by hanif sofyan

Kenapa harus "green"?, kenapa nggak black or white?.
Kecenderungan saat ini dalam banyak aspek mulai dari produk, hingga management "mengenakan" baju
green, meskipun
green pada akhirnya juga cenderung menjadi "black"?.
Green metropolis, green product, green mining, green management, green vision, green living, bahkan
Aceh Green, pada akhirnya hanya hijau pada lembaran uang, tapi tidak hijau pada realitas.

Melalui buku terbarunya,
Ecological-Intelligence-Knowing-Impacts-Everything ;
Daniel Goleman berbagi kisah dengan kita bagaimana visi hijau, hari ini menjadi "bahan mainan baru" bagi keberhasilan proses baik politik maupun marketing. Me-marketing-kan Green sebagai isu ramah dan peduli, namun maksud sesungguhnya adalah profit oriented. Mainan baru ini tentu berbahaya, bagi "maksud baik" yang sesungguhnya untuk lebih ramah dengan bumi. Jika kebohongan ini terkuak dan orang tak lagi percaya pada "Green" yang sesungguhnya, ini akan mengganggu proses dan hasil pada terbangunnya kesadaran tentang bumi yang lebih baik melalui konsep green dalam apapun bentuknya.

Buku debutan baru
Norman Myers dan Jennifer Kent ;
The New Consumers: The Influence of affluence on the environment, merupakan buku yang mencoba mengulas, munculnya fenomena kesadaran baru "kita" sebagai konsumen (pemeran semua gaya hidup) yang mulai pilah-pilih. Dari mulai proses pra produksi, produksinya itu sendiri, hingga jenis produk, karena mulai tumbuhnya kesadaran tentang konsep green tadi. Era ini ditandai sebagai era baru "The New Consumers" Apakah itu berarti kini kita adalah "konsumen hijau"?.
www.amazon.com
Alan Durning melalui bukunya
How Much Is How Much Is Enough?: The Consumer Society andthe Future of the Earth, mengulas bahwa "manusia" adalah mahluk yang tak pernah terpuaskan, bahkan jika tersedia "bumi lain", maka itu juga pasti tak akan cukup. Ini sekaligus menjadi jawaban terhadap kekuatiran kita bahwa bumi memang tengah dalam situasi "darurat". Kenyataan yang sangat membahayakan bagi bumi kita hari ini. Kini semua terbukti bahwa apapun gagasan tentang sebuah bumi yang lebih baik, harus berhadapan dengan "kerakusan" manusia sebagai mahluk penguasa bumi. Meskipun semua upaya untuk perbaikan menjadi seperti sia-sia, tak ada salahnya kita mencoba apapun selama itu positif sebelum benar-benar terlambat.

Apakah itu memang berarti tak ada jalan keluar?, karena Setelah buku
Michael Pollan History of Food, lalu
The end of food: how the food industry is destroying our food supply and what we can do about it oleh Thomas F.Pawlick seperti sekuel
Paul Roberts, menyajikan satu menu baru lagi tentang
the end ;
The end of food. Lagi, ini seperti menjawab pertanyaan Alan Durning tentang How Much is how much is enaugh?. Sebenarnya, seberapa cukup manusia harus dipuaskan?, apakah harus menunggu hingga cadangan "makanan terakhir"?.


Karena, ketika makanan juga menjadi "komoditas politik" dan dipertarungkan diantara pelaku industri, konsumen terjepit diantaranya. Bahkan untuk memilih mana yang terbaik dan "ramah pada lingkungan"-pun harus berjuang mati-matian jika stok semakin tipis. Inilah yang coba digagas dalam buku
Marion Nestle; Food politics: how the food industry influences nutrion, and health. Marion sendiri kemudian juga bertanya melalui bukunya
What To Eat?

Adakah cadangan terakhir yang bisa dijadikan alternatif? Mungkin ulasan
Michael Pollan, dalam bukunya
In Defense of Food: An Eater's Manifesto, bisa memberi sedikit jawaban atas tanda tanya besar kita. Sehingga kita tak perlu "menggadaikan" bumi kita satu-satunya pada "kerakusan" kita untuk serta merta merusak tanpa pernah peduli sedikitpun pada masa depannya.
"Green" dalam dua mata pisau..
BalasHapusSalam..
tergantung siapa dan bagaimana menggunakannya. Realitas kelihatannya lebih berpihak pada sisi mata pisau yang "multifungsi", seperti green? padahal black!. saleum
BalasHapus