Rabu, 30 Mei 2012
Ketika lima tahun lalu saya mengurus paspor, saya merasakan pengalaman itu. Saat itu saya mengurus paspor di Kantor Imigrasi lama yang berlokasi di Punteut, Lhokseumawe. Kini, Kantor Imigrasi telah berada di tengah kota Lhokseumawe. Ternyata berubahnya lokasi juga mengubah kultur birokrasi. Dulu begitu banyak calo sejak langkah pertama masuk kantor imigrasi, kini tidak ada orang seorang pun yang bersedia membantu lewat pintu belakang. Seluruh ruangan ditempeli peringatan untuk tidak menggunakan calo.
Pengurusan dilakukan dengan cara normal. Namun mengingat untuk pengurusan normal pun diperlukan durasi paling cepat lima hari, tetap tidak akan cukup karena berhubungan dengan pemesanan tiket. Pegawai di tingkat pemohon mencoba membantu, namun tetap memerlukan waktu minimal tiga hari.
Ketika masuk di ruangan wawancara, pegawai di sana menilai objektif alasan saya dan membantu secepatnya mengeluarkan paspor. Untuk segala kemudahan itu tak ada uang terima kasih yang harus saya keluarkan. Di tambah lagi seluruh ruangan foto dan administrasi ditempeli kalimat untuk tidak memberikan apapun kepada pegawai imigrasi.
Biaya yang saya keluarkan hanya Rp 260 ribu, lebih murah dibanding biaya paspor saya lima tahun lalu, Rp 400 ribu. Bahkan dari penjelasan teman-teman yang mengurus paspor di kantor imigrasi di Jakarta pun, tidak semurah ini.
Perlu model
Pengalaman di kantor imigrasi Lhokseumawe itu bukanlah hal biasa. Karakter pelayanan publik yang diberikan oleh kantor itu melebihi ekspektasi dari lembaga pelayanan publik mana pun yang pernah saya temui di Aceh. Bahkan dunia kampus pun belum mencapai derajat apa yang dilakukan lembaga birokratis itu. Watak birokratisme telah luntur dan muncul semangat human dan kultural dalam melayani.
Perubahan drastis Kantor Imigrasi Lhokseumawe itu tidak dapat dikatakan silang dialektika positif reformasi birokrasi semata, seperti keluarnya regulasi tentang indeks kepuasan masyarakat dan pelayanan publik (KepmenPAN No. 25/2004 dan UU No. 25/2009), tapi juga “inisiatif-inisiatif lokal” untuk berubah dengan cepat.
Terbukti, meskipun regulasi indeks kepuasan masyarakat telah hadir delapan tahun lalu dan pelayanan publik sejak tiga tahun lalu (bahkan bisa dikatakan sembilan tahun lalu jika dihubungkan dengan KepmenPAN No. 63/Kep/M.PAN/7/2003), banyak lembaga pemerintah dan pelayanan publik masih bersemangat bossy atau seperti “Tuan Kebon” di perkebunan Deli awal abad dua puluh.
Perubahan birokrasi sangat tergantung pada teladan pimpinan. Kecenderungan pimpinan lembaga pelayanan publik (negara) sering kali menjadi negatif saat mencapai posisi tertinggi. Sang pimpinan berhenti melayani dan berubah menjadi la petite bourgeoise, tuan kecil yang manja dan malas. Dengan situasi seperti itu tidak akan kunjung datang perubahan dan kultur birokrasi.
Jika dibandingkan, terlihat ada disparitas jauh antara lembaga swasta dengan negara. Lembaga swasta sangat sensitif dengan perbaikan kinerja karena bergantung pada daya pikat responden atau pengguna jasa layanan. Karena jika tidak, responden akan lari ke lembaga swasta yang lebih berkinerja baik. Ada konstruksi saling menguntungkan; semakin baik semakin banyak kepercayaan dan semakin kuat lembaga itu di mata masyarakat dan rekanan bisnis lain. Derajat terpercaya (trusted) dan diandalkan (reliable) membuat lembaga pelayanan publik bertahan dan berkembang.
Lembaga swasta sangat mempercayai bahwa memperbaiki perilaku organisasi akan berhubungan luas, bukan saja pada responden tapi juga dunia luar yang semakin tak terbatas. Namun lembaga negara menganggap akan tetap bertahan hidup meskipun berkinerja buruk. Sebab lembaga negara hidup oleh pembiayaan negara. Inilah salah satu sebab mengapa pemikiran memperbaiki pelayanan tidak terjadi karena dianggap tidak berhubungan langsung dengan survivalitas.
Makanya apa yang terjadi di lembaga seperti kantor imigrasi Lhokseumawe atau lembaga-lembaga low profile lainnya harus diinfeksikan ke publik agar menjadi pemicu bagi lembaga lain untuk berubah. Mereka yang telah bekerja dengan baik itu harus dijadikan model.
Saya yakin ada beberapa lembaga lain, meskipun tidak banyak, yang harus ditemukan dan diberi apresiasi. Pola reward and punishment harus diberlakukan. Semakin baik kinerjanya, dengan terpenuhinya aspek profesionalitas, keramahan, anti-korupsi, keterbukaan, tidak diskriminatif, ketepatan, kecepatan, kemudahan dan keterjangkauan, maka sewajarnya semakin besar insentif yang harus diterima oleh lembaga itu. Demikian pula sebaliknya.
Berubah cepat
Seturut era pemerintahan baru terjelang, beberapa harapan ini sedang membuncah di dada sebagian besar masyarakat Aceh. Jika pemerintahan lalu telah berhasil membuat beberapa perubahan dalam pelayanan --terutama pada sektor kesehatan dan pendidikan-- maka pemerintahan diharapkan meningkatkan kualitas pada sektor tersebut dan menginisiasi pada sektor lain. Watak organisasi pemerintahan harus populis yang dekat dengan publik, baik pada kepentingan atau ide-ide yang berkembang di dalamnya.
Pemerintah Aceh harus menjadi pemerintahan yang inklusf. Jika dianggap pemerintahan lalu terutama pada masa-masa akhirnya adalah pemerintahan oligakhis, maka jangan lagi ulangi sejarah yang sama. Penataan internal harus dilakukan dengan baik sebelum ke publik. Jadilah pemenang untuk perubahan. Sebab perubahan datang tidak oleh regulasi tapi dari pikiran keras untuk berkomitmen pada perubahan dan nilai-nilai progresif. Perubahan birokrasi akan terjadi jika mentaliteit birokrasi dibenahi.
Dunia sedang berlari cepat, jika terus berlambat-lambat maka tak akan mendapatkan apapun di arus besar perubahan global ini. Perubahan harus dicanangkan sejak hari pertama pemerintahan Zaini/Muzakkir Manaf dilantik sehingga tak perlu berleha-leha di bulan madu 100 hari.
* Teuku Kemal Fasya, Antropolog
Tidak ada komentar:
Posting Komentar