‘Kartu Sakti’ Jokowi dan Nasib JKRA

Oleh Syahrul
http://aceh.tribunnews.com/2014/11/15/kartu-sakti-jokowi-dan-nasib-jkra
SEHARUSNYA Dinas Kesehatan, Pendidikan, Sosial dan institusi terkait lainnya dari Pemerintah Aceh bergerak cepat, akurat, pro-aktif, dan inovatif merespons “Kartu Sakti” program pemerintah Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla (JK). Walaupun program ini masih diperdebatkan dan kontroversial dari berbagai aspek perundang-undangan dan peraturan yang berlaku, serta program pelaksanaan di lapangan yang masih belum terpadu dan jelas, terutama tentang data penduduk yang layak mendapatkan kartu sakti tersebut sehingga tidak terjadi tumpang tindih peserta.


Jika program sakti Jokowi yang terdiri atas Kartu Indonesia Sehat (KIS), Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) dapat diterapkan di Provinsi Aceh pada 2015 nanti dan dapat menjangkau 30% dari total penduduk miskin di Aceh yang berjumlah 881.000 jiwa, dan sisanya secara bertahap pada 2016 dan 2017, maka pemerintah Aceh telah melakukan upaya percepatan sinergis terhadap pemberantasan dan pengurangan angka kemiskinan Aceh dari aspek kesehatan, pendidikan dan capaian keluarga sejahtera.

Di samping hal tersebut, efisiensi sumber dana dan pemanfaatan dari APBA 2015-2017 dapat dilakukan secara maksimal dan terstruktur. Hasil efisiensi sumber dana tersebut dapat difokuskan untuk peningkatan kualitas dan pengembangan sumber daya manusia dalam berbagai profesi serta penambahan percepatan pemerataan pembangunan khususnya daerah Barat-Selatan-Tengah dan Tenggara dari propinsi Aceh.

Nasib JKRA
Program kartu Jaminan Kesehatan Aceh (JKA) yang telah dimulai sejak pertengahan 2010 dan kemudian pada 2014 ini berubah nama menjadi Jaminan Kesehatan Rakyat Aceh (JKRA), dengan dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) pemerintah Aceh. Rata-rata setiap tahunnya pemerintah Aceh telah menyediakan anggarannya melalui APBA sekitar Rp 425 miliar rupiah.

Harus diakui bahwa selama pelaksanaan program JKA/JKRA, yang telah berlangsung selama empat tahun, terjadi perubahan yang sangat bermakna dalam hal pembiayaan kesehatan bagi masyarakat yang mendiami Provinsi Aceh. Masyarakat tidak perlu membayar jika berobat ke puskesmas, rumah sakit, bahkan jika dirujuk untuk berobat pada rumah sakit rujukan di luar Provinsi Aceh.

Akan tetapi setelah pelaksanaannya dari 2010-2014, seharusnya dilaksanakan evaluasi dan monitoring secara menyeluruh dari berbagai aspek terutama tentang ketepatan sasaran peserta JKRA. Beberapa hal/pertanyaan yang penting dan harus segera dilakukan klarifikasi dan perbaikan terutama untuk menjawab beberapa pertanyaan berikut yang banyak disampaikan dan dikeluhkan masyarakat.

Apakah seluruh penduduk miskin Aceh yang berjumlah 881.000 jiwa yang tersebar di 23 kabupaten/kota di Aceh telah mendapat kartu jaminan pelayanan kesehatan melalui Jamkesmas (saat ini masuk dalam program Jaminan Kesehatan Nasional) atau melalui JKRA? Apakah kwalitas pelayanan kesehatan mulai dari Puskesmas sampai rumah sakit sudah terdapat peningkatan perbaikan pelayanan?

Bagaimana program promosi dan prevensi kesehatan untuk berbagai penyakit pada ibu usia produktif, bayi, anak dan orang tua lanjut usia? Mengapa beberapa penyakit infeksi terus meningkat seperti tuberkulosis paru, hepatitis, HIV-AIDS? Mengapa morbiditas dan mortalitas ibu hamil, bayi dan anak terus meningkat? Dan, mengapa indikator kualitas kesehatan dan pelayanan kesehatan untuk rakyat Aceh masih sangat rendah? Data sampai September 2014, menunjukkan bahwa dari total 4.951.243 jiwa penduduk Aceh, sebanyak 4.258.068 jiwa (86%) telah mendapat kartu asuransi jaminan kesehatan dari Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan (BPJS) JKN dan JKRA. Distribusinya 86% penduduk Aceh yang telah mendapat kartu dari BPJS adalah 57% (2.822.208 jiwa) ditanggung oleh Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang terdiri atas peserta Jamkesmas-Askessos-TNI-Polri, sedangkan yang ditangung JKRA adalah 29.56% (1.435.860 jiwa) penduduk dengan identitas kartu penduduk Aceh. Terdapat sekitar 14% (693.175 jiwa) penduduk Aceh yang belum mendapat kartu JKN ataupun JKRA.

Terhadap masyarakat yang belum memiliki kartu jaminan asuransi kesehatan tersebut perlu dilakukan upaya identifikasi data, distribusi tempat tinggal, status ekonominya, apakah termasuk masyarakat miskin atau kurang mampu. Jika dari masyarakat yang belum mendapat kartu jaminan kesehatan JKN atau JKRA dan masyarakat tersebut termasuk kedalam rakyat miskin dengan prediksi sekitar 200.000 jiwa, maka pemerintah Aceh melalui Dinas Kesehatan atau institusi terkait lainnya berkewajiban untuk berupaya agar mereka mendapat jaminan kesejahteraan kartu sakti Jokowi pada tahun 2014 ini.

Sistem INA CBGs
BPJS merupakan satu-satunya penyelenggara dari JKN dan JKRA. Sehingga dalam pelayanan kesehatan di semua unit pelayanan kesehatan mulai puskesmas sampai rumah sakit rujukan tertinggi sesuai dengan berat ringannya penyakit, sumber daya yang dimiliki, menggunakan prinsip pembiayaan dengan menggunakan diagnosis penyakit berdasarkan sistem pengelompokan penyakit dan tindakan pelayanan medis yang diberikan oleh dokter. Sistem ini dikenal dengan nama Indonesia Case Based Group (INA CBGs).

Mengikuti perkembangan kemajuan dalam berbagai aspek kehidupan untuk meningkatkan kualitas dan kesejahteraan rakyat pada tatanan Nasional dan regional dalam pelayanan untuk kebutuhan dasar hidup rakyat dan percepatan pengurangan angka kemiskinan rakyat Aceh secara progresif, maka pemerintah Aceh (termasuk program JKRA-nya) harus menyusun dan menata program-program yang sinergis dan visioner untuk kepentingan seluruh rakyat Aceh, termasuk sinergis dengan “Kartu Sakti” Jokowi yang disesuaikan dengan harkat, martabat, kebutuhan dan kesejahteran masyarakat yang berada di 23 kabupaten/kota di Aceh secara universal, adil dan merata.

Dr. dr. Syahrul, SpS-K., Dosen Fakultas Kedokteran, Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), Darussalam, Banda Aceh. Email: sah7ss@yahoo.com