dan “kaum miskin” dengan istilah “pasar yang kurang terlayani” dan “konsumen”.
Prosesnya, Pertama; menjadikan kaum miskin sebagai individu merdeka dan bersama pihak lain dianggap sebagai penyelesai masalah kemiskinan. Kedua; kita harus memahami bahwa pengubahan masyarakat miskin menjadi pasar aktif pada hakekatnya merupakan kegiatan pembangunan.
Diperlukan pendekatan baru dan kreatif, guna mengubah kemiskinan menjadi peluang bisnis, itulah tantangan terbesarnya. Penguatan tradisi “Pageu Gampong” sebagai bagian dari gerakan Beudoh Gampong adalah sebuah solusi kearifan lokal yang realistis dan sangat menarik.
Sehingga akar kemiskinan karena persoalan ketergantungan pemerintah pada APBA, dana otsus, bagi hasil migas, faktor kemalasan fiskal, atau problem “sihir kota” yang menarik para urban memadati perkotaan dan menambah beban persoalan sosial, ekonomi, tidak selalu menjadi kekuatiran laten.
Ketika gampong telah menjadi tempat kondusif mencari nafkah, dan kota tidak lagi menjadi tumpuan utama para pencari kerja untuk upah dan mendukung daya beli (purchasing power), dengan sendirinya kemiskinan akan menemukan jalan keluarnya. Namun faktanya, gampong masih menjadi penyumbang kemiskinan terbesar (18,52 persen), sedangkan perkotaan (9,63 persen), (Data BPS Per September 2018).
Memudarnya Kearifan Lokal
Dalam konteks Aceh, gampong adalah sebuah institusi struktur tradisional terkecil namun sangat penting dan memberi pengaruh dalam pembentukan karakter ke-Acehan. Bukan itu saja, gampong juga menjadi kekuatan kemandirian yang simboliknya ditandai dengan istilah Pageu Gampong.

Meskipun belum dikenal dengan istilah One Village One Product (OVOP) atau One Gampong One Product (OGOP), Pageu Gampong adalah representasi dari pola OVOP. Gampong-gampong di Aceh dahulu, telah memiliki karakteristik dan spesifikasi, karena membangun kemandirian, sekaligus membangun ikonik melalui sumber daya spesifiknya. Maka pada jamannya, dikenal Gampong Pande, Gampong Ba’et, Gampong Lam Blang sebagai gampong para ahli pembuat senjata. Begitu juga dengan Gampong Lamgugop dan Gampong Siem sebagai sentra pengrajin songket.
Kekuatan sumber daya yang spesifik ini menjadi kekuatan kemandirian ekonomi dan daya saing. Konteksnya persis seperti kodifikasi holtikultura yang dilakukan Pemerintah Belanda ketika mengklasifikasi setiap daerah di Indonesia, termasuk di Aceh untuk memastikan, misalnya; Aceh Besar cocok untuk komoditi holtikultura jenis tanaman buah (durian, rambutan, langsat), daerah Aceh Tengah untuk komoditas Kopi, Jantho dengan tanaman pinus.
Berpegang pada basis itu saja, Pemerintah sudah sangat terbantu. Artinya kodifikasi tersebut bisa menjadi rujukan karena bernilai ekonomis strategis bagi pembangunan kita. Apalagi jika dikaitkan dengan upaya kita mengembalikan marwah gampong melalui konsep Pageu Gampong atau OVOP ala Aceh tadi, mencari ciri khas sumber daya yang memungkinkan setiap gampong memiliki kekuatan daya saing.
Mirisnya, kekuatan tersebut belum optimal dijadikan rujukan, bahkan kearifan lokal kita justru mengalami degradasi seiring perubahan waktu. Salah satu buktinya adalah hilangnya kebiasaan rumah tangga menanam tanaman pendukung pangan, bak limeng, bak mulieng, atau tanaman buah dan sejenisnya.
Padahal tradisi tersebut selaras dengan upaya membangun sistem keamanan pangan (food safety). Apalagi perubahan yang semakin kompleks dan cepat mengharuskan kita berada pada tahapan ketahanan pangan (food security), kemandirian pangan (food self sufficiency), maupun kedaulatan pangan (food sovereignity). Kerja keras harus dilakukan dari multisektor, karena besarnya permasalahan, utamanya soal ketahanan pangan, salah satu indikatornya adalah diversifikasi pangan. Dan keberhasilannya dimungkinkan jika gampong menjadi basis atau sentra program penguatan rumah tangga gampong tersebut.

Gerakan Beudoh Gampong
Apa yang dikembangkan di Jepang sebagai Isson Ippin Undo atau One Village One Product (OVOP), yang digagas oleh Dr.Mirihiko Hiramatsu pada tahun 1979, adalah membangun sinergisasi pada institusi pemerintahan terkecil; gampong, sebagai kekuatan yang saling berkontribusi dan saling mensubsitusi dalam pemenuhan kebutuhan sumber daya skala kecil, maupun dalam konteks ekonomi negara secara menyeluruh. Dalam kekinian Aceh, OVOP bukan wacana baru, namun keseriusan dan niat baik Pemerintah masih sangat dibutuhkan untuk menstimulasi OVOP atau Pageu Gampong menjadi sebuah gerakan besar di Aceh.
Bahkan dalam kebutuhan sinergi kepentingan ekonomi, Pageu Gampong menjadi modalitas penting. Jika trend pasar membutuhkan kopi, maka seluruh sentra gampong penghasil kopi akan berkontribusi aktif sebagai penyumbang kebutuhan eksport.
Konsepnya, masyarakat diberi penguatan menghasilkan spesialisasi barang atau komoditas khas dengan nilai tambah yang tinggi. Satu gampong di fokuskan menghasilkan satu produk utama yang kompetitif serta mampu bersaing di tingkat global namun tetap memiliki ciri karakteristik dari gampong tersebut. Sehingga diharapkan mampu menyulap desa berbasis tradisional menjadi desa modern dan episentrum bisnis.
Melalui Gerakan Beudoh Gampong yang massif dan sinergis, Pageu Gampong dihidupkan kembali spesifikasinya. Contoh realitisnya, jika Gampong Siem, sebagai sentra industri tradisional dihidupkan kembali, selain melestarikan kain songket tradisional Aceh, juga menjaga para pengrajin dan pelaku seni kain songketnya. Dalam jangka panjang dapat dikembangkan menjadi desa wisata, yang ber-multiple effect positif bagi pengembangan sisi ekonomi masyarakatnya.
Ini adalah wujud optimalisasi melalui gerakan Top Down dan Botom Up sekaligus. Gampong menunjukkan spesifikasinya dan Pemerintah menjadi payung yang mendukung melalui kebijakan, manajerial, bahkan finansial dengan mengandeng mitra atau menstimulasi lembaga keuangan sebagai sponsorship-nya.
Melalui perubahan pola pikir (mindset) secara totalitas dalam melihat masalah kemiskinan, kaum miskin dan potensi yang tersembunyi sebagai berkah demografi, melalui penguatan Pageu Gampong, diharapkan akan menjadi pendorong peningkatan kapasitas yang berimbas pada meningkatnya pendapatan gampong dan warga gampong dengan dukungan berbagai kebijakan sinergis dan strategis. Akses permodalan yang bank-able, bimbingan tehnis, selektifitas sumber daya dan komoditas, membangun spesifikasi melalui intensifikasi serta diversifikasi produk di setiap gampong, hingga proses sertifikasi dan marketing yang menjangkau pasar ekspor.
Keberhasilan Gerakan Beudoh Gampong dan penguatan Pageu Gampong sebagai OVOP-nya Aceh sebagai solusi kreatif berbasis kearifan lokal, sangat tergantung pada ikhtiar dari semua pihak, perusahaan besar, LSM, masyarakat, pemerintah (eksekutif, legislatif) dan kaum miskin itu sendiri.
Terutama kemauan dan niat baik pemerintah sebagai pembuat kebijakan. Sehingga kita tidak selalu terjebak pada program bombastis namun bersifat seremonial belaka. Ketika khanduri dana pembangunan setiap tahun selesai, gampong-gampong kita tetap stagnan dan kota tetap menjadi incaran para pencari kerja, karena gampong belum menjanjikan masa depan yang lebih baik.[hansacehdigest-2019]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar