Kamis, 31 Mei 2012
Kompleksitas permasalahan peredaran dan penyalahgunaan narkotika di lingkungan kampus sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain: Coba-coba, merasa ingin dihargai di kelompoknya, motif ekonomi, sikap apatis masyarakat (mahasiswa) dan kebiasaan penggunaan ganja sebagai penyedap masakan (makanan) di kalangan masyarakat Aceh. Hal inilah yang mengakibatkan kejahatan narkotika semakin subur dan cenderung mendapat tempat di masyarakat (Moh. Hatta: 2010).
Pencegahan dan penanggulangan narkotika tidak hanya bisa dihadapi dengan ketentuan hukum positif semata, akan tetapi harus dilihat bagaimana kearifan lokal budaya setempat dalam mengatasi permasalahan tersebut. Hal inilah yang perlu digali untuk memantapkan penegakan hukum terhadap narkotika. Tujuannya antara lain agar penerapan hukum positif mendapat apresiasi positif bagi masyarakat.
Kontrol sosial
Peran serta segenap komponen masyarakat terhadap penanggulangan narkotika sangat dibutuhkan sebagai upaya perlindungan sosial dan kemanusiaan dalam pemberantasan narkotika. Sebagaimana disebutkan di dalam UU Nomor 39 Tahun 2009 tentang Narkotika, Pasal 106 bahwa hak masyarakat dalam upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika diwujudkan dalam bentuk:
a. Mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana narkotika dan prekursor narkotika; b. Memperoleh pelayanan dalam mencari, memperoleh, dan memberikan informasi tentang adanya dugaan telah terjadi tindak pidana narkotika dan prekursor narkotika kepada penegak hukum atau BNN yang menangani perkara tindak pidana narkotika dan prekursor narkotika;
c. Menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab kepada penegak hukum atau BNN yang menangani perkara tindak pidana narkotika dan prekursor narkotika; d. Memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporannya yang diberikan kepada penegak hukum atau BNN; e. Memperoleh perlindungan hukum pada saat yang bersangkutan melaksanakan haknya atau diminta hadir dalam proses peradilan.
Persamaan persepsi dalam pencegahan tersebut merupakan keniscayaan, karena selama ini belum ada suatu persamaan pemikiran untuk menentukan suatu realitas legal dan ilegal yang berkaitan narkotika, salah satu cara yang dapat ditempuh adalah adanya upaya kontrol sosial dari masyarakat. Hal ini tidak mudah mengingat belum adanya persamaan kesepakatan dalam penilaian mengenai narkotika, termasuk soal mengonsumsi ganja. Oleh sebab itu dibutuhkan suatu kebijakan yang berbasis sosial kemasyarakatan dalam penanggulangannya.
Serangkaian kebijakan dan penyuluhan mengenai peredaran dan penanggulangan narkotika, termasuk sosialisasi advokasi Implementasi Inpres Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Kebijakan dan Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika (P4GN) yang dilakukan Pemerintah Aceh belum membuahkan hasil sebagaimana diharapkan. Sebab, sesuai data dari pihak kepolisian, peredaran narkotika di Aceh kini sudah dalam batas meresahkan, karena berada di peringkat 8 secara nasional.
Tingginya peredaran narkotika dan obat-obatan terlarang di Aceh, karena jaringan pemasoknya sudah menyasar hampir ke semua kelompok masyarakat. Seperti kelompok pelajar, mahasiswa/kampus, orang tua, bahkan di kalangan birokrat. Data yang ada juga mengungkapkan, 52 sampai 75 persen penghuni Lembaga Pemasyarakatan (LP) di Aceh adalah terpidana kasus narkotika. (Tribun Jakarta, Edisi Petang, 19/5/2012).
Musuh bersama
Harus diakui bahwa peredaran narkotika merupakan musuh bersama, namun ada hal yang menarik dari ide tes urine untuk calon mahasiswa sebagai langkah awal pencegahan dan penanggulangan narkotika di lingkungan kampus. Kebijakan tes urine ini hendaknya di samping diberlakukan bagi calon mahasiswa, perlu pula dilakukan bagi dosen di lingkungan perguruan tinggi.
Tes urine tersebut dapat dilakukan secara berkala sebagai bentuk pencegahan dan pengendalian narkotika di kalangan kampus. Sebab, sudah menjadi rahasia umum bahwa keberadaan ganja untuk Provinsi Aceh sangat luar biasa banyaknya, pihak kampus harus ada upaya preventif dan represif terhadap kejahatan dan pelanggaran yang berkaitan dengan narkotika.
Perguruan tinggi dalam mencegah dan menanggulangi tindak pidana narkotika harus berperan aktif sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada masyarakat. Simbolisasi kampus sebagai menara gading sudah selayaknya dihilangkan dengan berbagai upaya ekstra dalam bentuk penyuluhan hukum dan bimbingan melalui mahasiswa yang melakukan kuliah kerja nyata (KKN). Sehingga angka gelap kejahatan (the dark number of crime) narkotika dapat terawasi dengan baik.
Esmi Warassih (2005), mengatakan bahwa penegakan hukum terhadap narkotika akan berjalan baik apabila kultur hukum masyarakat juga baik. Kultur hukum berfungsi untuk menjembatani sistem hukum dengan tingkah laku masyarakatnya. Seseorang menggunakan atau tidak menggunakan, dan patuh antara tidak patuh terhadap hukum sangat ditentukan oleh nilai-nilai yang dihayati oleh masyarakatnya.
Oleh sebab itu sudah saatnya kontrol sosial dan peran perguruan tinggi mengenai keberadaan narkotika di tengah-tengah masyarakat mendapat perhatian dan tanggung jawab bersama demi kehidupan generasi yang akan datang lebih baik. Karena itu, setiap insan akademik harus mendukung kebijakan ini, sehingga Provinsi Aceh terbebas dari narkoba. Semoga!
* Yusrizal, SH, MH, Pengajar Hukum Pidana dan Kriminologi/Kepala Laboratorium Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh (Unimal) Lhokseumawe. Email: yusrizal_mh@yahoo.co
Tidak ada komentar:
Posting Komentar