Rabu, 18 April 2012
KEPANIKAN luar biasa terjadi pada saat dan beberapa saat setelah gempa kembar berkekuatan 8,5 Skala Richter (SR) dan 8,2 SR melanda Aceh, Rabu (11/4/2012). Suasana panik disertai jeritan histeris menggema di seluruh wilayah pesisir Aceh. Saat gempa sedang menggoyang bumi, manusia tumpah ruah keluar dari dalam ruangan. Sesaat kemudian mereka berhamburan ke jalan-jalan raya untuk menyelamatkan diri ke tempat yang jauh dari bibir pantai. Kendaraan roda dua, roda tiga dan roda empat berdesak-desakan bersama pejalan kaki di hampir seluruh badan jalan.
Begitulah pemandangan yang terjadi di Aceh sepanjang sore hingga petang usai gempa kembar yang berpusat di Simeulue menggoyang Sumatera. Pada satu sisi, pemandangan itu tampak berbeda dari peristiwa gempa 9,1 SR disusul gelombang tsunami raksasa yang melanda Aceh 26 Desember 2004 lalu. Saat itu, orang-orang tidak berusaha menjauh dari bibir pantai. Bahkan sebaliknya, ada yang merapat ke bibir pantai saat melihat air surut. Tapi, dalam musibah gempa Rabu lalu, orang-orang berusaha menjauh dari bibir pantai karena khawatir akan datangnya gelombang laut. Bencana tsunami yang menghantam Aceh 8 tahun lalu telah menjadi pelajaran berharga bagi warga Aceh, juga penduduk di belahan bumi lainnya.
Namun, pada sisi lain, suasana panik berlebihan dan berhamburannya manusia di jalanan --apalagi dengan kendaraan roda empat-- justru dapat menimbulkan bahaya lebih besar. Pemandangan ini berbeda dengan yang diperlihatkan warga Jepang saat gempa 8,9 SR disusul tsunami 11 Maret 2011 lalu. Orang Jepang lebih banyak mencari perlindungan di atas bangunan-bangunan tinggi untuk menghindari terjangan tsunami. Sementara di Aceh, gedung-gedung penyelamatan (escape building) dan bangunan-bangunan bertingkat lainnya tidak menjadi prioritas warga. Orang-orang lebih memilih berhimpitan di jalan raya untuk menyelamatkan diri dari kemungkinan datangnya musibah tsunami.
Beruntung, gempa kuat hari itu tidak dibarengi gelombang raksasa tsunami. Orang-orang yang berhamburan di jalan pun akhirnya dapat mencapai tujuan dengan selamat, meski sempat terjadi beberapa kecelakaan akibat kepanikan dan kepadatan lalu lintas. Kita tak dapat membayangkan apa jadinya seandainya musibah tsunami datang 15 menit usai gempa, sementara jalan-jalan dalam radius 1 hingga 10 km dari bibir pantai sedang disesaki manusia.
Hidup bersama bencana
Secara geografis, Indonesia terletak dalam wilayah rawan bencana alam. Laporan Bencana Asia Pasifik 2010, sebagaimana dilansir wikipedia.org, menyebutkan bahwa masyarakat yang tinggal di kawasan Asia Pasifik mempunyai risiko terkena dampak bencana empat kali lebih besar daripada mereka yang mendiami Afrika, dan 25 kali lebih rentan dibanding penduduk Amerika Utara dan Eropa. Dari tahun 1980-2009, diperkirakan lebih 18 juta penduduk Indonesia terkena dampak bencana alam, dan Indonesia menempati ranking 4 sebagai negara paling rentan terkena dampak bencana alam di Asia Pasifik. Duh, sebuah fakta mencengangkan yang butuh tindaklanjut serius dari pemerintah dan seluruh masyarakat.
Musibah gempa dan tsunami tak dapat dicegah kedatangannya, bahkan tak dapat diprediksi kapan akan terjadi. Kita hanya dapat berupaya untuk mengurangi risikonya. Sejatinya musibah megagempa disusul tsunami raksasa yang melanda Aceh 8 tahun silam, menjadi pelajaran berharga guna mengurangi risikonya. Pelajaran pengurangan risiko bencana yang diajarkan lembaga-lembaga asing saat Aceh masih proses rehabilitasi dan rekonstruksi (2005-2009), sejatinya memberi bekas dan manfaatnya yang berkesinambungan. Simulasi-simulasi bencana yang kerap dilaksanakan oleh para pelaku rehab-rekon itu perlu terus dilanjutkan dan bahkan ditingkatkan statusnya hingga menjadi bagian dari pendidikan formal di sekolah-sekolah, agar masyarakat dapat hidup berdampingan dengan bencana.
Sejak tahun 2010, Pemerintah Pusat mulai memandang penting persoalan bencana, ditandai keluarnya Surat Edaran Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Nomor: 70a/SE/MPN/2010 tentang pengarusutamaan risiko bencana di sekolah. Ini adalah wujud kerja sama Kemendiknas dengan United Nation Development Programme (UNDP) (Tribunnews.com, 31/7/2010). Dengan terbitnya Surat Edaran itu, maka pengarusutamaan risiko bencana di sekolah menjadi kebijakan nasional yang perlu disahuti seluruh daerah.
Seiring instruksi Mendiknas dan mengingat begitu rentannya ancaman bencana terhadap manusia yang berdiam di atas perut bumi Aceh, maka sudah semestinya Pemerintah Aceh memberikan perhatian serius dalam menangani masalah ini. Lembaga eksekutif (gubernur/bupati/wali kota dan jajarannya) serta lembaga legislatif (DPRA/DPRK) perlu memiliki kepekaan kebencanaan. Kepekaan itu harus terlihat dari kebijakan (regulasi), penyusunan program dan penganggaran.
Generasi siaga bencana
Pengarusutamaan risiko bencana di sekolah dapat diterapkan dengan berbagai pendekataan. Ia dapat berupa penyiapan mata pelajaran khusus tentang bencana atau dapat pula disisipkan menjadi bab khusus dalam mata pelajaran tertentu seperti Sains Alam, Geografi, Sains Sosial, Bahasa Indonesia, Kewarganegaraan hingga pelajaran Agama. Tema bahasan dalam mata pelajaran-mata pelajaran itu mempunyai penekanan berbeda, tapi ia memiliki tujuan sama yang hendak dicapai, yaitu terwujudnya generasi baru yang siaga dalam menghadapi bencana.
Selain itu, kegiatan ekstra kurikuler untuk mengajarkan kesiapan dan kesigapan dalam menghadapi bencana perlu dilakukan secara berkesinambungan. Simulasi bencana yang sering diperagakan di sekolah-sekolah pada masa rehab-rekon perlu terus dilakukan sehingga harapan terciptanya generasi siaga bencana akan mudah diraih, baik dari aspek pengetahuan maupun keterampilan. Anak-anak Aceh akan mengecap pendidikan kebencanaan sejak duduk di bangku SD, SMP hingga SMA. Maka dalam tempo 5-10 tahun ke depan akan terwujud generasi baru yang siaga bencana, dan dampak buruk dari sebuah bencana dapat diminimalisir.
Akhirnya, dengan adanya visi yang sama dari seluruh stakeholders dalam memandang bencana, maka diharapkan seluruh kegiatan pembangunan akan menempatkan isu kebencanaan ini sebagai isu sentral lintas sektoral. Konsep tata ruang pembangunan akan senantiasa mempertimbangkan aspek kebencanaan, sehingga terwujud pembangunan yang ramah bencana seperti tersedianya escape building di gedung-gedung milik pemerintah, bangunan-bangunan publik, rumah ibadah hingga pertokoan. Dengan adanya kesamaan visi dan keterpaduan dalam pembangunan serta materi kebencanaan diajarkan di sekolah-sekolah, maka Aceh akan menjadi patron sebagai wilayah siaga bencana bagi Indonesia, bahkan dunia. Semoga!
* Hasan Basri M. Nur, Konsultan Individu pada Proyek Disaster Risk Reduction for Aceh (DRR-A) UNDP Banda Aceh, email: hb_noor@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar