Berapa banyak orang hari ini yang berubah karena tsunami?. Apakah serta merta tsunami besar bisa merubah pandangan dan mindset banyak orang tentang lingkungan?. Jika banyak orang menjawab ya,itu dulu!. Realitas, ternyata kini tengah berjalan ke arah sebaliknya. Belajar dari kasus Tsunami Aceh 2004, tujuh tahun lalu, kesadaran orang terhadap lingkungan kelihatannya tumbuh, namun sebenarnya banyak persoalan dan kamuflase yang “dimainkan” sedang berlangsung. Bisa jadi secara wacana, mindset orang, banyak yang berubah namun implementasinya sangat mengenaskan!.
Moratorium Logging yang digadang menjadi sebuah arah perubahan baru pembangunan lingkungan, ternyata juga diikuti dengan bertumbuh dan bertambahnya izin penggundulan hutan, bahkan kini justru dilegalisasikan, hitam diatas putih. Demikian juga dalam soal REDD, yang juga dihembuskan sebagai bentuk issue baru perangsang kelestarian hutan, ternyata juga ditunggangi dengan kendaraan para juragan sawit. Dengan begitu banyak persoalan, kita menjadi alergi dan apatis dalam hampir semua perubahan terkait alam kita. Barangkali hal ini memang telah dikondisikan agar kita masuk dalam jebakan kolaborasi pejabat dan pengusaha memanfaatkan “momentum” kegilaan kolusi dan nepotisme, dinamika pergantian pucuk pimpinan, perjanjian bawah tangan dengan golden share dan rumitnya ribuan deal-deal bisnis lingkungan.
Namun dibalik pesimisme itu, ada sisi menarik bagi keluarga kami dari kisah ie beuna 2004, terutama munculnya perubahan pola pikir (mindset). Sangat menarik, mengingat wacana seperti itu tak pernah masuk dalam agenda “ruang diskusi keluarga”sebelumnya. Pemahaman tentang tsunami yang makin lekat dalam keluarga, bisa jadi hanya peristiwa “biasa”, namun dampaknya luar biasa, karena ini tidak hanya menyangkut perubahan ”mindset” terhadap laut dan tsunami tapi juga, lingkungan!.
Salah satu perubahan sederhana dari peristiwa itu adalah, perubahan cara pandang kami dalam memahami laut, habitat hutan bakau, spesies yang hidup didalamnya. Bahkan tentang pembatas karang yang dulu terlihat biasa dan aneh!, kini bahkan bisa menjadi bahan diskusi menarik bagi kami semua termasuk anak-anak. Putri kami yang berumur 3,5 tahun bahkan mulai bisa menceritakan apa fungsi hutan bakau, dengan melihat deretan pohon bakau yang kini semakin rimbun dan hijau mengisi pinggiran pantai kita. Sekolahnya juga makin intens dengan program-program yang diarahkan pada pemahaman tentang tsunami. Anak-anak sekarang dengan cepat dapat memahami tanda papan kecil berwarna putih dan biru dongker dengan gambar siluet orang yang tengah berlari dari kejaran tsunami, sebagai tanda arah evakuasi, Ini juga menjadi bahan baru pembicaraan dalam “ruang diskusi kecil keluarga” kami.
Banyaknya situs tsunami di sekeliling kota, adalah bacaan baru “sejarah bencana” yang mengajarkan banyak nilai dan kepedulian, tidak saja kepada laut yang telah memberikan sebuah pengalaman tragedi besar di 26 Desember 2004, hampir tujuh tahun lalu, tapi juga kepada banyak kasus lain seperti banjir bandang, degradasi hutan, pencemaran sungai, bahkan polusi dari proses pabrikasi dan konflik satwa. Mendiskusikan hal-hal besar menjadi cerita sederhana seperti dongeng anak-anak, dalam banyak kasus bencana yang kini menjadi “langganan” baru, adalah sebuah langkah sederhana memberi pemahaman kepada anak-anak tentang arti keseimbangan alam.
Tsunami dan Pembelajaran Bencana
Banda Aceh sendiri adalah ikon besar sejarah tsunami, konon lagi sekarang dilengkapi dengan beragam situs yang melengkapi catatan sejarahnya. Lanskap kota, meliputi Mesjid Baiturrahman, Museum tsunami, Kapal Apung dan Blang Padang yang dipenuhi dengan prasasti, adalah sebuah “peta besar tsunami”, yang tak sekedar bisa dinikmati sebagai penanda sejarah, tapi juga tempat “pembelajaran” kita terhadap “sesuatu” yang sebenarnya menjadi bagian diri dan lingkungan kehidupan kita sehari-hari.
Kita adalah sebuah negeri yang berada dalam ring of fire, lingkar bencana. Indonesia secara geografis merupakan negara kepulauan yang terletak pada pertemuan empat lempeng tektonik; Lempeng Benua Asia, Benua Australia, Lempeng Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Pada bagian selatan dan timur Indonesia terdapat sabuk vulkanik yang memanjang dari pulau Sumatera-Jawa-Nusa Tenggara-Sulawesi; sisinya berupa pegunungan vulkanik tua dan dataran rendah yang sebagian didominasi oleh rawa-rawa. Kondisi tersebut menyebabkan Indonesia rawan bencana seperti letusan gunung berapi, gempa bumi, tsunami, banjir dan tanah longsor. Pada tahun 2005, Indonesia menempati peringkat-7 dari sejumlah negara yang paling banyak dilanda bencana alam (ISDR 2006-2009, World Disaster Reduction Campaign, UNESCO). Dengan catatan tersebut wajar jika bencana bisa datang kapan saja dengan beragam modelnya. Tak kurang dari 50 gunung berapi aktif di Indonesia, dan Aceh memiliki 5 diantaranya. Kita yang berada di dalamnya adalah “objek” bencana, ancaman tak kenal waktu. Dan sebagai unit terkecil, kita sebenarnya adalah bagian dari “keluarga ring of fire”, keluarga yang berteman dengan bencana, yang juga diharapkan memahami ruang lingkup substansi kebencanaan, tentang konsep risiko bencana (risk), bahaya (hazard), dan kerentanan (vulnerability).
Mencoba membuka lembaran lama tentang “benturan” kita dengan alam yang kian “parah”, kita akan menemukan panjangnya daftar “kerusakan” yang kita buat paska jeda konflik. Lihatlah deretan fakta bencana Aceh dari tahun 2007 hingga November 2011; Banjir 695 kali, Longsor 161 kali dan Konflik Satwa 224 kali (Walhi Aceh 2011). Hutan-hutan kita kini menjadi incaran jarahan para pendulang kekayaan yang memanfaatkan pembangunan tsunami, dengan dalih membangun kembali apa yang hilang, selanjutnya lebih karena “ketagihan dan kebiasaan”. Saat ini kita seperti mundur dari satu bencana dan membuat beribu bencana baru ke depan yang “bisa bisa diprediksi!”. Belum lagi ketika bicara soal tambang yang jadi “gosip panas”, bahan gunjingan, cacian sekaligus juga “bahan galian” bagi yang tak peduli lingkungan.
Pertarungan pemikiran dalam menciptakan harmoni alam adalah sebuah pertarungan tanpa henti antara dua kepentingan. Pada satu sisi menjaga masa depan lingkungan lestari, berbenturan dengan kepentingan “sesaat dan sesat”, untuk melaksanakan hajat nafsu. Terlepas apakah sekedar “menarik modal awal” selama proses menjadi pemimpin negeri atau sekaligus menumpuk investasi untuk mengekalkan “kursi kepemimpinan yang makin basah tapi juga panas”. Ini adalah dua persoalan yang tak pernah akan menemukan titik temu, ketika kearifan harus berhadapan vis a vis dengan kerakusan.
Pertarungan Lingkungan vs Moral Hazard
Memahami persoalan-persoalan lingkungan dalam konteks “natural hazard”, masih bisa dikompromikan, karena kita memang hidup berdampingan dengan bencana itu sendiri. Namun ketika wacana itu bergeser kepada “moral hazard”, pertarungannya menjadi panas dan brutal karena menyangkut “mau dan mampu” yang tak kompromi dengan nurani. Contoh, ketika kita bicara persoalan-persoalan paling “seksi” terkini, sebut saja Pemilukada yang diambang pintu, bukan rahasia umum, ambisi menjadi Aceh-1 (baca: orang nomor 1) di Aceh hari ini, orang menggadaikan nuraninya dan menjadi “serigala bagi orang lain”. Dengan prinsip “tak ada yang “gratis” di dunia ini”, orang bahkan menghalalkan semua cara, memaksakan “institusi sebagai kendaraan politik” ketika berbicara “pimpinan institusi dan politik” atau memaksakan “tambang” menjadi lumbung penghasilan, ketika berbicara “pemimpin dan tambang”. Tambang diyakini sebagai “tangan midas”, instan, cepat dan berlimpah dalam memberikan kontribusi “fulus”.
Hati nurani hanya nomor sekian dari “angka nominal”, dan luasnya hati yang disediakan Tuhan untuk memahami kemurahan-Nya menjadi tak punya ruang apa-apa. Apalagi ketika “nafsu dan mau” menjadi “raja” bagi hati dan pikiran, maka semua hal menjadi “gelap dan bisa”. Soal bencana apakah kelak akan menuai bala bagi orang lain, bukan menjadi persoalan penting lagi bagi para pelaku pembalakan, penambang, pemburu satwa, para “penjahat berdasi-blue collar”. Persoalan itu hanya menjadi “proyek lanjutan” dari pendahulu, seperti siklus “homo homoni lupus”, yang tak berkesudahan.
Kelak dengan kondisi wajah bencana yang “diciptakan” sendiri oleh kita, kearifan lokal tentang Panglima Laot, Pawang Uteun dan lainnya, akhirnya hanya akan menjadi “legenda. “Semua peraturan dibuat untuk dilanggar!” barangkali memang pameo yang dianut dan diamini banyak orang hari ini.
Memahami Lingkungan ala Hit and Run!
Sebagian besar kita meyakini, bahwa kita memang harus belajar dari pengalaman. Namun seringkali kita-lah yang menjadi “guru dan murid” sekaligus. Kita memahami banjir bandang, namun kita juga pelaku pembalakan dan pengusung izin HPH, “Hak Pengundulan Hutan”. Kita memahami kisah Frepport, namun kita juga “peniru” yang piawai seperti halnya eksplorasi tambang biji besi Lhoong hari ini. Lebih miris lagi ketika kita berkomitmen untuk memaksakan “Moratorium Logging”, saat itu juga diikuti dengan pengeluaran izin HPH, HTI, akhirnya kita “menjilat ludah kita sendiri!”.
Ketika begitu banyak nubuah dipentaskan di depan mata realitas kita, namun kita masih juga menjadi “keledai yang masuk dalam lubang yang sama”, mungkin kita harus menentukan waktu “berkabung” atas moratorium yang kita lontarkan sendiri, karena barangkali kita memang jenis kaum penganut paham “hit and run”, (buat bencana lalu lari). Kisah smong-pun (tsunami dalam bahasa Simeulue; red) barangkali pada akhirnya hanya akan menjadi kisah legenda juga.
Titik Temu “Smong” dan Dunia Mondial
Simeulu adalah sebuah kisah kearifan kita dengan alam, meskipun kasusnya adalah tsunami yang notabene adalah natural hazard, namun setidaknya itulah cermin kita dalam memahami ring of fire tadi. Pulau kecil di titik luar Aceh itu adalah magnitude gempa pada Desember 7 tahun lalu, namun kisahnya yang kemudian melebar ke antero dunia tak sekedar bercerita tentang Simeulue unsich sebagai pusat gempa, namun juga tentang kearifan lokal sebagai “penyelamat” dari bencana. Anak-anak kami di rumah bahkan yang paling kecil mulai mengenal smong. Awal tertariknya bisa jadi karena frasanya terdengar aneh dalam tata bahasa Aceh, namun karena kami masukkan sebagai bahan cerita layaknya kisah legenda anak-anak, sehingga menjadi “perbendaharaan kata” baru dalam perbendaharaan pikiran belia-nya. Ini soal sederhana namun juga krusial, karena dalam keseharian kita, laut adalah salah satu “sahabat” dekat kita.
Bagaimana memahami bencana-pun punya banyak pintu masuknya, dalam konteks kisah Simeulu, ada persoalan klasik pada perbedaan budaya. Budaya tutur yang kuat, tidak diimbangi dengan budaya tulisnya, sehingga menjadi titik lemah kita. Maksudnya ketika hari ini orang terbiasa ber-internet, budaya tutur kita yang umumnya berbentuk nazam yang dilantunkan secara lisan mulai ditinggalkan oleh “generasi posmo, melek tekhnologi” dan menemui “kebuntuan” komunikasi. Gerak cepat tehnologi informasi, membawa perubahan radikal tak berbatas ruang (spaceless) dan tak berbatas waktu (timeless), melahirkan komunitas cyber culture (budaya siber) atau networking culture (kultur jejaring), yang menjungkir balikkan budaya tradisi kita.
Sehingga harus dipikirkan bagaimana mempertemukan teknologi dan kearifan lokal dalam satu meja yang sama. Mengemasnya menjadi media yang bisa bersuara “lebih” lantang menyuarakan pesan moral lingkungan. Sehingga pembumian nilai-nilai kearifan lokal juga mampu membangun minat dan partisipasi banyak pihak, tidak manipulatif, hanya pihak tertentu yang punya minat, sementara masyarakat tak paham karena tak berkepentingan langsung. Konon lagi ketika kita bicara soal kemandirian, self mobilization dalam penanganan bencana dalam bentuk Partisipasi interaktif, sebuah kondisi ideal dimana masyarakat yang mengambil inisiatif sendiri, untuk mengubah sistem atau nilai-nilai yang mereka miliki, memegang kendali atas pemanfaatan sumber daya yang ada dan mereka punyai. UU No. 24 tahun 2007 tentang penanggulangan bencana mengamanatkan perlunya membangun sistem penanggulangan bencana secara terencana, terkoordinasi dan menyeluruh, membangun kemitraan publik dan swasta, mendorong kesetiakawanan dan kedermawanan serta menciptakan perdamaian dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Penanggulangan bencana mengutamakan Pengurangan Resiko Bencana (PRB) dengan tetap melakukan penanganan darurat secara cepat dan tepat. Kita masih butuh waktu panjang, kecuali ada program “Sustainable Tsunami” yang dirancang sebagai stimulus paksa memahami bencana!.
Keluarga Ring of Fire
Pararel dengan dunia mondial, keluarga kecil kami adalah mozaik dari dunia “besar” itu, kutipan hadist menyatakan, “jika baik keluarga maka akan baik dunia”, dan bukan tidak mungkin dunia kecil kita sebenarnya adalah “tantangan” terbesar kita dalam memberi pemahaman tentang banyak hal terutama keberadaan kita dalam dunia yang dilingkupi bencana dalam konteks ring of fire tadi.
Bahkan ketika dunia mulai bicara tentang climate change, perubahan iklim, masih bisa “disandingkan” dalam “meja keluarga”. Bahkan mendiskusikan mencairnya gletster di kutub utara dan bertambah tingginya permukaan laut dapat menjadi cerita yang dramatis dan menarik, layaknya film thriller menegangkan. Dalam kasus REDD sekalipun, keluarga dalam hal ini orang tua bisa menjadi “jembatan komunikasi” bagi anak-anak. Kami beranalogi soal REDD terhadap anak-anak, dengan cerita layaknya kita memiliki tetangga di sebelah rumah, mereka berhak menebang seluruh tanaman di halaman rumahnya sendiri hingga gersang dan menerima imbalan, sedangkan kita justru dibayar untuk menjaga agar tanaman kita tetap utuh, agar kerusakan yang dibuat tetangga kita tadi tidak terlalu kentara, padahal mereka tinggal di halaman yang sama dengan kita. Dalam realitasnya, dunia ketiga dibarter dengan nominal rendah untuk setiap upaya menjaga hutan, sementara negara besar berkehendak semaunya. Kasus ini menegaskan, negara lain dapat mendiktekan keinginannya sepanjang ada kesepakatan harganya, tergantung “wani piro?” begitu ungkapan dalam sebuah iklan. Apakah ini sebuah pemahaman tentang keadilan yang selama ini kita sebut adil?, ataukah inilah sebenarnya dampak dari mengglobalnya hubungan lintas negara. Mungkin bahasan ini terlalu jauh, tapi setidaknya ini bahan renung kaji kita. Imbasnya tidak saja melibas negara tapi seluruh komponen hingga ke bagian mikronya, “keluarga kita”!. Sehingga, meminjam istilah Perdagangan bebas AFTA, siap tidak siap, keluarga kita harus bisa menjadi keluarga siaga bencana di negeri ring of fire. [hans@acehdigest]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar