Harapan dan Tantangan Pemimpin Baru Aceh

Oleh Saifuddin Bantasyam-Opini serambi indonesia
Selasa, 26 Juni 2012    


SEJARAH terkadang bisa diciptakan, tapi sejarah juga sering hadir tanpa pernah dirancang sebelumnya. Sejarah sering melahirkan orang-orang tertentu, yang sering kita dengar dengan kalimat “terlahir karena sejarah.” Meminjam kalimat Steve Jobs, pendiri dan pemilik Apel Coorperation, orang hidup dan berkembang karena sebuah titik yang kemudian terhubungkan dengan titik-titik lain dari diri orang yang bersangkutan. Saat berbagai titik itu bertemu, maka hasilnya bisa sangat dahsyat; konon kekayaan Steve melebihi APBN beberapa negara di benua Afrika digabung sekaligus!

Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf, yang baru saja dilantik menjadi Gubernur/Wakil Gubernur Aceh periode 2012-2017, adalah dua sosok yang tumbuh dari akumulasi titik-titik kehidupan mereka masing-masing. Sejak 1981 menjabat Menteri Luar Negeri GAM dan hidup dan di Swedia, kini Zaini memimpin tanah kelahirannya dengan 4,5 juta penduduk. Akan halnya Muzakir Manaf, yang harus memanggul senjata dan bergerilya di hutan-hutan untuk memperjuangkan Aceh yang bermartabat, mandiri, sejahtera, dan berkeadilan, kini tentu akan mudah diwujudkan dengan kekuasaan yang dimilikinya. 
Jika mereka berdua sudah mencapai posisi saat ini, lalu apakah yang akan dicapai oleh Aceh di bawah kepemimpinan ke dua mereka itu?  Dalam konteks demokrasi modern, jawaban pertanyaan ini ada pada bagaimana keduanya menakhodai perahu bernama Aceh, dan berinteraksi dengan dua pilar atau kelompok lain yang berada di luar pemerintahan; masyarakat sipil semisal kaum professional, intelektual atau akademisi, dan (lembaga swadaya) masyarakat, media massa, dan kelompok bisnis atau swasta. Saat dua kelompok ini dinihilkan perannya, maka secara teoritik perahu Aceh akan goyang dan kemudian tenggalam. 

 Prinsip penataan
Pada dasarnya kekuasaan harus berjalan atas sejumlah prinsip. Kekuasaan tak bisa tanpa kontrol, dan penguasa harus mau dikontrol. Juga, sebuah kekuasaan memerlukan keseimbangan antara unsur negara (Pemerintah Aceh) dengan masyarakat sipil dan kelompok bisnis tadi. Ini mengingatkan kita kepada good governance (tata kelola pemerintahan yang baik), yaitu mekanisme pengelolaan sumber daya  dengan substansi dan implementasi yang diarahkan untuk mencapai pembangunan secara efisien, efektif, dan adil. 

Sejumlah nilai penting dari good governance itu adalah (1) Partisipasi, menjamin kerja sama dan partisipasi pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholder) mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi; (2) Penegakan Hukum (secara konsekuen, konsisten, memperhatikan HAM, termasuk pemberian insentif); (3) Transparansi (informasi yang terbuka bagi setiap pihak untuk setiap tahap pemerintahan); (4) Daya tanggap (respons yang tepat dan cepat terhadap permasalahan atau perubahan yang terjadi; (5) Kesetaraan (persamaan kedudukan bagi warga negara tanpa diskriminasi); (6) Visi strategis (tersedianya kebijakan dan rencana yang terpadu serta jangka panjang); (7) Efisiensi (dalam penggunaan sumber daya); (8) Profesionalisme (ketrampilan dan komitmen untuk memberikan pelayanan terbaik); (9) Akuntabilitas, bertanggungjawab kepada publik atas keputusan dan tindakan penyelenggara; dan (10) Pengawasan (tersedianya pengawasan yang efektif dengan keterlibatan masyarakat). 

Sesungguhnya, nilai atau prinsip-prinsip di atas, bukan sesuatu yang baru. Jajaran pemerintahan Aceh, yang sebagian mungkin masih dipercayai oleh Zaini dan sebagian lain mungkin akan diganti,  pasti sudah pernah ditatar mengenai urgensi prinsip-prinsip tersebut dalam tata kelola birokrasi. Zaini dan Muzakir pun memiliki tim yang sangat handal baik dari segi intelektualitas, profesionalitas, dan pengalaman, maupun dari segi kemampuan tim tersebut dalam menerjemahkan visi dan misi-misi strategis ke dalam program. 

Tetapi ibarat kata, jabatan adalah cobaan, dan manusia juga suka menjadi pelupa, serta lalai. Banyak pimpinan daerah yang tidak lulus dari cobaan tersebut, dan kemudian terjebak pada pengabaian atas tugas dan kewenangan yang telah diperoleh mereka. Mungkin itu sebabnya mengapa saat ini, di antara 33 gubernur di Indonesia, sekitar 17 orang sedang berurusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena terperangkap dengan perilaku kolutif, koruptif, dan nepotis, baik disengaja maupun tidak.

Oleh karena itu, sangat penting bagi keduanya untuk merawat ketokohan, menjaga kredibiltas dan citra diri. Secara teoritik, kredibilitas memiliki dua komponen penting; keahlian (expertise), dan dapat dipercaya (trustworthiness). Mereka harus mampu meyakinkan publik dalam mengelola pemerintahan, dan saat yang sama harus mampu pula membentuk kesan dalam diri masyarakat terkait karakter atau watak kepemimpinan (moralitas, kejujuran, kesopanan, dan ketulusan). 

Masa lima tahun kepemimpinan adalah masa yang sangat singkat. Dengan segala rutinitas saat menjabat, maka lima tahun itu akan semirip dengan 24 jam saja. Robert Pagliarini dalam bukunya The Other 8 Hours melukiskan bahwa seseorang tidur 8 jam, bekerja 8 jam, maka 8 jam yang lainnya pun harus mampu dimanfaatkan dengan efektif dan efisien, yang akan menjadi tantangan tersendiri bagi pemimpin baru Aceh tersebut. Sangat mungkin, sukses atau gagalnya kedua pemimpin itu juga terkait dengan bagaimana menggunakan “8 jam yang lain” itu. 

 Bekas konflik
Last but not least adalah pertimbangan strategi memimpin Aceh sebagai daerah bekas konflik. Ada pemastian dan ada pelaksanaan: memastikan terpenuhinya kebutuhan rakyat (yang sebagian terpuruk karena konflik), memastikan tidak terulangnya konflik tersebut, dan melaksanakan kebijakan-kebijakan reformatif yang dibutuhkan. 

Daerah bekas konflik memiliki tantangan tersendiri baik dalam bidang politik dan hukum maupun bidang sosial dan ekonomi. Masyarakatnya juga mungkin terbelah: yang berharap terlalu tinggi, atau yang berharap sangat rendah atau tidak punya harapan sama sekali. Harapan yang tinggi dan rendah itu sama-sama berbahaya. Satu cara terbaik dalam merespons tantangan itu adalah melalui program-program pembangunan yang terencana dan implementatif, yang diakhiri dengan evaluasi. 

Mungkin penyeimbangan antara prinsip dan pragmatis merupakan sebuah pilihan yang baik. Ada fleksibilitas dalam aspek tertentu, namun juga harus tegas dan berani mengambil langkah yang tidak populer. Juga, pemerintahan ini harus menjadi pemerintahan dinikmati oleh semua orang. Sifat eksklusifitas, bias target, atau “mengeluarkan” (exlusion) elemen-elemen kemasyarakatan tertentu dalam proses pembangunan, hanya akan melahirkan tekanan-tekanan kepada pemerintah, dan karena itu sebaiknya dihindari. 

Membangun (di)bekas daerah konflik, mensyaratkan alternatif-alternatif, meminjam istilah Stephen R Covey. Jika ada “alternatif saya” dan “alternatif Anda,” atau “tim saya” dan “tim Anda,” maka konflik akan terus terpelihara. Cara demikian juga akan melanggengkan keberadaan “kutub-kutub” di dalam masyarakat, yang bisa berkembang menjadi virus yang mematikan, dan karena itu harus dihancurkan. Covey menawarkan The 3rd Alternative dan menyebutnya dengan “tim kita” sebagai antitesa terhadap “tim saya” dan “tim Anda.” Zaini dan Muzakir mungkin akan mudah menerapkan yang ditulis oleh Covey itu, namun belum tentu orang-orang di sekelilingnya. Dan itu adalah merupakan sebuah tantangan tersendiri bagi pemimpin baru Aceh tersebut. 

* Saifuddin Bantasyam, SH, MH, Penduduk Aceh, berdomisi di Kec. Darussalam, Aceh Besar. Email: saifuddin_bantasyam@yahoo.com