Sun, Dec 6th 2009, 09:50
Catatan Aceh yang Tercecer
BUDAYA wakaf bagi ureung Aceh, bukan hal baru. Ini sudah berlangsung ratusan tahun. Ada yang sifatnya umum—mewakafkan sebidang tanah untuk kemaslahatan umum, misal, untuk pasar, jalan, mesjid, meunasah, pendidikan, pemakaman dan sebagainya. Ada wakaf khusus, yaitu mewakafkan harta untuk keluarga dan turunannya.Maka ketika ada sejumlah wakaf ureueng Aceh seperti di Mekkah dan Negara lain, dapatlah kita memahaminya. Ini bedanya dengan sekarang, ketika ada tanah warga yang diminta beberapa bagian untuk kepentingan umat, sering terjadi adu transaksi. Bahkan pemilik tanah mengakal-akali agar bisa dibayar mahal.
Kasus pembebasan tanah sekarang ini, tidak lagi dilihat dari upaya wakaf. Tapi selalu dikaitkan dengan pandangan ‘ganti rugi atau ganti untung.’ Saya masih ragu apakah kita pernah mendapat mandat kata ‘milik’ pada tanah. Karena itu saya menduga dulu orang tua-tua kita paham betul bahwa kalau tanah itu adalah milik Allah dan harus dimanfaatkan di jalan Allah untuk mencapai ridha-Nya.
Ketika saya menguak misteri tanah wakaf dan menyinggung nama Ketua MPU Aceh Utara Tgk. H Syeikh Syamaun Risyad, ternyata mendapat respon dari beberapa beberapa kalangan di Aceh. Tgk. H Syeikh Syamaun berulang kali menuturkan bagaimana perannya dalam menguak tabir Rumah Aceh di Mekkah. Sebagai salah seorang ulama Aceh yang menetap di Tanah Suci, Syamaun menuturkan bahwa beliau pernah ikut punya andil dalam terkuaknya informasi ke publik mengenai harta wakaf Aceh di Haramain Saudi Arabia.
Dari Informasi Tgk. H Syeikh Syamaun dikatakan bahwa upaya ini tidak mudah seperti membalik telapak tangan. Tidak sedikit rintangan yang dihadapinya dalam menyakinkan nadhir agar membolehkan mahasiswa Aceh yang belajar di sana dapat menempati rumah Aceh sesuai dengan amanah pewakaf Habib Bugak Asyi (Habib Abdurrahman Al Habsyi).
Di Arab Saudi seluruh tanah wakaf tercatat di Mahkamah Syar’iyyah bersamaan dengan ikrar wakaf. Maka ada peluang bagi siapa pun untuk menghilangkannya. Namum wakaf itu bisa dialih manfaat. Karenanya pemerintah Saudi membentuk Kementerian Haji dan Wakaf untuk memantau dan menjaga harta harta wakaf. Saya juga berharap Tgk. H Syeikh Syamaun bersama para ulama dan umara lainnya juga bisa membongkar tanah-tanah wakaf di Aceh saat ini, apalagi Syamaun sudah berpengalaman menguak Baital Asyi selama menetap di Saudi Arabia.
Perihal tanah wakaf orang Aceh, tak hanya di Arab Saudi. Di Pulau Penang Malaysia—tepatnya di Lebuh Aceh, ada juga harta wakaf orang Aceh. Tanah ini diwakafkan oleh Teungku Sayed Hussain Al Idid pada tahun 1792. Hussain beserta pengusaha Aceh lainnya ketika mereka membuka kawasan di Lebuh Aceh dan mendirikan masjid, rumah, deretan rumah kedai, Madrasah Alquran, dan kantor perdagangan.
Tengku Syed Hussain Al-Idid seorang pedagang Aceh yang kaya dan sukses. Beliau berada di kota Penang, satu kota dagang yang dibuka oleh Kapten Sir Francis Light pada akhir abad ke-18.. Kompleks tersebut sekarang ini menjadi sengketa. Meski statusnya sebagai tanah wakaf yang tidak dapat diperjualbelikan, letaknya yang strategis di pusat kota dan tingginya nilai lahan di Georgetown ini menjadikan kompleks bangunan di sekeliling Masjid Lebuh Aceh banyak diincar. Isu-isu manajemen tanah wakaf, konservasi alam, dan kepentingan beberapa pengusaha di Penang mencuat ketika mereka ingin ‘mengalihkan’ fungsi tanah wakaf pengusaha Aceh tersebut. Permasalahan ini cukup merisaukan, mengingat kompleks masjid ini merupakan warisan arsitektur sekaligus saksi sejarah bangsa Aceh pada Malaysia yang merdeka pada tahun 1957.
Nah, di Aceh pun, tanah wakaf banyak sekali. Ada yang masih produktif atau yang telah yang telah beralih fungsi seperti dibangunnya toko toko atau tujuan komersil lainnya di pertapakan di tanah wakaf. Demikian pula, sekolah-sekolah yang berasal dari tanah wakaf telah ditukar guling oleh pihak pengembang.
Di Peusangan Bireuen, misal ada tanah wakaf yang masih wujud wakafnya, antara wakaf Teuku Tjhik Peusangan-lebih dikenal nama Ampon Syik Peusangan yang diwakafkan Pada 14 November 1929 untuk tujuan memajukan pendidikan di Aceh. Di atas tanah wakaf tersebut kemudian dibangun sebuah kampus Yayasan Pendidikan Al Muslim yang dipimpin oleh Teungku Abdul Rahman Meunasah Meutjab. Yayasan ini merupakan yayasan pendidikan tinggi pertama di Sumatra.
Kampus Al Muslim ini sampai sekarang masih eksis. Biasanya, bahwa di sekitar lembaga pendidikan pasti ada pasar dan masjid sebagai bagian tanah wakaf. Maka untuk membongkar tanah wakaf ini tidaklah sulit, karena di sekitar segitiga emas (lembaga pendidikan, pasar, dan masjid) yang muncul sebelum Indonesia merdeka pasti itu adalah tanah wakaf. Kecuali segitiga emas ini terpisah satu sama lain, seperti munculnya masjid yang jauh dari pasar atau lembaga pendidikan umat.
Adat kebiasaan masyarakat Aceh mewakafkan tanahnya sebagai bentuk ta‘abbud kepada Allah. Ini bagian tamadun Aceh bernafas Islami. Maka jangan heran, jika banyak tempat tempat umum, rumah ibadah, jalan raya, sekolah berdiri di atas tanah wakaf. Ini lagi bedanya dengan karakter “orang” Aceh sekarang yang enggan bahkan tak mau mewakafkan hartanya. Seperti pengalaman Mustafa Tami (mantan Bupati Aceh Tengah) yang berencana membangun sarana jalan raya dari Belang Kolak ke Paya Tumpi Takengon. Karena Pemda Aceh Tengah tidak memiliki anggaran untuk pembebasan tanah maka meminta warga agar mewakafkan tanahnya (Tabloid Modus Aceh, September 2008). Sebagian masyarakat tidak setuju dan ngotot minta “ganti untung” yang sampai sekarang jadi beban pemerintahan Ir H Nasruddin, MM (bupati Aceh Tengah).
Kehilangan entitas
Orang Aceh sekarang mengalami degradasi entitas (cirri diri), seperti memiliki budaya wakaf. Maka jika benar-benar mengerti dan memahami makna tanah wakaf, saya menduga banyak program pembangunan Aceh bisa terlaksana. Sebab tidak harus ‘ganti rugi’ yang sering berbuntut konflik social. Dan saya pastikan kasus pembangunan jalan raya Banda Aceh Calang yang sebagian masyarakat mengklaim bahwa ganti rugi belum selesai, bisa cepat selesai.
Kenapa sekarang, masyarakat sulit mewakafkan tanahnya untuk kepentingan public? Jawabanya karena tidak percaya pada pemerintah (nadhir wakaf). Dulu orang berbondong-bondong mewakafkan tanah untuk kepentingan publik, karena pemerintahnya amanah, dan wakaf menjadi investasi akhirat. Kecuali itu, budaya wakaf menjadi luntur, sejak arus kapitalisme masuk. Agaknya, pemerintah perlu menyadari hal itu. Mungkin perlu meniru apa yang dipraktikan oleh Pemerintahan Saudi Arabia.
Pemerintah Aceh dapat menginventarisir wakaf-wakaf yang selama ini tak jelas dan tersebar di mana-mana. Nah di sini perlunya penguatan Baital Mal. Peluang dilaksanakan ada, apalagi dalam pasal 191 UU No 11 tahun 2006 ayat (1) Zakat, harta wakaf, dan harta agama dikelola oleh Baitul Mal Aceh dan Baitul Mal kabupaten/kota dan dalam Qanun Aceh No 10 Tahun 2007 tentang Baitul Mal diberi kewenangan untuk mengelola dan mengembangkan zakat, wakaf, harta agama dengan tujuan untuk kemaslahatan umat.
Pemerintah Aceh perlu belajar dari sejarah, bagaimana dulu bisa menjaga dan mengawal dan memanfaatkan wakaf secara benar dan member pemahaman bagi masyarakat. Sejarah mencatat, rakyat Aceh menyumbangkan satu telur hingga dapat dibeli dua pesawat untuk perjuangan. Budaya wakaf perlu dihidupkan kembali, Kita berharap akan ada Habib Bugak, Teungku Syed Hussain Al Idid, Teuku Tjhik Peusangan yang baru di Aceh. Sosok mereka mewakafkan harta untuk kemaslahatan umat karena harta itu adalah milik Allah yang hanya perlu dijaga dan ditata dengan baik. Entahlah!
* Penulis; M. Adli Abdullah (peminat sejarah dan budaya Aceh)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar