Satu Keluarga,Satu Pohon, Untuk Syiah Kuala

by hanif sofyan

Pantai pasir hitam, panas terik dan sunyi makam Tengku Syiah Kuala adalah pemandangan yang dengan cepat mencegat mata kita ketika berkunjung, atau sekedar tersesat jalan ke kawasan pinggiran laut Deah Raya ketika siang hari.

Dari ujung jalan Jambotape, masuk menelusuri Lamdingin, hingga ke Syiah Kuala suguhan paling dominan adalah -- laut. Kawasan ini memang masuk dalam kawasan pesisir di pinggiran kota Banda Aceh. Areal luas memanjang di pinggiran jalan adalah hamparan pohon bakau. Pohon yang diyakini adalah penyangga pesisir, penyangga ganasnya laut. Hijau mulai menyeruak, meskipun sisa tsunami 2004 masih juga menandai sebagian besar pertambakan yang ada. Puing dan serakan pohon bakau yang mengering menandai areal dan menjadi catatan ganasnya terjangan tsunami tujuh tahun, hampir satu dasawarsa lalu.

Daerah sebelah kanan adalah permukiman yang dihuni sebagian besar warga Deah Raya, yang terus bertahan pasca ie beuna. Deretan rumah bantuan donatur asing mengubah wajah lama kampung pinggir laut ini menjadi lebih "terang", deretan rumah atap rumbia berganti atap seng. Warna putih deretan rumah menambah terang, sekaligus juga kesan "terik", karena tak lagi diimbangi oleh deretan bakau yang meninggi. Pohon-pohon yang menjulang hari ini adalah pepohonan baru yang ditanam setelah bencana laut besar, sementara menunggu bakau hijau lagi, terasa kampung ini menjadi "gersang".

Keluhan panas, terik, gersang, sudah menjadi kesan "basi" bagi mereka yang mendiami wilayah ini, apalagi dibandingkan tujuh tahun lalu ketika hampir seluruh pepohonan ludes di terjang ombak. Namun setelah tujuh tahun, dengan pemandangan yang relatif hampir sama, rasanya kita patut merenung, tak usah jauhlah!, sekitar makam tengku Syiah Kuala saja, Tengku yang sejarahnya tak pernah dinafikan siapapun, pemandangannya juga sama. Bahkan lebih "menyedihkan" karena dengan ratusan peziarah yang hilir mudik, kepedulian masih minus, karena areal makam ini masih juga gersang!.

Mungkin gegap gempita Banda Aceh visit Year, tak sampai kesana. Deretan rumah tempat makam, masih ditutup dengan deretan kayu tak beraturan. Jalanan lenggang, panas dan pagar belum tertutup rapat. Konon lagi deretan pepohonan yang hidup segan mati tak mau, terutama di pinggiran pagar pantai yang berhadapan langsung dengan areal makam.

Ada sebuah gagasan iseng tapi menarik untuk direnungkan, atau bahkan mungkin di wujudkan?. Melibatkan banyak keluarga dalam sebuah ide sederhana "Menghijaukan Makam Syiah Kuala". Dengan keterlibatan banyak keluarga-keluarga yang akan menjadi penyandang misi hijaunya Syiah Kuala, mungkin ada tanggungjawab yang melekat lebih kuat. Program tidak lagi hanya tanam model , hit and run, tanam lalu tinggalkan. Konsepnya harus dimulai dari niatan sederhana hijaunya makam Syiah Kuala. Dalam kalkulasi sederhana tak banyak yang benar-benar dibutuhkan, selain bibit tanaman yang sesuai dengan kebutuhan di pesisir, tenaga yang super peduli dan loyal pada misi dan yang paling besar modalnya adalah "niat baik" agar program "sederhana ini bisa terwujud.

Marilah berandai-andai jika program sederhana dan penuh niat baik ini berhasil.  Deretan jalanan setapak dimulai dari gerbang pintu masuk akan dipenuhi dengan rimbunan cemara laut atau pohon Mahoni. Begitupun di areal halaman depan makam akan dipenuhi juga dengan rimbunan cemara laut. Lalu dibagian pinggiran pagar (areal yang paling luas) yang berhadapan langsung dengan pesisir pantai akan dipenuhi dengan rimbunan cemara laut yang menjulang panjang. Kendaraan para peziarah akan dipayungi cemara laut, sehingga niatan untuk khusyuk sekedar ziarah dan memanjatkan doa akan lebih nyaman.

Lalu bagi peziarah yang notabene non muslim, dan barangkali karena cuma rasa ingin tahu lalu berkunjung, akan mendapatkan kesempatan sekedar menikmati sepotong sejarah kisah seorang Tengku yang menjadi legenda bagi kesejarahan Aceh, plus oleh-oleh fotografi, yang bisa ia dapatkan dari berbagai sudut ambilan. Itu juga jika deretan makam dilengkapi asesoris pagar yang tidak saja indah tapi tembus pandang, tak hanya sekedar papan tak beraturan seperti sekarang!. Ketika penulis melakukan kunjungan kesana, masuk serombongan turis, yang mencoba melihat dari dekat, tapi minusnya informasi dan  pembatas papan yang rapat menutupi makam tanpa lampu, sehingga mereka tak mendapatkan kesan apapun dan terlihat kecewa. Patut disayangkan, karena bisa jadi kunjungan mereka menjadi oleh-oleh dan bisa menarik lebih banyak kunjungan orang. Siapa tahu?. Karena tidak sedikit orang penasaran dengan nama besar Tengku Syiah Kuala, apalagi namanya diabadikan di kampus terbesar di Aceh di tanah Dar-es-salam, tanah yang damai.

Mari berandai-andai lagi, jika ini berhasil. Areal pantai juga akan tumbuh menjadi areal baru ekonomi kecil penduduk pesisir. Tak usahlah berprasangka buruk soal dampak sosial, tsunami 2004 telah memberikan kesan mendalam tentang bagaimana perlakuan tidak "senonoh" menjadi semacam "pembenaran" alasan tsunami memang harus terjadi 7 tahun lalu.

Dan jika semua niatan itu masih juga tak berhasil, agaknya perlu ditegaskan di tahun depan, Kuliah Kerja Nyata Universitas Syiah Kuala di tempatkan di Syiah Kuala dengan satu tujuan selama 3 bulan mereka harus mampu menghijaukan areal makam Tengku Syiah Kuala, nama besar almamater mereka, tak ada jalan lain!.